Senin, 31 Mei 2010

ILMU adalah Obat..

Ilmu adalah Obat

Sebagian besar manusia menjalani kehidupan mereka dalam keadaan sakit, bingung dan tersesat. Mereka mencari obat untuk menyembuhkan penyakit mereka namun tidak mereka dapati, mereka melihat kejalan yang mereka lalui, namun mereka tidak dapat membedakan! Padahal obat ada didepan mereka, ada di antara dua tangan mereka, obat tersebut adalah ILMU

Imam adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H) berkata :
“Barangsiapa sakit hatinya tertimpa keraguan dan was-was semua itu tidak akan hilang kecuali dengan bertanya kepada ahli ilmu. Hendaklah ia mempelajari kebenaran yang dapat menyingkirkan penyakit yang dideritanya.”

Dan do’a yang paling mujarab adalah dengan merendahkan diri dihadapan Allah -subhanahu wa ta’ala-, meminta pertolongan kepada-Nya, hendaknya ia mengulang-ulangi dan memperbanyak do’a ini :

“Ya Allah Rabb Jibril, Mikail, dan Israfil, yang menurunkan Taurat dan Injil, tunjukilah aku kepada kebenaran yang diperselisihkan dengan izin-Mu, sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus”. (HR. Muslim no.770)

Hendaknya ia memperbarui taubatnya, memohon ampunan kepada-Nya, dan meminta kepada Allah keyakinan dan kesejahteraan. Insya Allah dengan hal itu tidak akan berlalu hari melainkan ia akan sehat dan sembuh dari penyakitnya, ketauhidannya akan selamat, dan ia tidak akan terjerumus kedalam ilmu kalam/filsafat yang barangsiapa mempelajarinya untuk mengobati penyakitnya maka akan melahirkan penyakit-penyakit lainnya yang bisa jadi akan membunuhnya !! Bahkan banyaknya keraguan dan kesamaran tidak akan menimpa melainkan kepada seseorang yang berkecimpung dalam ilmu kalam dan filsafat !

Obat dari hal ini adalah membuang jauh-jauh hal yang membinasakan itu (ilmu kalam), berpaling dari hal-hal itu secara menyeluruh, dan banyak membaca al-Qur’an, shalat, berdoa dan takut.

Dan saya menjamin bahwa ketauhidannya akan murni dan Allah akan menyehatkannya.

Jika ia tidak mempergunakan obat ini, maka ia telah berobat dengan penyakit, dan tenggelam dalam pendapat dan akal, bisa jadi ia akan selamat, dan bisa jadi binasa ! dan bisa jadi ia akan menderita sakit hingga wafat.

Dari Abu Darda -radhiyallahu anhu-, ia berkata : Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- bersabda :

“Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar tidak pula dirham tapi mereka mewariskan ilmu, barangsiapa mengambilnya berarti telah mengambil bagian yang banyak.”

Al-Imam Ibnu Hibban (wafat th 354 H) berkata :
“Dalam hadits ini terdapat penjelasan yang jelas, bahwasanya para ulamalah yang mempunyai keutamaan, mereka mengajarkan ilmu nabi -shallallahu alahi wa sallam- , bukan ilmu-ilmu lainnya (seperti ilmu filsafat).”

Tidakkah anda melihat beliau -shallallahu alahi wa sallam- bersabda : “Ulama adalah pewaris nabi” dan para nabi tidak mewariskan apa-apa melainkan ilmu, dan ilmu nabi kita adalah sunnah-sunnahnya, barangsiapa tidak mengetahuinya bukan termasuk pewaris nabi.”


Dan diantara ucapan yang indah adalah :

“Ilmu adalah warisan nabi, demikianlah nash menyebutkannya sedangkan para ulama adalah pewarisnya.”

“Nabi -shAllallahu alahi wa sallam- tidaklah meninggalkan kepada kita melainkan hadits-haditsnya, itulah harta dan perabot rumah tangga nabi.”

Oleh karena itu,
Wahai Saudaraku,Selamilah ilmu Agama ini agar kau dapat menemukan Obat dari Sakit yang selama ini kita derita..Kebodohan..
Maukah kita terus bersamanya??

Pena Bermata Dua

Pena Bermata Dua
Nasehat Bagi Para Penulis



Semoga Allah memuliakan pena, sebagai makhluk pertama ciptaan-Nya(ulama berselisih tentang makhluk pertama yang Allah ciptakan menjadi dua: kelompok pertama menyatakan, makhluk pertama adalah pena. Kelompok kedua berpendapat makhluk pertama adalah Arsy), sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits shahih dari Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-. Dan Allah telah bersumpah dengan pena karena kemuliaan yang dimilikinya dan kemuliaan dari tujuan diciptakannya. Allah berfirman:
Nūn, demi qolam (pena) dan apa yang mereka tulis. (QS. al-Qolam: 1)

Allah bersumpah dengan pena bahwa dakwah agama Islam bersandar kepada seseorang Nabi yang ma’shūm yang sempurna akal dan kekuatannya. Oleh sebab itu, Allah meneruskan ayat di atas dengan firman-Nya:

Berkat nikmat Rabb-mu, kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. (QS. al-Qolam: 2)

Sebab, gila merupakan penyakit yang dapat menghalangi diri dari menjalankan kewajiban agama dan menyampaikan dakwah, juga merupakan salah satu faktor penyebab melampaui batas.

Karena itu, siapa yang ada padanya penyakit gila, ia tidak boleh memegang pena atau menulis dengannya. Apa jadinya jika pena ini disandarkan kepada seorang gila yang ada di muka bumi ini? Sungguh tiada lain dia akan merusak umat. Sehingga kondisinya tak jauh berbeda dengan orang gila yang diberi bom atau senjata penghancur masa lainnya.

