Jumat, 26 Februari 2010

Menikah Sirri (Nikah ‘Urfi) Antara Hukum Syar’i & Undang Undang Negara


Menikah Sirri (Nikah ‘Urfi) Antara Hukum Syar’i & Undang Undang Negara


oleh : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawy


Akhir-akhir ini di berbagai media masa kita dihidangkan dengan adanya rancangan undang-undang (RUU) tentang hukum pidana bagi pelaku nikah sirri yang kini banyak mengundang kontroversi dari berbagai pihak. Oleh karena itulah kali ini kami ingin menyajikan pembahasan tentang pernikahan yang tidak tercatat di KUA ini –terlepas dari kontroversi apakah pelaku pantas diberi sanksi pidana ataukah cukup dengan sanksi administratif-. Pembahasan ini kami nukilkan dari majalah al-Furqon edisi 11 th. Ke-8, Jumada Tsaniyah 1430H/ Juni 2009 dengan tema cover “Nikah Ilegal, Nikah Bermasalah”. Semoga tulisan ini menjadi sebuah opini fiqih yang dapat membuka wacana kita sehingga mampu menjadi solusi dan peredam bagi kontroversi yang ada. Wabillahit taufiq

INDAHNYA PERNIKAHAN YANG SYAR’I LAGI RESMI
[1]

Pernikahan adalah sebuah akad yang agung. Dibangun di atas dasar hak dan kewajiban pasangan suami istri kepada sang Kholiq dan kepada sesama. Islam pun mengaturnya sejak awal proses pemilihan pasangan hidup, prosesi pernikahan itu sendiri, saat-saat bersama mengayuh biduk maupun ketika terselimuti kabut fitnah. Bahkan ketika porak poranda sekalipun Islam mengaturnya.

Islam menyaratkan akad dari seorang wali wanita dengan disaksikan dua orang saksi, serta mensyariatkan agar diumumkan kepada masyarakat adanya ikatan agung ini. Dan berlayarnya bahtera ini dibarengi dengan keridhoan dan kebahagiaan, tanpa ada keresahan sosial dan pandangan curiga dari masyarakat sekitar.

Namun seiring dengan semakin jauhnya manusia dari cahaya nubuwwah, bermunculanlah manusia yang melalaikan kewajiban. Suami pura-pura lupa tugasnya atau istri terlalu berani pegang kendali. Di luar rumahpun ada orang-orang yang mau bersaksi palsu, muncullah problematika baru yang mungkin belum pernah ada sebelumnya. Untuk menghindari hal itu dan untuk kebutuhan-kebutuhan penting lainnya maka dibutuhkanlah sebuah bukti akurat berupa pencatatan akad pernikahan oleh sebuah lembaga resmi. Pemerintah muslim di seluruh dunia pun mewajibkan pencatatan pernikahan pada lembaga resmi tersebut. Banyak maslahat yang diperoleh dan banyak mafsadah yang dihilangkan atau setidak-tidaknya diminimalkan dengan hal baru ini, pencatatan akad nikah.

Meski bukan syarat sah sebuah pernikahan, -dan pernikahan tetap sah selama terpenuhi syarat rukun secara syar’I, -namun karena pencatatan akad nikah diwajibkan oleh pemerintah maka wajib bagi setiap insan beriman untuk menaati ketetapan ini.

Bukankah merupakan salah satu pokok aqidah Ahlussunnah yang sudah mapan bahwa wajib menaati pemerintah selagi bukan untuk maksiat kepada Allah ?

jika peraturan semacam ini dianggap tidak wajib, lalu peraturan pemerintah macam apa lagi yang akan menjadi wajib? Renungkanlah.

NIKAH ILEGAL, NIKAH BERMASALAH[2]

DEFINISI NIKAH ‘URFI


Masalah yang sedang kita bahas ini (nikah sirri) dalam fiqih kontemporer dikenal dengan istilah zawaj ‘urfi yaitu suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak tercatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (baca:KUA).[3]

Disebut nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia, dimana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahn dalam hati mereka.[4]

Dan definisi tersebut dapat kita pahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan syar’I dengan pernikahan ‘urfi, perbedaannya hanyalah antara resmi dan tidak resmi, karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan syar’I disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti wali dan saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat sehingga mudah digugat. DR. Abdul Fattah Amr berkata: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan pernikahan resmi yang sulit digugat”.[5]

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG NIKAH ‘URFI


Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang memilih pernikahan tanpa dicatat di KUA. Diantaranya adalah:

1.Faktor Sosial

a. Problem Poligami

Syariat Islam membolehkan bagi laki-laki yang mampu untuk menikah lebih dari satu istri. Sebagian kaum lelaki pun ingin mempraktikkan hal ini, namun ada hambatan sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh masyarakat atau undang-undang negara mempersulit atau bahkan melarangnya.

b. Undang-undang usia

Dalam suatu Negara biasanya ada peraturan tentang usia layak menikah. Di saat ada seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap menikah tetapi belum terpenuhi usia dalam undang-undang, maka akhirnya dia memilih jalan ini.

c. Tempat tinggal yang tidak menetap.

Sebagian orang tidak menetap tempat tinggalnya karena terikat dengan pekerjaannya atau selainnya. Terkadang dia harus tinggal beberapa waktu yang cukup lama sedangkan istrinya tidak bisa mendampinginya. Dari situlah dia memilih pernikahan model ini guna menjaga kehormatannya.

