Jumat, 26 Februari 2010

Menikah Sirri (Nikah ‘Urfi) Antara Hukum Syar’i & Undang Undang Negara


Menikah Sirri (Nikah ‘Urfi) Antara Hukum Syar’i & Undang Undang Negara


oleh : Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawy


Akhir-akhir ini di berbagai media masa kita dihidangkan dengan adanya rancangan undang-undang (RUU) tentang hukum pidana bagi pelaku nikah sirri yang kini banyak mengundang kontroversi dari berbagai pihak. Oleh karena itulah kali ini kami ingin menyajikan pembahasan tentang pernikahan yang tidak tercatat di KUA ini –terlepas dari kontroversi apakah pelaku pantas diberi sanksi pidana ataukah cukup dengan sanksi administratif-. Pembahasan ini kami nukilkan dari majalah al-Furqon edisi 11 th. Ke-8, Jumada Tsaniyah 1430H/ Juni 2009 dengan tema cover “Nikah Ilegal, Nikah Bermasalah”. Semoga tulisan ini menjadi sebuah opini fiqih yang dapat membuka wacana kita sehingga mampu menjadi solusi dan peredam bagi kontroversi yang ada. Wabillahit taufiq

INDAHNYA PERNIKAHAN YANG SYAR’I LAGI RESMI
[1]

Pernikahan adalah sebuah akad yang agung. Dibangun di atas dasar hak dan kewajiban pasangan suami istri kepada sang Kholiq dan kepada sesama. Islam pun mengaturnya sejak awal proses pemilihan pasangan hidup, prosesi pernikahan itu sendiri, saat-saat bersama mengayuh biduk maupun ketika terselimuti kabut fitnah. Bahkan ketika porak poranda sekalipun Islam mengaturnya.

Islam menyaratkan akad dari seorang wali wanita dengan disaksikan dua orang saksi, serta mensyariatkan agar diumumkan kepada masyarakat adanya ikatan agung ini. Dan berlayarnya bahtera ini dibarengi dengan keridhoan dan kebahagiaan, tanpa ada keresahan sosial dan pandangan curiga dari masyarakat sekitar.

Namun seiring dengan semakin jauhnya manusia dari cahaya nubuwwah, bermunculanlah manusia yang melalaikan kewajiban. Suami pura-pura lupa tugasnya atau istri terlalu berani pegang kendali. Di luar rumahpun ada orang-orang yang mau bersaksi palsu, muncullah problematika baru yang mungkin belum pernah ada sebelumnya. Untuk menghindari hal itu dan untuk kebutuhan-kebutuhan penting lainnya maka dibutuhkanlah sebuah bukti akurat berupa pencatatan akad pernikahan oleh sebuah lembaga resmi. Pemerintah muslim di seluruh dunia pun mewajibkan pencatatan pernikahan pada lembaga resmi tersebut. Banyak maslahat yang diperoleh dan banyak mafsadah yang dihilangkan atau setidak-tidaknya diminimalkan dengan hal baru ini, pencatatan akad nikah.

Meski bukan syarat sah sebuah pernikahan, -dan pernikahan tetap sah selama terpenuhi syarat rukun secara syar’I, -namun karena pencatatan akad nikah diwajibkan oleh pemerintah maka wajib bagi setiap insan beriman untuk menaati ketetapan ini.

Bukankah merupakan salah satu pokok aqidah Ahlussunnah yang sudah mapan bahwa wajib menaati pemerintah selagi bukan untuk maksiat kepada Allah ?

jika peraturan semacam ini dianggap tidak wajib, lalu peraturan pemerintah macam apa lagi yang akan menjadi wajib? Renungkanlah.

NIKAH ILEGAL, NIKAH BERMASALAH[2]

DEFINISI NIKAH ‘URFI


Masalah yang sedang kita bahas ini (nikah sirri) dalam fiqih kontemporer dikenal dengan istilah zawaj ‘urfi yaitu suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak tercatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (baca:KUA).[3]

Disebut nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia, dimana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahn dalam hati mereka.[4]

Dan definisi tersebut dapat kita pahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan syar’I dengan pernikahan ‘urfi, perbedaannya hanyalah antara resmi dan tidak resmi, karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan syar’I disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti wali dan saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat sehingga mudah digugat. DR. Abdul Fattah Amr berkata: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan pernikahan resmi yang sulit digugat”.[5]

FAKTOR-FAKTOR PENDORONG NIKAH ‘URFI


Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang memilih pernikahan tanpa dicatat di KUA. Diantaranya adalah:

1.Faktor Sosial

a. Problem Poligami

Syariat Islam membolehkan bagi laki-laki yang mampu untuk menikah lebih dari satu istri. Sebagian kaum lelaki pun ingin mempraktikkan hal ini, namun ada hambatan sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh masyarakat atau undang-undang negara mempersulit atau bahkan melarangnya.

b. Undang-undang usia

Dalam suatu Negara biasanya ada peraturan tentang usia layak menikah. Di saat ada seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap menikah tetapi belum terpenuhi usia dalam undang-undang, maka akhirnya dia memilih jalan ini.

c. Tempat tinggal yang tidak menetap.