Allah ‘azza wa jalla juga menyebut pena pada beberapa tempat pada kitab-Nya yang mulia, seperti pada firman-Nya:

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat (ilmu) Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Luqmân: 27)

Rasulullah n juga telah menjelaskan akan urgensi ilmu dan ketinggian kedudukannya dalam Islam. Kemudian, –selain Allah telah bersumpah dengan pena pada surat al-Qolam- sesuatu yang pertama kali mengetuk pendengaran Nabi n dari beberapa ayat al-Qur`an yang mulia adalah pengagungan terhadap kedudukan pena pada beberapa ayat pertama yang Allah turunkan kepada nabi-Nya n. Allah berfirman:

(Allah) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran pena (baca tulis). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-’Alaq: 4-5)
Maka itu, karena begitu pentingnya ilmu dan sarana-sarana untuk memperolehnya, Allah menjelaskan hal itu kepada kita pada sela-sela surat al-‘Alaq. Karena masyarakat Jahiliyah dahulu adalah umat yang Ummiy; tidak bisa baca tulis kecuali sedikit, dan ini merupakan penyakit terparah dalam sejarah perjalanan waktu.

Kemudian, tatkala bahan bacaan mudah terlupakan dan hilang, maka agama Islam mewajibkan agar bacaan itu dicatat dengan sarana tulisan, sedangkan pena adalah pena meskipun bentuk dan sarananya berubah-ubah dan berbeda-beda.

SEBUAH NASEHAT


Pena adalah amanah yang ada pada pundak orang yang membawanya, tidak sepatutnya ia menggoreskan pena itu melainkan untuk menulis risalah yang diturunkan kepada para Nabi dan pewaris mereka, yaitu ulama. Maka, salah dalam menggunakan pena seperti salah dalam memainkan senjata, keduanya sama-sama mengakibatkan rusaknya akal dan jiwa. Dan dalam kesempatan ini, seorang pujangga bersyair:

إِذَا اهْتَزَّ فِي طِرْسِهِ مُعْجَباً أَذَلَّ شُعُوْباً وَأَعْلَى شُعُوْباً

Andai ia menulis pada lembaran kertasnya dengan sombong
Maka ia dapat menghinakan suatu bangsa dan meninggikan yang lainnya


Oleh karenanya, wajib hukumnya bagi para penulis untuk bertakwa kepada Allah dengan goresan pena-pena mereka. Sebab ucapan adalah amanah yang dikalungkan pada ujung pena mereka, dan perkataan merupakan amanah yang melingkar di leher-leher mereka. Dan Allah akan menanyakan pertanggungjawaban mereka atas amanah tersebut, sebuah amanah yang enggan dipikul oleh langit-langit, bumi dan gunung-gunung, bahkan semuanya bergetar selama beberapa hari lantaran begitu beratnya amanah itu.

Tidak boleh bagi pada pemilik pena yang beriman kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama, dan kepada Muhammad n sebagai nabi dan rasul untuk melampaui batas dalam menggunakan pena, sehingga bisa berakibat menyimpang dari kebenaran, memihak kepada kebatilan dan kesesatan, menuduh orang lain, mengejek mereka, mengolok-olok mereka, berlaku masa bodoh dengan mereka dan memuji diri sendiri, atau pula memuji temannya namun sayangnya ia tidak memuji Rabb-nya.

Maka, pena diciptakan untuk mensucikan dan mengagungkan Allah, mengajak manusia kembali kepada-Nya, mengenalkan Allah kepada mereka sebagai sesembahan satu-satunya yang haq, bukan untuk mendekatkan diri kepada penghuni dunia, atau melariskan dagangan bid’ahnya, atau menuliskan pujian dusta, dan tidak pula untuk mendakwahkan manhaj-manhaj rusak dan hal-hal buruk lainnya.

Alangkah banyaknya pena yang harus dipatahkan, betapa banyak para penulis yang harus diberhentikan. Sebab mereka tidak cakap dalam menggunakan pena, mereka malah membuka lembaran-lembaran kebatilan, demi mendapatkan kesenangan jiwa dan kepuasan.
Wallâhul Musta’ân.

Nasihat untuk Seluruh Kelompok Dakwah..Renungkanlah..

Agama adalah nasehat

Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
الدِّينُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا : لِمَنْ يَارَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَ ئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasehat, kami (para sahabat) bertanya : untuk siapa wahai Rasulullah ? Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam –menjawab- : untuk Allah, kitabnya, Rasulnya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan orang awamnya.”(HR. Muslim).

Dan sebagai aplikasi sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- di atas, maka saya ingin menyampaikan nasehat kepada seluruh kelompok dakwah Islam, agar senantiasa berpegang teguh dengan al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih berdasarkan pemahaman para ulama salaf,seperti : para sahabat, tabi’in, para imam mujtahidin dan orang-orang senantiasa meniti jejak mereka.

Kepada Kelompok Sufi

1. Nasehat saya kepada mereka agar menunggalkan Allah dalam do’a dan isti’anah (meminta pertolongan) sebagai bentuk perwujudan dari firman Allah :


“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”(QS. Al-Fatihah : 5).
Dan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
الدُّعَاءُ هُوَ اْلعِبَادَةُ

“Doa adalah ibadah.”(HR. Tirmidzi dan beliau berkata : hadits hasan shahih).

Dan wajib bagi mereka untuk meyakini bahwa Allah ada di atas langit, sebagaimana firman-Nya :

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?,”(QS. Al-Mulk : 16).

Ibnu Abbas -radhiallohu anhuma-, berkata Dia adalah Allah (sebagaimana disebutkan Ibnul Jauzi dalam tafsirnya).

Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
أَلاَ تَأْمَنُوْنِيْ وَأَنَا أَمِيْنٌ مَنْ فِي السَّمَاءِ

“Tidaklah kalian percaya kepadaku, padahal saya adalah kepercayaan dzat yang di langit”(HR. Bukhari dan Muslim). Dan arti di langit adalah di atas langit.

2. Hendaklah mereka senantiasa mendasari dzikir-dzikir mereka dengan apa yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah (yang shohih –ed.) serta amalan para sahabat.

3. Jangan sekali-kali mendahulukan ucapan syaikh-syaikh melebihi firman Allah dan sabda Rasulullah -shollahu alaihi wa sallam-,
sebagaimana firman Allah :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Hujurat : 1).
Yakni : Jangan sekali-kali kalian mendahulukan ucapan atau perbuatan siapapun melebihi firman Allah dan sabda Rasulullah -shollahu alaihi wa sallam- (tafsir Ibnu Katsir).

4. Hendaknya mereka beribadah dan berdo’a kepada Allah dengan rasa takut dari siksa neraka-Nya dan berharap surga-Nya.
Sebagaimana firman Allah ta’ala :

“Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).”.(QS. Al-A’raf : 56)

Dan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
أَسْأَلُ اللهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوْذُ بِهِ مِنَ النَّارِ

“Saya meminta kepada Allah surga dan berlindung dengan-Nya dari neraka”.(HR. Abu Dawud dengan sanad shahih).

5. Mereka harus meyakini bahwa makhluk pertama dari kalangan manusia adalah nabi Adam -alahi salam-, dan bahwasanya nabi Muhammad -shollahu alaihi wa sallam- adalah termasuk anak keturunannya dan semua manusia adalah anak keturunannya yang Allah ciptakan dari tanah.


Allah ta’ala berfirman :

“Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani,”(QS. Ghafir : 67)

Dan tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan bahwa Allah menciptakan nabi Muhammad -shollahu alaihi wa sallam-
dari nur (cahaya-Nya), bahkan yang masyhur bagi semua bahwa Allah menciptakannya dari kedua orang tuanya.

Kepada Jama’ah Tabligh

1. Nasehat saya kepada mereka agar berpegang teguh dalam dakwahnya dengan al-Qur’an dan sunnahnya yang shahih dan agar belajar al-Qur’an, tafsir, dan hadits sehingga dakwah mereka benar-benar di atas ilmu, sebagaimana firman Allah ta’ala :

“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,”(QS. Yusuf : 108).

Dan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ

“Sesungguhnya ilmu (bisa diperoleh) hanya dengan belajar”(Hadits hasan, lihat shahihul jami’).

2. Mereka harus berpegang teguh dengan hadits-hadits yang shahih dan menjauhi hadits-hadits yang dhaif (lemah) dan maudu’ (palsu)
sehingga tidak masuk pada apa yang disinyalir Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
كَفَى بِالْمَرْءِكَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَاسَمِعَ

“Cukup seseorang dikatakan berdusta jika menceritakan semua apa yang didengarnya.”(HR. Muslim).

3. Kepada al-Ahbab (orang-orang yang saya cintai) agar tidak memisahkan antara amar ma’ruf dan nahi munkar, karena Allah banyak menyebut-Nya secara bersamaan dalam ayat-ayat al-Qur’an, seperti firman Allah ta’ala :

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS. Ali Imran : 104)

Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- juga punya perhatian serius dan memerintahkan kaum muslimin untuk merubah kemungkaran, sebagaimana sabdanya -shollallahu alaihi wa sallam- :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran hendaklah merubah dengan tangannya, dan apabila tidak mampu, maka hendaklah merubah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”(HR. Muslim).

4. Hendaklah mereka memperhatikan dakwah kepada tauhid dengan serius. Dan mendahulukannya atas yang lainya, demi mengamalkan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-
فَلْيَكًُنْ أَوَّلُ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةَ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ الله

“Jadikanlah pertama kali yang kalian dakwahkan kepada mereka adalah syahadat (kalimat tauhid) la ilaha illallah.”(HR. Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda
إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهََ

“Sampai mereka (benar-benar) mentauhidkan Allah”.(HR. Bukhari).
“Mentauhidkan Allah”, maksudnya adalah : menunggalkan Allah dalam semua jenis ibadah, lebih-lebih dalam hal do’a, karena sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
الدُّعَاءُ هُوَ اْلعِبَادَةُ

“Do’a adalah ibadah.”(HR. Tirmidzi dan beliau berkata : Hadits ini hasan shahih).

Kepada kelompok IKHWANUL MUSLIMIN


1. Hendaklah mereka mengajarkan kepada anggota kelompoknya tauhid dan macam-macamnya, yakni ; tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma dan sifat, karena itu adalah masalah yang sangat urgen yang berpengaruh pada terwujudnya kebahagiaan induvidu maupun masyarakat, daripada sibuk dalam politik praktis dan yang mereka sangka sebagai fiqih waqi’ (realita –ed.). Ini bukan berarti buta dengan keadaan dunia dan manusia, tapi tidak berlebih-lebihan dengannya dan tidak pula menyepelekannya.

2. Hendaklah mereka menjauhi pemikiran-pemikiran sufi yang menyelisihi akidah Islam. Karena banyak kita jumpai dalam kitab-kitab mereka berisi akidah-akidah sufi yang batil :

a. Lihatlah pimpinan mereka di Mesir yaitu Umar Tilmisani yang banyak menyebutkan dalam bukunya “Syahidul Mihrab” akidah-akidah Sufi yang sangat membahayakan. Di samping membolehkan belajar musik.

b. Inilah Sayyid Quthub, menyebutkan dalam kitabnya “Dzilalul Qur’an” akidah sufi wihdatul wujud pada awal surat al-Hadid dan lain sebagainya dari takwil-takwil yang batil.