2. Faktor Harta

Dalam sebagian suku atau Negara masih mengakar adat jual mahar sehingga menjadi medan kebanggan bagi mereka. Nah, tatkala ada pasangan suami istri yang ridho dengan dengan mahar yang relative murah, mereka menempuh pernikahan model ini karena khawatir diejek oleh masyarakatnya.

3. Faktor Agama

Termasuk faktor juga adalah lemahnya iman, dimana sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam suatu pernikahan resmi.[6]

SEJARAH PENCATATAN AKAD NIKAH

Kaum muslimin pada zaman dahulu mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaaan, dimana dimungkinkan para saksi itu lupa, lalai, meninggal dunia, dan sebagainya, maka diperlukan adanya pencatatan akad nikah secara tertulis.[7]

Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau sebagain mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan bukti pernikahan. Syaikhul Islam rahimahullah[8] mengatakan: “Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya diantara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut adalah istrinya”.

MANFAAT PENCATATAN NIKAH

Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat yang banyak sekali, diantaranya:

1. Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut.

2. Menyelesaikan persengketaan antara suami istri atau para walinya ketika mereka berselisih, karena bisa jadi salah satu diantara mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tiada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari.

3. Catatan dan tulisan akan bertahan lama, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih berlaku. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hukum.

4. Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya.

5. Menutup pintu pengakuan dusta dalam pengadilan. Karena bisa saja sebagian orang yang hatinya rusak telah mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatan hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.[9]

BILA UNDANG-UNDANG MEWAJIBKAN PENCATATAN AKAD NIKAH

Melihat manfaat-manfaat pencatatan akad nikah di atas, maka hampir semua negara membuat peraturan agar pernikahan warganya dicatat oleh pegawai yang ditunjuk pemerintah. Undang-undang ini merupakan politik syar’i[10] yang ditetapkan oleh pemerintah karena memandang maslahat dibaliknya yang sangat besar sekali yaitu untuk menjaga hak dan khawatir adanya pengingkaran.

Kita tidak boleh lupa bahwa agama Islam dibangun di atas maslahat dan menolak kerusakan. Seandainya saja undang-undang ini disepelekan pada zaman sekarang niscaya akan terbuka lebar kerusakan dan bahaya yang sangat besar serta pertikaian yang berkepanjangan, tentu saja hal itu sangat tidak sesuai dengan syari’at kita yang indah.

Jadi apabila pemerintah memandang adanya undang-undang keharusan tercatatnya akad pernikahan, maka itu adalah undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk mematuhinya dan tidak melanggarnya. Allah ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.” (QS. an-Nisaa’: 59)

Al-Mawardi rahimahullah berkata: “Allah mewajibkan kita menaati para pemimpin kita”.[11]

Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang mewajibkan kita taat kepada pemimpin selama perintah tersebut bukan suatu yang maksiat.[12]

Dalam sebuah kaidah fiqih dikatakan:

“Ketetapan pemerintah pada rakyat tergantung kepada maslahat (kebaikan)”[13]

Lantas, bukankah menjaga kehormatan dan nasab manusia adalah maslahat yang besar?

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Perintah pemerintah terbagi menjadi tiga macam:

1.Perintah yang sesuai dengan perintah Allah seperti soal fardhu, maka wajib menaatinya.

2.Perintah yang maksiat kepada Allah seperti cukur jenggot, maka tidak boleh menaatinya.

3.Perintah yang bukan perintah Allah dan bukan juga maksiat kepada Allah seperti undang-undang lalu-lintas, undang-undang pernikahan dan sebagainya yang tidak bertentangan dengan syari’at, maka wajib ditaati juga, bila tidak menaatinya maka dia berdosa dan berhak mendapatkan hukuman setimpal.

Adapun anggapan bahwa tidak ada ketaatan kepada pemimpin kecuali apabila sesuai dengan perintah Allah saja, sedangkan peraturan-peraturan yang tidak ada dalam perintah syari’at maka tidak wajib menaatinya, maka ini adalah pemikiran yang batil dan bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.[14]

APAKAH PENCATATAN AKAD MERUPAKAN SYARAT SAH NYA NIKAH?

Sekalipun demikian pentingnya pencatatan akad nikah dalam catatan resmi KUA pada zaman sekarang –yang penuh dengan fitnah dan pertikaian-, tetap saja bukanlah sebuah syarat sahnya sebuah pernikahan. Artinya, apabila semua syarat telah terpenuhi, suatu pernikahan hukumnya tetap sah sekali pun tidak tercatat dalam KUA. Hal ini berdasarkan argumen sebagai berikut:

1. Tujuan pencatatan akad nikah adalah menjaga hak suami istri, dan nasab anak apabila terjadi persengketaan. Tujuan ini sudah bisa terwujudkan dengan adanya saksi dan mengumumkan pernikahan.

2. Tidak ada dalil syar’I untuk mengatakan bahwa pencatatan akad nikah adalah syarat sahnya pernikahan.

3. Pencatatan akad nikah tidak dikenal pada zaman Nabi, sahabat, dan ulama salaf, mereka hanya mencukupkan dengan saksi dan mengumumkan pernikahan.