Sebagian orang tidak menetap tempat tinggalnya karena terikat dengan pekerjaannya atau selainnya. Terkadang dia harus tinggal beberapa waktu yang cukup lama sedangkan istrinya tidak bisa mendampinginya. Dari situlah dia memilih pernikahan model ini guna menjaga kehormatannya.

2. Faktor Harta

Dalam sebagian suku atau Negara masih mengakar adat jual mahar sehingga menjadi medan kebanggan bagi mereka. Nah, tatkala ada pasangan suami istri yang ridho dengan dengan mahar yang relative murah, mereka menempuh pernikahan model ini karena khawatir diejek oleh masyarakatnya.

3. Faktor Agama

Termasuk faktor juga adalah lemahnya iman, dimana sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam suatu pernikahan resmi.[6]

SEJARAH PENCATATAN AKAD NIKAH

Kaum muslimin pada zaman dahulu mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaaan, dimana dimungkinkan para saksi itu lupa, lalai, meninggal dunia, dan sebagainya, maka diperlukan adanya pencatatan akad nikah secara tertulis.[7]

Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau sebagain mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan bukti pernikahan. Syaikhul Islam rahimahullah[8] mengatakan: “Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya diantara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut adalah istrinya”.

MANFAAT PENCATATAN NIKAH

Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat yang banyak sekali, diantaranya:

1. Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut.

2. Menyelesaikan persengketaan antara suami istri atau para walinya ketika mereka berselisih, karena bisa jadi salah satu diantara mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telah tiada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari.

3. Catatan dan tulisan akan bertahan lama, sehingga sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih berlaku. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hukum.

4. Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya.

5. Menutup pintu pengakuan dusta dalam pengadilan. Karena bisa saja sebagian orang yang hatinya rusak telah mengaku telah menikahi seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatan hanya karena mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.[9]

BILA UNDANG-UNDANG MEWAJIBKAN PENCATATAN AKAD NIKAH

Melihat manfaat-manfaat pencatatan akad nikah di atas, maka hampir semua negara membuat peraturan agar pernikahan warganya dicatat oleh pegawai yang ditunjuk pemerintah. Undang-undang ini merupakan politik syar’i[10] yang ditetapkan oleh pemerintah karena memandang maslahat dibaliknya yang sangat besar sekali yaitu untuk menjaga hak dan khawatir adanya pengingkaran.

Kita tidak boleh lupa bahwa agama Islam dibangun di atas maslahat dan menolak kerusakan. Seandainya saja undang-undang ini disepelekan pada zaman sekarang niscaya akan terbuka lebar kerusakan dan bahaya yang sangat besar serta pertikaian yang berkepanjangan, tentu saja hal itu sangat tidak sesuai dengan syari’at kita yang indah.

Jadi apabila pemerintah memandang adanya undang-undang keharusan tercatatnya akad pernikahan, maka itu adalah undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk mematuhinya dan tidak melanggarnya. Allah ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu.” (QS. an-Nisaa’: 59)

Al-Mawardi rahimahullah berkata: “Allah mewajibkan kita menaati para pemimpin kita”.[11]

Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang mewajibkan kita taat kepada pemimpin selama perintah tersebut bukan suatu yang maksiat.[12]

Dalam sebuah kaidah fiqih dikatakan:

“Ketetapan pemerintah pada rakyat tergantung kepada maslahat (kebaikan)”[13]

Lantas, bukankah menjaga kehormatan dan nasab manusia adalah maslahat yang besar?

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Perintah pemerintah terbagi menjadi tiga macam:

1.Perintah yang sesuai dengan perintah Allah seperti soal fardhu, maka wajib menaatinya.

2.Perintah yang maksiat kepada Allah seperti cukur jenggot, maka tidak boleh menaatinya.

3.Perintah yang bukan perintah Allah dan bukan juga maksiat kepada Allah seperti undang-undang lalu-lintas, undang-undang pernikahan dan sebagainya yang tidak bertentangan dengan syari’at, maka wajib ditaati juga, bila tidak menaatinya maka dia berdosa dan berhak mendapatkan hukuman setimpal.