Dan sungguh saya telah menyampaikannya kepada saudaranya sendiri yaitu Muhammad Qutub agar mengomentari kesalahan-kesalahan akidah, karena ia adalah penanggung jawab penerbitan ” as-Syuruq”, akan tetapi dia menolaknya dan mengatakan : Saudara saya sendiri yang akan menanggungnya. Dan syaikh Abul Lathif Badr penanggung jawab majalah at-Tau’iyah di Mekah menyarankan kepadaku agar saya mendatanginya lagi.

c. Lihatlah “Said Hawa” beliau menyebutkan dalam kitabnya “Tarbiyatuna ar-Ruhiyah” akidah-akidah sufi sebagaimana sudah disebutkan di awal kitab .

d. Dan lihatlah pula “syaikh Muhammad al-Hamid” dari Suria, dia menghadiahkan kepadaku buku yang berjudul “Rudud Ala Abatil”.

Dalam buku ini ada pembahasan-pembahasan yang baik, seperti pengharaman rokok dan lainnya, akan tetapi dia juga menyebutkan bahwa di sana ada Abdal, Aqthab dan Aghwats , tapi tidaklah dinamakan al-Ghauts kecuali apabila bisa dimintai pertolongan !!!.

Padahal meminta kepada al-Ghauts dan al-Aqthab adalah termasuk syirik yang menghapus amalan. Dan ini adalah pemikiran sufi yang batil yang diingkari oleh syariat Islam.

Dan sungguh saya telah meminta kepada anaknya yang bernama Abdurrahman untuk mengoreksi perkataan bapaknya, tapi sayang diapun menolaknya.

3. Jangan sampai mereka dengki kepada saudara-saudara mereka dari salafiyyah yang senantiasa berdakwah kepada tauhid dan memerangi bid’ah serta berhukum kepada al-Qur’an dan sunnah karena mereka adalah saudara. Allah ta’ala berfirman :

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.”(al-Hujurat : 10).
Dan Rasulullah n bersabda :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يُحِبَّ لأَِخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Salah seorang di antara kalian tidak beriman sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.(HR. Bukhari dan Muslim).

Kepada Salafiyun dan Ansharussunah al-Muhammadiyah

1. Wasiat saya kepada mereka agar senantiasa konsisten dalam berdakwah kepada tauhid dan berhukum dengan apa yang Allah turunkan serta perkara-perkara penting lainnya.

2. Dan agar lemah lembut dalam dakwah mereka bagaimanapun lawan yang dihadapinya. Sebagai aplikasi terhadap firman Allah :

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”(QS. An-Nahl : 125)

Dan firman Allah kepada nabi Musa dan Harun

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.(QS. Toha : 43-44).

Dan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-
مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقُ يُحْرَمُ الْخَيْرُ كُلُّهُ

“Barangsiapa yang diharamkan baginya lemah lembut, berarti diharamkan baginya seluruh kebaikan”.(HR. Muslim).

3. Hendaklah mereka sabar terhadap gangguan yang menimpa mereka, karena Allah selalu menyertai mereka dengan pertolongan dengan memberikan kekuatan kepada mereka.
Allah ta’ala berfirman :

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah, dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka, dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipudayakan. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS. An-Nahl : 127-128).

Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
اَلْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَفْضَلُ مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَيُخَالطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ

“Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka lebih utama daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka.”.(Hadits shahih riwayat Imam Ahmad dll).

4. Orang-orang salafi jangan sampai beranggapan bahwa jumlah orang-orang yang menyelisihi mereka itu sedikit. Karena Allah ta’ala berfirman :

“ Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.”(QS. Saba’ : 13).

Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
طُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ قِيْلَ مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ قَلِيْلٌ فِي أُنَاسٍ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ

“Beruntunglah bagi orang-orang yang asing. Rasulullah n ditanya siapa mereka ? Beliau n menjawab : mereka adalah orang-orang shaleh yang sedikit di tengah-tengah manusia yang rusak lagi banyak, yang bermaksiat kepada mereka lebih banyak daripada yang taat kepada mereka”.(HR. Imam Ahmad dan Ibnul Mubarak).

Kepada Hizbut Tahrir

1. Wasiat saya kepada mereka agar menegakkan hukum Islam dan ajarannya pada diri-diri mereka sebelum menuntut orang lain untuk menegakkannya.

Sekitar 20 tahun yang lalu, pernah ada 2 orang pemuda dari mereka yang mengunjungiku di Syiria, dalam keadaan gundul jenggotnya, dari keduanya tercium bau rokok dan meminta kepadaku diskusi dan bergabung dengan mereka. Maka saya katakan kepada mereka, kalian mencukur jenggot dan menghisap rokok padahal keduanya adalah haram menurut syariat dan kalian juga membolehkan jabat tangan dengan lawan jenis (yang bukan mahramnya –ed), padahal Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
ِلأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

“Ditusukkannya jarum dari besi pada kepala seorang di antara kalian itu lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya”.(HR. Thabrani).

Kedua pemuda tersebut berkata : Diriwayatkan dalam shahih Bukhari, bahwa Rasulullah n pernah berjabat tangan dengan wanita ketika baiat ?
Maka saya katakan : Tolong besok datangkan kepadaku haditsnya. Maka setelah itu keduanya pergi dan tidak kembali lagi, karena keduanya berbohong. Karena Imam Bukhari sama sekali tidak menyebutkan yang demikian, tapi hanya menyebutkan baiat kepada para wanita dengan tanpa jabat tangan.