4. Dalam persyaratan ini terkadang sulit realisasinya dalam sebagian tempat dan keadaan, seperti di pelosok-pelosok desa yang sulit mendapatkan pegawai resmi pancatatan akad nikah.[15]

HUKUM NIKAH TANPA KUA

Karena masalah pencatatan akad nikah ini termasuk masalah kontemporer, maka tak heran jika para ulama berbeda pandang tentang hukumnya. Silang pendapat mereka dapat kita bagi sebagai berikut:

1. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya boleh dan sah secara mutlak, karena pencatatan bukanlah termasuk syariat nikah dan tidak ada pada zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat.

2. Sebagai ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya haram dan tidak boleh pada zaman sekarang, karena itu termasuk nikah sirri yang terlarang dan melanggar peraturan pemerintah yang bukan maksiat.

3. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya adalah sah karena semua syarat nikah telah terpenuhi hanya saja dia berdosa karena melanggar perturan pemerintah yang bukan maksiat.

Setelah menimbang ketiga pendapat di atas, penulis (Ust. Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawy)lebih cenderung kepada pendapat ketiga yang mengatakan bahwa pernikahan tanpa KUA hukumnya adalah sah sebab pencatatan akad nikah bukanlah syarat sah pernikahan sebagaiman telah berlalu. Hanya saja, bila memang suatu pemerintah telah membuat suatu undang-undang keharusan pencatatan akad nikah, maka wajib bagi kita untuk menaatinya dan tidak melanggarnya karena hal itu bukanlah undang-undang yang maksiat atau bertentangan dengan syari’at bahkan undang-undang tersebut dibuat untuk kemaslahatan orang banyak. Apalagi, hal itu bukanlah suatu hal yang sulit bahkan betapa banyak penyesalan terjadi akibat pernikahan yang tak tercatat dibagian resmi pemerintah.[16]

FATWA

Berikut ini sebuah fatwa tentang masalah ini dari anggota komisi fatwa Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota Syaikh Abdurrozzaq Afifi, Abdullah al-Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud:

Soal: Dalam undang-undang Negara, seorang muslim dan muslimah yang ingin menikah dituntut datang ke kantor pencatatan akad nikah, sehingga keduanya datang ke kantor bersama para saksi dan melangsungkan akad nikah disana. Apakah ini merupakan nikah yang syar’i? Bila jawabanya adalah tidak, maka apakah muslim dan muslimah harus mendaftar dan mencatat sebelum akad nikah sesuai dengan undang-undang? Perlu diketahui bahwa pencatatan ini berfaedah bagi suami istri ketika terjadi sengketa?

Jawab: Apabila telah terjadi akad ijab qobul dengan terpenuhinya semua syarat nikah dan tidak ada semua penghalangnya maka pernikahan hukumnya adalah sah. Dan apabila secara undang-undang, pencatatan akad nikah membawa maslahat bagi kedua mempelai baik untuk masa sekarang maupun masa depan maka hal itu wajib dipatuhi.[17]

KESIMPULAN


Dari keterangan di atas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan sebagai berikut:

1.Nikah tanpa pencatatan secara resmi oleh pegawai pemerintah hukumnya adalah sah selagi semua persyaratan nikah telah terpenuhi.

2.Pencatatan nikah memang tidak ada pada zaman Nabi dan para sahabat, hal ini termasuk politik syar’I yang tidak bertentangan dengan agama bahkan memiliki banyak manfaat.

3.Wajib bagi setiap muslim menaati undang-undang tersebut karena ini termasuk salah satu bentuk ketaatan kepada pemimpin.

Demikianlah pembahasan yang dapat kami tengahkan. Sekali lagi, hati kami (Ust. Abu Ubdaidah) terbuka untuk menerima tanggapan dan kritikan dari suadara pembaca semua demi kebaikan kita bersama.

Referensi:

1.Mustajaddat Fiqhiyyah fii Qodhoya Zawaj wa Tholaq karya Usamah Umar Sulaiman al-Asyqor, Dar Nafais, Yordania, cet. 1425 H.

2. Az-Zawaj Al-‘Urfi karya Dr. Ahmad bin Yusuf ad-Daryuwisy, Darul Ashimah, KSA, cet pertama 1426 H

3.Dll
_________
Footnote:

[1] Majalah al-Furqon 11 th. Ke-8, Jumada Tsaniyah 1430H/ Juni 2009, hlm 1.

[2] Ibid, hlm. 37-40. Mulai dari poin ini sampai akhir ditulis oleh Ust. Abu Ubaidah as-Sidawi. Pada tulisan beliau ini terdapat mukaddimah yang diakhirnya beliau mengatakan bahwa beliau terbuka untuk menerima nasehat dan kritikan yang membangun, dan tentunya dengan adab Islami yang indah (hlm. 37). Secara teknis para pembaca bisa melakukannya melalui majalah al-Furqon atau langsung melalui web pribadi beliau di http://abiubaidah.com/

[3] Majalah al-Buhuts al-Fiqhiyyah, edisi 36, Th. 9/ Rojab-Sya’ban-Romadhon 1428 H, hlm, 194

[4] Al-‘Aqdu Al-‘Urf, oleh Azmi Mamduh hal. 11, Mustajaddat Fiqhiyyah fi Qodhoya Zawaj wa Tholaq oleh Usamah al-Asyqor hlm. 130

[5] As-Siyasah asy-Syar’iyyah fil ahwan Syakhsyiyyah oleh Amr Abdul Fatah hlm. 43.