Adapun anggapan bahwa tidak ada ketaatan kepada pemimpin kecuali apabila sesuai dengan perintah Allah saja, sedangkan peraturan-peraturan yang tidak ada dalam perintah syari’at maka tidak wajib menaatinya, maka ini adalah pemikiran yang batil dan bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.[14]

APAKAH PENCATATAN AKAD MERUPAKAN SYARAT SAH NYA NIKAH?

Sekalipun demikian pentingnya pencatatan akad nikah dalam catatan resmi KUA pada zaman sekarang –yang penuh dengan fitnah dan pertikaian-, tetap saja bukanlah sebuah syarat sahnya sebuah pernikahan. Artinya, apabila semua syarat telah terpenuhi, suatu pernikahan hukumnya tetap sah sekali pun tidak tercatat dalam KUA. Hal ini berdasarkan argumen sebagai berikut:

1. Tujuan pencatatan akad nikah adalah menjaga hak suami istri, dan nasab anak apabila terjadi persengketaan. Tujuan ini sudah bisa terwujudkan dengan adanya saksi dan mengumumkan pernikahan.

2. Tidak ada dalil syar’I untuk mengatakan bahwa pencatatan akad nikah adalah syarat sahnya pernikahan.

3. Pencatatan akad nikah tidak dikenal pada zaman Nabi, sahabat, dan ulama salaf, mereka hanya mencukupkan dengan saksi dan mengumumkan pernikahan.

4. Dalam persyaratan ini terkadang sulit realisasinya dalam sebagian tempat dan keadaan, seperti di pelosok-pelosok desa yang sulit mendapatkan pegawai resmi pancatatan akad nikah.[15]

HUKUM NIKAH TANPA KUA

Karena masalah pencatatan akad nikah ini termasuk masalah kontemporer, maka tak heran jika para ulama berbeda pandang tentang hukumnya. Silang pendapat mereka dapat kita bagi sebagai berikut:

1. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya boleh dan sah secara mutlak, karena pencatatan bukanlah termasuk syariat nikah dan tidak ada pada zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat.

2. Sebagai ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya haram dan tidak boleh pada zaman sekarang, karena itu termasuk nikah sirri yang terlarang dan melanggar peraturan pemerintah yang bukan maksiat.

3. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya adalah sah karena semua syarat nikah telah terpenuhi hanya saja dia berdosa karena melanggar perturan pemerintah yang bukan maksiat.

Setelah menimbang ketiga pendapat di atas, penulis (Ust. Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawy)lebih cenderung kepada pendapat ketiga yang mengatakan bahwa pernikahan tanpa KUA hukumnya adalah sah sebab pencatatan akad nikah bukanlah syarat sah pernikahan sebagaiman telah berlalu. Hanya saja, bila memang suatu pemerintah telah membuat suatu undang-undang keharusan pencatatan akad nikah, maka wajib bagi kita untuk menaatinya dan tidak melanggarnya karena hal itu bukanlah undang-undang yang maksiat atau bertentangan dengan syari’at bahkan undang-undang tersebut dibuat untuk kemaslahatan orang banyak. Apalagi, hal itu bukanlah suatu hal yang sulit bahkan betapa banyak penyesalan terjadi akibat pernikahan yang tak tercatat dibagian resmi pemerintah.[16]

FATWA

Berikut ini sebuah fatwa tentang masalah ini dari anggota komisi fatwa Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota Syaikh Abdurrozzaq Afifi, Abdullah al-Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud:

Soal: Dalam undang-undang Negara, seorang muslim dan muslimah yang ingin menikah dituntut datang ke kantor pencatatan akad nikah, sehingga keduanya datang ke kantor bersama para saksi dan melangsungkan akad nikah disana. Apakah ini merupakan nikah yang syar’i? Bila jawabanya adalah tidak, maka apakah muslim dan muslimah harus mendaftar dan mencatat sebelum akad nikah sesuai dengan undang-undang? Perlu diketahui bahwa pencatatan ini berfaedah bagi suami istri ketika terjadi sengketa?

Jawab: Apabila telah terjadi akad ijab qobul dengan terpenuhinya semua syarat nikah dan tidak ada semua penghalangnya maka pernikahan hukumnya adalah sah. Dan apabila secara undang-undang, pencatatan akad nikah membawa maslahat bagi kedua mempelai baik untuk masa sekarang maupun masa depan maka hal itu wajib dipatuhi.[17]

KESIMPULAN


Dari keterangan di atas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan sebagai berikut:

1.Nikah tanpa pencatatan secara resmi oleh pegawai pemerintah hukumnya adalah sah selagi semua persyaratan nikah telah terpenuhi.