Tapi sungguh aneh sebagian Ikhwanul Muslimin –juga- membolehkan jabat tangan dengan lawan jenis (yang bukan mahramnya –ed). Seperti syaikh Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qardhawi, sebagaimana yang saya katakan ketika saya berdialog dengannya. Dia berdalih dengan hadits seorang budak yang menarik tangan Rasulullah n agar memenuhi kebutuhannya”.(HR. Bukhari).

Saya katakan : Cara pengambilan dalilnya tidak benar, karena Jariyah (budak perempuan) ketika menarik Rasulullah -shollahu alaihi wa sallam- tidak menyentuh tangannya tapi hanya menyentuh lengan baju yang ada di tangannya, karena ‘Aisyah -radhiallohu anha- berkata :
لاَ، وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَامْرَأَةٍ قَطٌ فِي الْمُبَايَعَةِ، مَا بَايَعَهُنَّ إلاَّ بِقَوْلِهِ : قَدْ بَايَعْتُكِ عَلَى ذَلِكَ

“Sekali-kali tidak, demi Allah ”Tangan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- tidak pernah menyentuh tangan perempuan sedikitpun dalam baiat. Beliau n tidaklah membaiat mereka (para wanita) kecuali hanya mengatakan : Sungguh saya telah membaiat kamu atas yang demikian itu”.(HR. Bukhari).

Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ

“Saya tidak pernah berjabatan tangan dengan perempuan”(HR. Tirmidzi dan beliau berkata : hadits ini hasan shahih).

2. Saya pernah mendengar ceramah seorang syaikh dari Hizbut Tahrir di Yordania yang membicarakan para pemimpin yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan. Tapi tatkala saya mendatangi rumahnya, mertuanya mengadu tentang dia kepadaku sambil mengatakan : Sesungguhnya syaikh tadi telah memukul istrinya sampai mengenai matanya dan membekas. Maka saya katakan kepadanya (syaikh) : Sesungguhnya kamu menuntut para pemimpin untuk menegakkan syariat Allah tapi kamu tidak menegakkan syariat dalam rumahmu, apakah benar bahwa engkau telah memukul istrimu sampai mengenai matanya ? maka ia menjawab ; Iya, betul tapi hanya pukulan ringan dengan gelas teh.!!. Maka saya katakan kepadanya : Praktekkanlah Islam pada dirimu dulu, kemudian setelah itu tuntutlah yang lain untuk mempraktekkannya. Karena Rasulullah n pernah ditanya, apa hak istri atas suami ? Beliau menjawab :
أَنْ تَطْعَمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَ هَا إِذَا اكْتَسَوْتَ وَلاَ تَضْرِبِ اْلوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي اْلَبيْتِ

“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberikan baju apabila engkau memakai baju, jangan memukul wajah, jangan menjelek-jelekanya dan jangan engkau menghajr (pisah ranjang) kecuali di dalam rumah”.(Hadits shahih riwayat arba’ah : Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah).

Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- juga bersabda :
إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ خَادِمَهُ فَلْيَتَّقِ اْلوَجْهَ

“Apabila seseorang diantara kalian memukul budaknya hendaklah menjauhi wajah”.(Hadits hasan riwayat Abu Dawud).

Kepada Jamaah Jihad dll.

1. Nasehat saya kepada mereka agar lembut dalam dakwah dan jihad mereka, lebih-lebih kepada para pemimpin. Sebagaimana firman Allah kepada nabi Musaqketika mengutusnya kepada Fir’aun yang kafir :
“Dan katakanlah (kepada Fir’aun):”Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”.(QS. an-Nazi’at : 18).

Dan firman Allah

“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.(QS. Toha : 43-44).
Dan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقُ يُحْرَمُ الْخَيْرُ كُلُّهُ

“Barangsiapa yang diharamkan baginya lemah lembut berarti diharamkan baginya seluruh kebaikan.”(HR. Muslim).

2. (Hendaklah –ed) memberikan nasehat kepada para kaum muslimin dan pemimpin mereka, dengan cara membantu mereka dalam kebaikan, mentaati mereka dalam kebaikan, memerintahkan mereka dengan kebaikan, melarang mereka dan mengingatkan mereka dengan lemah lembut dan tidak keluar menghadap mereka dengan pedang (memberontak) apabila berbuat dholim atau jahat. (silahkan telaah ucaan al-Khatabi dalam Syarah Arba’in Haditsan).

Imam abu Ja’far at-Thahawi –penulis kitab Aqidah Thahawiyah- berkata : Kami memandang tidak boleh keluar dari imam dan para pemimpin kita walaupun mereka berbuat dhalim, tidak mendoakan jelek kepada mereka, tidak mencabut tangan dari ketaatan pada mereka dan kami memandang bahwa taat kepada mereka adalah bagian dari ketaatan kepada Allahkdan wajib selama tidak memerintahkan maksiat.

Bahkan kami senantiasa mendoakan kepada mereka dengan kebaikan dan keselamatan.

1. Allah ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.”(QS. An-Nisa’ : 59).

2. Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ وَمَنْ يُطِعِ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ يَعْصِ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي

“Barangsiapa yang taat kepadaku maka sungguh ia telah taat kepada Allah. Dan Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh telah bermaksiat kepada Allah, dan barangsiapa taat kepada amir berarti ia taat kepadaku dan barangsiapa bermaksiat kepada amir berarti ia bermaksiat kepadaku”.(HR. Bukhari dan Muslim).

3. Dan dari Abu Dzar –radhiallohu anhu- beliau berkata :
إِنَّ خَلِيْلِيْ أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيْعَ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا مُجَدِّعَ الأطرافِ

“Kekasihku Rasulullah n berwasiat kepadaku agar saya mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun ia seorang budak Ethiopia lagi cacat anggota tubuhnya”.(HR. Muslim).

4. Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
عَلَى الْمَرْءِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

“Bagi tiap orang wajib mendengar dan taat (kepda pemimpin) pada saat senang dan benci, kecuali apabila diperintah untuk bermaksiat, maka apabila diperintahkan untuk maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat”.(HR. Bukhari dan Muslim).

5. Dan dari Khudzaifah bin Yaman –radhiallohu anh- beliau berkata :
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ الله عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا فِيْ جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَ نَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ : نَعَمْ، فَقُلْتُ : فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرٍّ مِنْ خَيْرٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ وَفِيْهِ دَخَنٌ، قَالَ : قُلْتُ : وَمَا دَخَنُهُ ؟ قَالَ : قَوْمٌ يَسْتَنُّونَ بِخَيْرِ سُنَّتِيْ وَيَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِ تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ، فَقُلْتُ : هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ : نَعَمْ، دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَوْفُوْهُ فِيْهَا. فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا ؟ قَالَ : نَعَمْ، قَوْمٌ مِنْ جِلْدَ تِنَا يَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا، قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ فَمَا تَرَى إِذَا أَدْرَكَنِيْ ذَلِكَ ؟ قَالَ : تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ. فَقُلْتُ : فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ ؟ قَالَ : فَاعْتَزِلْ تِلْكَ اْلفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

“Manusia bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan dan saya bertanya kepadanya tentang kejelekan karena khawatir akan menimpaku, saya bertanya : Wahai Rasulullah, kita dahulu berada dalam jahiliyah dan kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kita. Apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan ? Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- menjawab : ia ada. Saya bertanya : apakah setelah kejelekan akan datang kebaikan lagi ? Beliau -shollallahu alaihi wa sallam- menjawab : iya ada, tapi didalamnya terdapat dakhan. Saya bertanya : apa dakhannya ? beliau -shollallahu alaihi wa sallam- menjawab : yaitu, ada suatu kaum yang mengambil dengan selain sunnahku dan mengambil petunjuk dengan selain petunjukku. Engkau mengetahui mereka dan engkau mengingkarinya. Saya bertanya : Apakah setelah kebaikan seperti ini akan ada kejelekan ? Beliau -shollallahu alaihi wa sallam- menjawab : iya, yaitu para da’i yang mengajak ke pintu-pintu neraka jahannam. Siapa yang menyambutnya niscaya akan dilemparkan kedalamnya. Saya bertanya : Wahai Rasulullah, jelaskan kepada kita sifat-sifat mereka ? Beliau -shollallahu alaihi wa sallam- menjawab : mereka adalah, kaum dari bangsa kita dan berbicara dengan bahasa kita. Saya bertanya : wahai Rasulullah, bagaimana nasehatmu jika kita mendapati yang demikian itu ? Beliau menjawab : Engkau konsisten bersama jamaah kaum mulimin dan imam mereka. Saya bertanya : Bagaimana jika tidak ada jamaah dan tidak pula imam ? Beliau -shollallahu alaihi wa sallam- menjawab : tinggalkan seluruh firqah-firqah yang ada, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai ajal menjemputmu dan engkau dalam keadaan demikian”.(HR. Bukhari dan Muslim).

6. Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًايَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ، فَأِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمَيْتَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ

“Barangsiapa melihat pada amirnya suatu yang ia benci, hendaklah ia sabar, karena barangsiapa yang memisahkan diri satu jengkal dari jamaah dan ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.(HR. Bukhari dan Muslim).

7. Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحُِّبوْنَكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتكُمُ الَّّذِيْنَ تَبْغَضُوْنَهُمْ وَيَبْغَضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ، فَقُلْنَا : يَارَسُولَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ : لاَ، مَاأقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ إِلاَ مَنْ وُلِّيَ عَلَيْهِ وَالٍ

“Sebaik-baik pimpinan bagi kalian adalah : Pemimpin yang kalian cintai dan merekapun mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan merekapun mendoakan kalian. Dan sejelek-jelek pemimpin bagi kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan merekapun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian. Kami bertanya : Wahai Rasulullah apakah kita tidak mengangkat pedang (memberontak) saja pada saat demikian ? Beliau n bersabda : jangan memberontak, selama mereka mendirikan sholat bersama kalian. Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin wali (pemimpin) dan ia melihatnya bermaksiat kepada Allah, maka hendaklah Ia membenci maksiat yang dijalankannya, dan jangan sekali-kali mencabut tangan dari mentaatinya”.(HR. Muslim).

8. Dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah menunjukkan atas wajib taat kepada ulil amri selama tidak memerintahkan maksiat.
Renungilah firman Allah berikut ini :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.”(QS. An-Nisa : 59).

Kenapa Allah berfirman “dan taatilah Rasul” dan tidak mengatakan “dan taatilah ulil amri diantara kamu” dengan pengulangan kata kerja taatilah. Ini menunjukkan bahwa ulil amri tidak ditaati dengan sendirinya. Akan tetapi mereka ditaati hanya pada perkara-perkara ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan ini juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang taat kepada Rasul n maka sungguh ia taat kepada Allah, karena Rasul -shollallahu alaihi wa sallam- tidak akan memerintahkan yang bukan termasuk ketaatan kepada Allah, karena beliau nadalah maksum (terjaga) dari yang demikian itu. Berbeda halnya dengan penguasa, maka kadang-kadang memerintahkan pada yang bukan ketaatan kepada Allah (maksiat), maka tidak boleh ditaati kecuali pada perkara-perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Adapun perintah untuk taat kepada penguasa walaupun mereka berbuat dhalim, karena keluar dari ketaatan kepada mereka akan mengakibatkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding kedhaliman mereka –bahkan sabar dalam menghadapi kedhaliman mereka akan menghapus kesalahan dan dosa dan menyebabkan pahala dilipatgandakan. Karena Allah tidak akan menjadikan mereka sebagai pimpinan kita, kecuali dengan sebab perbuatan kita sendiri, karena balasan adalah sesuai dengan perbuatan. Maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali beristighfar, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan kita.

Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman :

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”.(QS. Asy-Syura : 30).

Dan Allah juga berfirman :

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan”.(QS. Al-An’am : 129).

Maka apabila rakyat menginginkan selamat dari keburukan pemimpin yang dhalim, hendaklah mereka meninggalkan kedhaliman .(silahkan lihat Syarah Aqidah ath-Thahawiyah 380-381).

9. Jihad terhadap para pemimpin kaum muslimin. Yang demikian itu dengan cara menyampaikan nasehat kepada mereka dan kepada seluruh jajarannya. Karena sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
الدِّينُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا : لِمَنْ يَارَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَ ئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasehat. Kami (para sahabat) bertanya : untuk siapa wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan mereka pada umumnya”.(HR. Muslimin).

Dan sabda Rasululllah -shollallahu alaihi wa sallam- :
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat kebenaran di sisi pemimpin yang dhalim”.(Hadits hasan riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi).

Rasulullah menjelaskan juru selamat dari kedhaliman para hakim yang mereka dari bangsa kita, dan berbicara dengan bahasa kita yaitu dengan cara :

Kaum muslimin bertaubat kepada Rab mereka, memperbaiki akidah mereka dan membina diri serta keluarga mereka di atas Islam yang murni. Sebagai bentuk perwujudan firman Allah ta’ala :

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”(QS. Ar-Ra’d : 11).

Dan inilah yang pernah disinyalir oleh seorang da’i kontemporer dengan ungkapannya : “Tegakkanlah Negara Islam di dada-dada kalian, niscaya akan tegak di bumi kalian”.

Demikian pula, harus dengan cara memperbaiki akidah dalam menegakkan bangunan di atasnya, yaitu masyarakatnya.
Allah ta’ala berfirman :

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.(QS. An-Nur : 55).

Nasehat umum kepada seluruh kelompok-kelompok dakwah.

Saya sekarang sudah tua renta, umur saya sekarang telah mencaai 70 tahun, dan saya mengharapkan kebaikan bagi semua kelompok, oleh karena itu untuk mengamalkan hadits Nabi n “agama itu nasehat”, saya ingin menyampaikan beberapa nasehat berikut ini :

1. Agar semua kelompok berpegang teguh dengan al-Qur’an dan sunnah Nabi n sebagai bentuk ketaatan terhadap firman Allah :

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai..”(QS. Ali Imran : 103).

Dan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهَا كِتَابَ الله وَسنَّةَ رَسُوْلِ اللهِ

“Telah saya tinggalkan kepada kalian 2 perkara, selama kalian berpegang teguh dengan keduanya. Maka tidak akan tersesat, yaitu (kitabullah al-Qur’an dan sunnah Rasulnya n).”(HR. Malik dan dishahihkan oleh al-Albani dalam shahihul jami’).

2. Apabila jama’ah-jamaah yang ada berselisih, hendaknya mereka kembali kepada al-Qur’an dan hadits serta amalan para sahabat.
Sebagaimana firman Allah :

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS. An-Nisa : 59).

Dan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا

“Wasiat atas kalian dengan sunnahku dan sunnahnya para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya”(Hadits sahohih riwayat Imam Ahmad).

3. Hendaklah mereka memperhatikan dakwah tauhid yang menjadi prioritas dan pusat perhatian al-Qur’an. Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- memulai dakwahnya kepada tauhid dan memerintahkan para sahabatnya agar memulai dengannya.

4. Sungguh saya telah masuk dan bergaul dengan kelompok-kelompok dakwah Islam, dan saya lihat bahwa dakwah salafiyahlah yang konsisten dengan al-Qur’an dan sunnah menurut pemahaman salafus shaleh yaitu Rasulullah n para sahabatnya dan para tabiin.

Dan sungguh Rasulullah n telah memberikan isyarat tentang kelompok yang satu ini dalam sabdanya :
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ اْلكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذه الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ : ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Ketahuilah bahwasanya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umat ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan, 72 di dalam neraka dan yang 1 di surga yaitu al-Jama’ah”.(HR. Ahmad dan dinyatakan hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dan dalam riwayat yang lain).
كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةٌ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

“Semua di dalam nereka kecuali satu yaitu apa yang saya dan para sahabatku ada di atasnya”.(HR. Tirmidzi dan di hasankan oleh al-Albani).

Dalam hadits di atas Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- mengabarkan kepada kita, bahwasanya orang yahudi dan nasrani berpecah belah menjadi banyak kelompok dan umat Islam berpecah belah menjadi lebih banyak dari mereka dan kelompok-kelompok yang banyak ini terancam masuk neraka, karena penyimpangannya dan jauhnya dari kitab Allah dan sunnah nabi-Nya dan bahwasanya hanya satu kelompok yang selamat dari neraka dan masuk surga yaitu al-Jamaah (kelompok yang berpegang teguh dengan al-Qur’an dan sunnah serta amalan para sahabat).