[6] Lihat selengkapnya dalam Az-Zawaj Al-‘Urfi hlm. 85-89 oleh Dr. Ahmad bin Yusuf ad-Daryuwisy

[7] Majalah Al-Buhuts Al-Fiqhiyyah edisi 36, hlm. 194

[8] Majmu’ Fatawa 32/131

[9] Lihat Az-Zawaj Al-‘Urfi. 74-75 oleh DR. Yusuf bin Ahmad Ad-Daryuwisy

[10] Ketahuilah bahwa politik yang syar’i adalah yang tidak bertentangan dengan syariat, bukan haya yang diperintahkan syariat. Semua undang-undang yang membawa kepada keadilan dan kemaslahatan selagi tidak bertentangan dengan syariat maka itulah politik syar’i Lihat hal ini dalam I’lamul Muwaqqi’in 6/517 oleh Ibnul Qoyyim dan As-Siyasah Asy-Syar’iyyah Al-lati Yuriduha Salafiyyun hlm. 14-16 oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman

[11] AL-Ahkam As-Sulthoniyyah hlm.30

[12] Lihat buku yang bagus tentang masalah ini “Mu’amalatul Hukkam” oleh Syaikh Abdus Salam Barjas.

[13] Lihat Al-Asybah wa Nadhoir oleh Ibnu Nujaim hlm. 123, Al-Asybah wa Nadhoir oleh As-Suyuthi hlm. 121, Al-Mantsur fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah oleh Az-Zarkasyi 1/309.

[14] Lihat Syarh Riyadhus Sholihin 3/652-656

[15] Az-Zawaj Al-‘Urfi hlm.68-71 oleh Ustadz Dr. Ahmad bin Yusuf.

[16] Lihat beberapa kejadian dan penyesalan tersebut dalam Mustajaddat Fiqhiyyah fii Qodhoya Zawaj wa Tholaq oleh Usamah al-Asyqor hlm. 152-156

[17] Fatawa Lajnah Daimah 18/87 no. 7910

Jumat, 12 Februari 2010

Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Menurut Syari’at Islam


Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Menurut Syari’at Islam


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para Shahabatnya.

Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mewafatkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali setelah beliau selesai menyampaikan segala sesuatu yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dengan jelas, baik berupa perkataan maupun perbuatan; juga setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa setiap hal baru yang diada-adakan oleh manusia dan disandarkan kepada agama Islam, baik berupa i’tiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatan semua itu adalah bid’ah dan tertolak, walaupun maksudnya baik.

Semua ini karena bid’ah merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah Azza wa Jalla dari golongan Yahudi dan Nasrani. Selain itu, melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menganggapnya tidak sempurna. Keyakinan ini mengandung kerusakan yang besar dan bertentangan dengan firman Allah Azza wa jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan terhadap bid’ah.

Mengada-ada hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini, atau beranggapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan umatnya. Tidak diragukan lagi, anggapan seperti ini mengandung bahaya besar lantaran menentang Allah k dan Rasul-Nya. Karena Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi paling mulia dan terakhir. Nabi yang paling sempurna penyampaian dan ketulusannya. Seandainya Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu benar-benar termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkannya kepada umatnya; Atau paling tidak, pasti telah dikerjakan oleh para Shahabatnya. Tetapi, semua itu tidak terjadi. Dengan demikian, jelaslah hal itu bukan bagian dari ajaran Islam dan termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam hari-hari besar mereka

Diantara hal aneh dan mengherankan ialah banyak orang yang giat dan bersemangat menghadiri acara-acara yang bid’ah, bahkan membelanya, sementara mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang Allah Azza wa Jalla syari’atkan seperti shalat wajib, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah bahkan sebagian mereka terbiasa dengan perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kemungkaran yang besar. Ini semua dikarenakan oleh lemahnya iman, dangkalnya pemikiran, serta banyaknya noda yang mengotori hati.

Lebih aneh lagi, sebagian pendukung maulid mengklaim bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menghadiri acara tersebut. Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati dan menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang amat buruk. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari Kiamat, tidak berkomunikasi dengan seorang manusia pun, dan tidak menghadiri pertemuan-pertemuan umatnya sama sekali.

Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah dengan menyelenggarakan acara-acara perayaan maulid semacam itu, akan tetapi dengan mentaati perintahnya, membenarkan semua yang dikabarkannya, menjauhi segala yang dilarang dan diperingatkannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla kecuali dengan yang beliau syari’atkan.

A. ORANG YANG PERTAMA KALI MENGADAKAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.
Para ulama ummat, para pemimpin, dan para pembesarnya bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik zindiq, yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia bersaksi atas sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang menunjukkan atas kemunafikan dan kezindikan mereka.

B. BEBERAPA ALASAN DILARANGNYA MEMPERINGATI MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:

Pertama: Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan keterangan sedikit pun dan ilmu tentang itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkannya baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]

Juga berfirman yang maknanya :

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah k dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat Allah Azza wa Jalla.” [al-Ahzâb/33: 21]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru yang tidak ada dalam urusan agama kami, maka amalan itu tertolak”.

Dalam riwayat Imam Muslim, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak”.