2.Pencatatan nikah memang tidak ada pada zaman Nabi dan para sahabat, hal ini termasuk politik syar’I yang tidak bertentangan dengan agama bahkan memiliki banyak manfaat.

3.Wajib bagi setiap muslim menaati undang-undang tersebut karena ini termasuk salah satu bentuk ketaatan kepada pemimpin.

Demikianlah pembahasan yang dapat kami tengahkan. Sekali lagi, hati kami (Ust. Abu Ubdaidah) terbuka untuk menerima tanggapan dan kritikan dari suadara pembaca semua demi kebaikan kita bersama.

Referensi:

1.Mustajaddat Fiqhiyyah fii Qodhoya Zawaj wa Tholaq karya Usamah Umar Sulaiman al-Asyqor, Dar Nafais, Yordania, cet. 1425 H.

2. Az-Zawaj Al-‘Urfi karya Dr. Ahmad bin Yusuf ad-Daryuwisy, Darul Ashimah, KSA, cet pertama 1426 H

3.Dll
_________
Footnote:

[1] Majalah al-Furqon 11 th. Ke-8, Jumada Tsaniyah 1430H/ Juni 2009, hlm 1.

[2] Ibid, hlm. 37-40. Mulai dari poin ini sampai akhir ditulis oleh Ust. Abu Ubaidah as-Sidawi. Pada tulisan beliau ini terdapat mukaddimah yang diakhirnya beliau mengatakan bahwa beliau terbuka untuk menerima nasehat dan kritikan yang membangun, dan tentunya dengan adab Islami yang indah (hlm. 37). Secara teknis para pembaca bisa melakukannya melalui majalah al-Furqon atau langsung melalui web pribadi beliau di http://abiubaidah.com/

[3] Majalah al-Buhuts al-Fiqhiyyah, edisi 36, Th. 9/ Rojab-Sya’ban-Romadhon 1428 H, hlm, 194

[4] Al-‘Aqdu Al-‘Urf, oleh Azmi Mamduh hal. 11, Mustajaddat Fiqhiyyah fi Qodhoya Zawaj wa Tholaq oleh Usamah al-Asyqor hlm. 130

[5] As-Siyasah asy-Syar’iyyah fil ahwan Syakhsyiyyah oleh Amr Abdul Fatah hlm. 43.

[6] Lihat selengkapnya dalam Az-Zawaj Al-‘Urfi hlm. 85-89 oleh Dr. Ahmad bin Yusuf ad-Daryuwisy

[7] Majalah Al-Buhuts Al-Fiqhiyyah edisi 36, hlm. 194

[8] Majmu’ Fatawa 32/131

[9] Lihat Az-Zawaj Al-‘Urfi. 74-75 oleh DR. Yusuf bin Ahmad Ad-Daryuwisy

[10] Ketahuilah bahwa politik yang syar’i adalah yang tidak bertentangan dengan syariat, bukan haya yang diperintahkan syariat. Semua undang-undang yang membawa kepada keadilan dan kemaslahatan selagi tidak bertentangan dengan syariat maka itulah politik syar’i Lihat hal ini dalam I’lamul Muwaqqi’in 6/517 oleh Ibnul Qoyyim dan As-Siyasah Asy-Syar’iyyah Al-lati Yuriduha Salafiyyun hlm. 14-16 oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Salman

[11] AL-Ahkam As-Sulthoniyyah hlm.30

[12] Lihat buku yang bagus tentang masalah ini “Mu’amalatul Hukkam” oleh Syaikh Abdus Salam Barjas.

[13] Lihat Al-Asybah wa Nadhoir oleh Ibnu Nujaim hlm. 123, Al-Asybah wa Nadhoir oleh As-Suyuthi hlm. 121, Al-Mantsur fil Qowa’id Al-Fiqhiyyah oleh Az-Zarkasyi 1/309.

[14] Lihat Syarh Riyadhus Sholihin 3/652-656

[15] Az-Zawaj Al-‘Urfi hlm.68-71 oleh Ustadz Dr. Ahmad bin Yusuf.

[16] Lihat beberapa kejadian dan penyesalan tersebut dalam Mustajaddat Fiqhiyyah fii Qodhoya Zawaj wa Tholaq oleh Usamah al-Asyqor hlm. 152-156

[17] Fatawa Lajnah Daimah 18/87 no. 7910

Tidak ada komentar:

Posting Komentar