Kedua: Khulafa-ur Rasyidîn dan para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya tidak pernah mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

…فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَـفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَـا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

”…Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.”

Peringatan maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah lebih dahulu melakukannya.

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.”

Ketiga: Peringatan hari kelahiran (ulang tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali menciptakan kebiasaan tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah, sebagaimana keterangan diatas. Mereka sebenarnya berasal dari kalangan Yahudi, bahkan ada pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang Atheis.

Orang yang pertama menciptakannya adalah al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi yang keluar dari Maroko menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.

Apakah layak bagi orang Muslim berakal untuk mengikuti Rafidhah dan mengikuti kebiasaan mereka serta menyelisihi petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?

Keempat: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” [al-Mâ-idah/5:3]

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat AllahSubhanahu wa Ta’alal terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَتَـمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلاًً

“Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil …” [al-An’âm/6:115]

Maksudnya, benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka.

Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia agama yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling utama dan menurunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur`an).

Mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (al-Mâ-idah/5:3), ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhuma,

“Maksudnya adalah Islam. Allah Azza wa Jalla telah mengabarkan kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Mukminin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan memurkainya selamanya.”

Orang yang melaksanakan Sunnah-Sunnah dan meninggalkan bid’ah-bid’ah -termasuk bid’ah Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka mereka menjadi asing di masyarakat, pendukung perayaan ini. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dengan sangat jelas. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan satu jalan pun yang dapat menghantarkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah beliau jelaskan kepada umatnya.

Kalau peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya atau melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ

“Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka.”
Kelima: Dengan mengadakan bid’ah-bid’ah semacam itu, timbul kesan bahwa Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan agama ini, sehingga perlu dibuat ibadah lain untuk menyempurnakannya. Juga menimbulkan kesan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum tuntas menyampaikan agama ini kepada umatnya sehingga kalangan ahli bid’ah merasa perlu menciptakan hal baru dalam agama ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.

Keenam: Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

“Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata.

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at”

Diantara kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at.”

Syaikh Hâfizh bin Ahmad bin ‘Ali al-Hakami rahimahullah (wafat th. 1377 H) berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang diterima; Semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada petunjuk sedikitpun di dalamnya; Semuanya adalah dosa tidak berpahala; Semuanya batil tidak ada kebenaran di dalamnya. Dan makna bid’ah ialah syari’at yang tidak diizinkan Allah Azza wa Jalla dan tidak termasuk urusan (agama) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.”

Para ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.

Ketujuh: Memperingati kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membuktikan kecintaan terhadap Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kecintaan itu hanya dapat dibuktikan dengan mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan Sunnah beliau, dan mentaati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku, niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Ali Imrân:31]

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahîh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak.”

Oleh karena itu, maksud firman Allah Azza wa Jalla yang maknya :

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku. Niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihimu”

Adalah kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian. Ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan ulama ahli hikmah, “Yang jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai, tetapi yang jadi ukuran adalah jika engkau dicintai.” al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah Azza wa Jalla, lalu Allah Azza wa Jalla menguji mereka melalui ayat ini …”

Kemudian firman Allah Azza wa Jalla yang maknanya,

“Dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Maksudnya adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalian akan memperoleh pengampunan, berkat keberkahan utusan-Nya.”

Kedelapan: Memperingati Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai perayaan berarti menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam hari raya mereka, padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti gaya hidup mereka.

Kesembilan: Orang yang berakal tidak mudah terperdaya dengan banyaknya orang yang memperingati maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tolok ukur kebenaran itu bukan jumlah orang yang mengamalkannya, namun berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shâlih.

Kesepuluh: Berdasarkan kaidah syariat yaitu mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

” … Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah k dan hari Kemudian” [an-Nisâ'/ 4:59]

Demikian juga dengan firman-Nya yang bermakna:

Tentang sesuatu apa pun yang kamu berselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah Azza wa Jalla.” [asy-Syûra/42: 10]

Orang yang mengembalikan persoalan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dia akan mendapati bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar mengikuti Nabi-Nya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan ataupun memperingati kelahiran beliau dan beliau sendiri, juga para sahabat beliau. Dengan demikian dapat diketahui bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah berasal dari Islam, tetapi merupakan perbuatan bid’ah.

Kesebelas: Yang disyariatkan bagi seorang Muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia mau. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau bersabda,

“Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku diutus sebagai nabi, serta hari aku diberikan wahyu.”

Yang disyariatkan adalah meneladani beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan merayakan hari kelahiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua belas: Perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.

“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari ssanjungan yang Allah berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”

Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan :

قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.

“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan”

Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُطْرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَـا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا : عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.

“Janganlah kalian mengkultuskan diriku sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya”
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”

Ketiga belas: Berbagai perbuatan syirik, bid’ah, dan haram yang terjadi dalam peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dalam perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering terjadi hal-hal yang diharamkan, seperti kesyirikan, bid’ah, bercampur baurnya kaum laki-laki dan wanita, menggunakan nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering terjadi perbuatan syirik Akbar (besar), seperti istigâtsah kepada Rasulullah n atau para wali, penghinaan terhadap Kitabullah, di antaranya dengan merokok pada saat majelis Al-Qur’an, sehingga terjadilah kemubadziran dan membuang-buang harta.

Sering juga diadakan dzikir-dzikir yang menyimpang di masjid-masjid pada acara Maulid Nabi tersebut dengan suara keras diiringi tepuk tangan yang tak kalah kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah perbuatan yang tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang berpegang teguh kepada kebenaran.

Keempat belas: Dalam peringatan maulid terdapat keyakinan batil bahwa ruh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-cara maulid yang mereka adakan.

Dengan alasan itu mereka berdiri dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling buruk sekali. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan seseorang (dalam keadaan sadar), tidak pula hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Beliau akan tetap berada dalam kubur beliau hingga hari Kiamat. Ruh beliau berada di ‘Illiyyin yang tertinggi di sisi Rabb beliau dalam Dârul Karâmah.

Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya,

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).” (Qs az-Zumar/39:30).

Dan dalam ayat yang lain, Allah k berfirman yang maknanya,

“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” [al-Mukminûn/23: 15-16].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ

“Aku adalah penghulu manusia di hari Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar dari alam kubur, serta orang yang pertama kali memberi syafa’at dan yang menyampaikan syafa’at”

Ayat dan hadits di atas serta berbagai ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang sudah mati lainnya akan keluar dari kubur mereka pada hari Kiamat nanti.

Al-Allâmah Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah menyatakan, “Ini adalah pendapat yang sudah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.”

Sebagai tambahan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana bisa mereka menghormati beliau n dengan cara berdiri setelah beliau wafat.

C. HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:

1). Mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mentauhidkan Allah Azza wa Jalla, menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beradab dengan adabnya.

2). Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.

3). Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan Sunnahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman,

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi k dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” [al-Ahzâb/33:56]

4). Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan membenci orang yang membencinya.

5). Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya.

D. FATWA PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA PERAYAAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.

1. al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin al-Fakihani rahimahullah (wafat th. 734 H) berkata :
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu…”

2. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”

3. al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“…Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”

4. Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka…”

5. Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
“…Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,[30]

“…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]

Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas melakukannya…”

6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.

Kedua: dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]

Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah ? Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu yang bukan bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya :

“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…” [al-Mâidah/5: 3]”

7. Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang maknanya :

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]

Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah…

Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari Kitabullâh maupun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam…

Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad n, juga kepada keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.

Senin, 08 Februari 2010

Kabut Beracun Itu Bernama Valentine’s Day




Kabut Cinta

14 Februari adalah hari yang sangat istimewa bagi para "pendewa" Valentine’s Day. Pada hari itu mereka mengungkapkan rasa cinta dan sayang kepada orang-orang yang diinginkan. Ada yang menyatakan perasaannya kepada teman, guru, orang tua, kakak atau adik, dan yang paling banyak adalah yang menyatakan kepada kekasihnya. Pada hari itu pula mereka mengirimkan kartu atau hadiah bertuliskan ” Be my Valentine” (Jadilah Valentine-ku) atau sama artinya “Jadilah Kekasihku”.

Di Indonesia, sejak era 1980-an, perayaan Hari Valentine ini makin memprihatinkan. Jika kita masuk toko buku atau semisalnya di bulan Februari, akan tampak rak-rak yang berjajar berisikan beragam kartu ucapan Valentine’s Day. Tak mau kalah, toko-toko souvenir pun mulai menjajakan aneka kado bertema Valentine’s Day. Mall dan supermarket juga menghias seluruh ruangan dengan warna-warna pink dan biru lembut, dengan hiasan-hiasan berbentuk hati dan pita di mana-mana. Hampir semua media cetak dan elektronik pun jadi penggesa program misterius ini.

Dengan berfikir sedikit saja kita dapat mengetahui bahwa perayaan ‘aneh’ ini tidak lepas dari trik bisnis para pengusaha tempat hiburan, pengusaha hotel, perangkai bunga, dan lainnya. Akhirnya jadilah perayaan Valentine sebagai perayaan bisnis yang bermuara pada perusakan akidah dan akhlak pemuda Islam (khususnya). Saatnya kita bertanya pada diri kita masing-masing, apa yang sudah kita lakukan dalam penyelamatan generasi penerus kita.


Sekilas Sejarah Valentine’s Day


Ribuan literatur yang menyebutkan sejarah Hari Valentine masih berbeda pendapat. Ada banyak versi tentang asal-usul perayaan Valentine ini. Yang paling populer adalah kisah Valentinus (St. Valentine) yang diyakini hidup pada masa Claudius II yang kemudian menemui ajal pada 14 Februari 269 M. Namun kisah ini pun ada beberapa versi lagi.

Yang jelas dan tidak memiliki silang pendapat adalah kalau kita menilik lebih jauh lagi ke dalam tradisi paganisme (dewa-dewi) Romawi Kuno. Pada waktu itu ada sebuah perayaan yang disebut Lupercalia. Di dalamnya terdapat rangkaian upacara penyucian di masa Romawi Kuno (13-18 Februari). Dua hari pertama dipersembahkan untuk Dewi Cinta , Juno Februata. Pada hari ini, para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi pasangannya selama setahun untuk bersenang-senang dan menjadi objek hiburan.

Pada 15 Februari, mereka meminta perlindungan Dewa Lupercalia terhadap gangguan serigala. Selama upacara ini, kaum muda memecut orang dengan kulit binatang dan wanita berebut untuk dipecut karena menganggap pecutan itu akan membuat mereka menjadi lebih subur. Ketika agama Kristen Katolik masuk Roma, mereka mengadopsi upacara ini dan mewarnainya dengan nuansa Kristiani, antara lain mengganti nama-nama gadis dengan nama-nama Paus atau Pastor. Di antara pendukungnya adalah Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I. Kemudian agar lebih mendekatkan lagi pada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Galasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan nama saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari.

Jati diri St. Valentine sendiri masih diperdebatkan sejarawan. Saat ini, sekurang-kurangnya ada tiga nama Valentine yang meninggal pada 14 Februari. Di antaranya ada kisah yang menceritakan bahwa kaisar Caludius II menganggap tentara muda bujangan lebih tabah dan kuat di medan peperangan daripada orang yang menikah. Kaisar lalu melarang para pemuda menikah. Tindakan kaisar itu mendapatkan tantangan dari St. Valentine yang secara diam-diam menikahkan banyak pemuda sehingga ia pun ditangkap dan dihukum gantung pada 14 Februari 269 M.

Dapat kita tarik beberapa kesimpulan:


1. Valentine’s Day berakar dari upacara keagamaan ritual Romawi Kuno untuk menyembah dewa mereka yang dilakukan dengan penuh kesyirikan.

2. Upacara yang biasa dilaksanakan pada 15 februari tersebut pada tahun 496 oleh Paus Galasius I diganti menjadi 14 Februari.

3. Agar dunia menerima, hari itu disamarkan dengan nama “hari kasih sayang” yang kini telah tersebar diberbagai negeri, termasuk negeri-negeri Islam.


Jangan Ikuti Budaya KAFIR


Begitukah wahai saudaraku seiman, Hari Valentine berasal dari zaman Romawi yang seluruhnya tidak lain adalah bersumber dari paganisme syirik, penyembahan berhala, dan penghormatan kepada pastor. Selain itu, perayaan Valentine’s Day adalah salah satu makar orang-orang Yahudi yang diselundupkan ke dalam tubuh unat Islam supaya diikuti. Jadi, perayaan Valentine’s Day adalah salah satu acara yang diadakan orang-orang kafir dan orang-orang yang bergelimang dosa dalam rangka berbuat maksiat, mengumbar syahwat, dan memenuhi hawa nafsu belaka.

Di Bandung 12 Februari 2005, Studio Carton Multi Kreasi menggelar acara lomba menjijikkan yang diadopsi dari Amerika [Harian Pikiran Rakyat 13 Februari 2005]. Arini dari Muri menyatakan bahwa lomba serupa pernah digelar pada Desember 2001 di New York, AS. Mengapa masih banyak pemuda-pemudi Islam tertipu dan ikut-ikutan membeo budaya orang-orang kafir tersebut? Ingatlah wahai kaum muslimin, musuh-musuh Islam selalu berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan kalian dari ajaran agama kalian! Allah berfirman:

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَى

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar).”…(QS. Al-Baqoroh [2]: 120)


لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sungguh kalian akan mengikuti sunnah perjalanan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehingga mereka memasuki lubang dhab (hewan sejenis biawak di Arab). Mereka berkata, “Wahai Rasulullah apakah mereka Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Bukhari 7325 dan Muslim 2669)

Syaikh Sulaiman bin Abdulloh Alu Syaikh rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sungguh mayoritas umatnya ini telah mengikuti sunnah perjalanan kaum Yahudi dan Nasrani dalam gaya hidup, berpakaian, syi’ar-syi’ar agama, dan adat-istiadat. Dan hadits ini lafazhnya berupa kabar yang berarti larangan mengikuti jalan-jalan selain agama Islam.” [Taisir Aziz al-Hamid hlm. 32]


Menyoroti Valentine’s Day


Setiap Februari menjelang, banyak remaja Indonesia yang notabene mengaku beragama Islam ikut-ikutan sibuk mempersiapkan perayaan Valentine. Walau sudah banyak yang mendengar bahwa Valentine adalah salah satu hari raya umat Kristiani yang mengandung nilai-nilai akidah Kristen, namun hal ini tidak mereka pedulikan. Bisakah dibenarkan sikap dan pandangan seperti itu?

Lajnah Da’imah Arab Saudi pernah ditanya tentang perayaan Valentine’s Day, mengucapkan ucapan selamat, memberikan hadiah, dan menyediakan alat-alat untuknya, lantas dijawab oleh Lajnah:

“Dalil dalil yang jelas dari al-Qur’an dan sunnah serta kesepakatan ulama salaf telah menegaskan bahwa perayaan dalam Islam hanya ada dua, Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun perayaan-perayaan lainnya yang berkaitan dengan tokoh, kelompok, atau kejadian tertentu adalah perayaan yang diada-adakan .


Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimullah berkata: “Sesungguhnya perayaan tidaklah diadakan berdasarkan logika dan akal sebagaimana dilakukan oleh ahli kitab sebelum kita melainkan berdasarkan syari’at dan dalil.” (Fathul-Bari: 1/159, Tafsir Ibnu Rajob: 1/390)].

Tidak boleh umat Islam merayakannya, menyetujuinya, menampakkan kegembiraan padanya, atau membantu kelancarannya karena hal itu berarti melanggar hukum Alloh yang merupakan suatu tindak kezaliman. Dan bila perayaan tersebut merupakan perayaan orang kafir maka maikn parah dosanya sebab hal itu merupakan tasyabbuh (menyerupai) mereka dan termasuk bentuk loyalitas kepada mereka, sedangkan Alloh dalam al-Qur’an yang mulia telah melarang kaum mukminin menyerupai orang-orang kafir dan loyal kepada mereka. Juga, telah shohih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

و من تشبه بقوم فهو منهم

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. Abu Dawud: 4031, Ahmad: 2/50, 92, dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul-Gholil: 1269)

Perayaan Valentine’s day termasuk hal di atas karena termasuk perayaan penyembah berhala dan umat Nasrani. Maka tidak boleh umat Islam yang beriman kepada Alloh dan hari akhir ikut merayakannya, menyetujuinya, dan mengucapkan selamat untuknya. Bahkan yang wajib adalah meninggalkannya dan menjauhinya sebagai ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya serta menjauhi sebab kemurkaan Alloh. Sebagaimana pula diharamkan membantu semaraknya acara ini atau perayaan-perayaan haram lainnya baik dengan jual beli, mengirim kartu, mencetak, mensponsori, dan sebagainya karena semua itu termasuk tolong-menolong dalam dosa dan kemaksiatan. Alloh berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…(QS. Al-Ma’idah [5]: 2)

[ Fatawa Lajnah Da’imah Lil-Buhuts Ilmiyyah wal-Ifta’: 21203 tgl. 22/11/1420.]

Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan beberapa dampak negatif perayaan Valentine’s Day. Beliau berkata dalam fatwa yang beliau tanda tangani bertanggal 5 Dzulqo’dah 1420 H:

“Perayaan ini tidak boleh karena alasan berikut:

Pertama.

Valentine’s Day hari raya bid’ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari’at Islam.

Kedua.

Merayakan Valentine’s Day dapat menyebabkan cinta yang semu.

Ketiga.

Menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salafush-sholih radhiyallahu ‘anhum.

Maka tidak halal melakukan ritual hari raya dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah, ataupun lainnya. Hendaklah setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, bukan menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan.” [ Majmu’ Fatawa wa Rosa’il kar. Syaikh Ibnu Utsaimin: 16/199-200. Lihat pula Fatawa Ulama’ Baladil-Haram hlm. 1022-1024 dan as-Sunan wal-Mubtada’at fil-A’yad hlm. 52 kar. Dr. Abdurrohman bin Sa’ad asy-Syisyri.]

Dampak buruk lainnya, terhapuslah nilai-nilai Islam serta memperbanyak jumlah mereka dengan mendukung dan mengikuti agama mereka.

Alhasil, hendaklah kaum muslimin sekarang ini mengetahui dan berhati-hati terhadap propaganda yang diserukan oleh orang-orang kafir yang berusaha menjauhkan kaum muslimin dari ajaran Islam dan melegalkan ajarannya yang sesat lagi menyesatkan.


Valentine, Hari Cinta?


Dikatakan, Valentine itu hari untuk menyebarkan kasih sayang dan cinta. Benarkah demikian? Salah, bahkan pernyataan itu sungguh memperihatinkan! Bukankah dengan demikian seolah-olah Islam tidak mengenal cinta kasih, padahal dalam Islam ajaran cinta kasih memiliki kedudukan tersendiri dengan skala prioritas sebagaimana tercantum dalam QS. al-Baqoroh [2]: 165, at-Taubah [9]: 24, al-Fath [48]: 29, dan al-Ma’idah [5]: 54.

Kelihaian dan kelicikan musuh Islam untuk menipu umat Islam patut diacungi jempol. Valentine’s Day yang berbau syirik pun bisa terbungkus dan terpoles rapi dan digandrungi oleh generasi muda Islam yang tidak memiliki kekuatan Ilmu agama.

Sesungguhnya cinta dalam Valentine’s Day hanyalah cinta semu yang akan merusak akhlak dan norma-norma agama. Oleh karenanya, perhatikanlah bagaimana Valentine’s Day bukan hanya diingkari oleh para pemuka Islam melainkan juga oleh pemuka agama-agama lainnya. Di India misalnya, pernah diberitakan bahwa sejumlah aktivis dan pemuka agama Hindu berkumpul di Bombay pada Sabtu, 14 Februari 2004. Dengan lantang mereka menyerukan agar tidak ikut-ikutan merayakan Hari Valentine yang menganjurkan dekadensi moral dan merusak tradisi India. Seorang aktivis berteriak: “Valentine’s Day bukan bagian dari kepribadian dan tradisi agama kita. Selain itu, apa yang diajarkan oleh Valentine’s day itu sungguh-sungguh akan merusak tatanan nilai dan norma kehidaupan bermasyarakat warga India. Janganlah ikut-ikutan Barat!!” [ Kantor Berita Reuters 12 Februari 2005]

KESIMPULAN


Valentine’s Day merupakan hari raya orang kafir yang penuh kesyirikan. Tidak boleh umat Islam ikut-ikutan merayakannya, dan membantu memeriahkannya dengan memperdagangkan alat-alat yang digunakan. Wajib umat Islam menghindari kemurkaan Allah. Wallahu A’lam.

[Sumber: Majalah Al Furqon, edisi 6 th. Ke-8, Muhorram 1430 H (Jan. '09). Dicuplik dari http://abusalma.wordpress.com/ ]