Keistimewaan dakwah salafiyah adalah dakwah kepada tauhid, memerangi syirik, mengetahui hadits-hadits yang shahih dan memperingatkan umat dari hadits yang dhaif (lemah) dan maudu’ (palsu) serta memahami hukum-hukum syariat dengan dalil-dalilnya. Dan ini sungguh sangat penting bagi setiap muslim.
Oleh karena itu saya menasehati seluruh saudara-saudaraku kaum muslimin agar senantiasa konsisten dengan dakwah salafiyah, karena dakwah yang selamat dan kelompok yang mendapat pertolongan, sebagaimana sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلىَ الْحَقِّ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتىَّ يَأْتِيَ أَمَرُ اللهِ

“Akan senantiasa ada dari umatku satu kelompok yang tampak di atas kebenaran, tidak memudharatkan mereka orang yang menghinakan mereka sampai datang urusan Allah.”(HR. Muslim).

Mudah-mudahan Allah menjadikan kita termasuk kelompok yang selamat dan mendapat pertolongan.

disalin dari (Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 38, hal. 4-18)

Minggu, 30 Mei 2010

Antara Bantahan dan Ghibah

Antara bantahan dan Ghibah
Oleh: Abu Abdirrahman bin Thoyyib as-Salafy

Sering kita mendengar celotehan sebagian orang jika dia menyaksikan seseorang membantah/menyingkap kesesatan kelompok-kelompok/dai-dai yang menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah serta manhaj salaf (ahli sunnah wal jama’ah), dia mengatakan (entah dimimbar-mimbar jum’at atau dimajlis-majlisnya) : “Jagalah lisanmu, janganlah engkau mengghibah (ngrasani) saudaramu sendiri sesama muslim, bukankah Allah berfirman : ‘Janganlah sebagian kamu menghibah (menggunjing) sebagian yang lain sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?’”. (QS. Al-Hujurat : 12).

Apakah benar celotehan mereka ini??? Mari kita simak bersama sebagian ucapan-ucapan emas para ulama ahlus sunnah dalam masalah ini. Selamat menikmati -semoga Allah menampakkan yang benar itu benar dan memberi kita kekuatan untuk mengikutinya dan semoga Allah menampakkan yang batil itu batil serta memberi kita kekuatan untuk menjauhinya- :

1. Imam Nawawi –rahimahullah- (salah seorang ulama madzhab Syafi’i yang meninggal tahun 676 H) mengatakan dalam kitabnya “Riyadhus Shalihin” bab “penjelasan ghibah yang dibolehkan” :
“Ketahuilah bahwa ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar dan disyariatkan, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan ghibah tersebut. Hal ini ada dalam enam perkara :

a. Mengajukan kedzaliman orang lain. Dibolehkan bagi orang yang didzalimi untuk mengajukan yang mendzaliminya kepada penguasa atau hakim dan selain keduanya dari orang-orang yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk mengadili sidzalim itu. Orang yang didzalimi itu boleh mengatakan si fulan itu telah mendzalimi/menganiaya diriku.

b. Meminta pertolongan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat dosa kepada kebenaran. Seseorang boleh mengatakan kepada yang memiliki kekuatan yang ia harapkan bisa merubah kemungkaran: si fulan itu berbuat kejahatan ini dan itu, maka nasehati dia dan larang dia berbuat jahat. Maksud ghibah disini adalah merubah kemungkaran/kejahatan, jika tidak bermaksud seperti ini maka ghibah tersebut haram.

c. Meminta fatwa. Orang itu mengatakan kepada sang pemberi fatwa : ayahku atau saudaraku atau suamiku telah mendzalimi diriku, apakah hal ini boleh? Bagaimana jalan keluarnya?. Ghibah seperti ini boleh karena suatu kebutuhan/tujuan (yang syar’i-pent). Tapi yang lebih utama tidak disebutkan (personnya/namanya) semisal: Bagaimana pendapat Syaikh tentang seorang suami atau ayah yang begini dan begitu? Hal ini juga bisa dilakukan dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan meskipun tanpa menyebut nama/personnya. Tapi menyebutkan nama/personnya dalam hal ini hukumnya boleh seperti yang akan disebutkan dalam hadits Hindun -insya Allah-

d. Memperingatkan kaum Muslimin dari bahaya kesesatan (seseorang/kelompok-pent) dan sekaligus dalam rangka saling menasehati
. Yang demikian itu mencakup beberapa hal :

- Mencela para perawi-perawi (hadits) atau para saksi yang tidak memenuhi syarat. Hal ini dibolehkan secara ijma’ kaum muslimin bahkan bisa jadi hal tersebut wajib hukumnya.

- Meminta pendapat/musyawarah orang lain dalam hal menikahi seseorang atau bergaul dengannya atau meninggalkannya atau dalam hal bermuamalah dengannya. Maka wajib bagi yang diajak bermusyawarah untuk tidak menyembunyikan sesuatu apapun tentang keadaan orang tersebut bahkan dia harus menyebutkan semua kejelekannya dengan niat saling menasehati.

- Apabila seseorang melihat penuntut ilmu sering berkunjung kepada ahli bid’ah (dai penyesat-pent) atau fasik untuk mengambil ilmu darinya dan dia khawatir si penuntut ilmu itu akan terkena racun kesesatan orang tersebut maka wajib baginya untuk menasehati si penuntut ilmu dengan menjelaskan hakekat (kesesatan) sang guru/dai penyesat itu dengan syarat tujuannya untuk menasehati. Dalam hal ini ada sebagian orang yang salah mempraktekkannya, dia tujuannya bukan untuk menasehati tapi karena hasad/dengki dengan orang yang ditahdzir (dighibahi itu), yang telah dihiasi oleh syaitan seolah-olah dia menasehati tapi hakekatnya dia hasad dan dengki.

- Seseorang yang memiliki tanggung jawab/tugas tapi dia tidak menjalankannya dengan baik atau dia itu fasik dan lalai. Maka boleh bagi yang mengetahuinya untuk menyebutkan keadaan orang tersebut kepada atasannya agar memecatnya dan menggantinya dengan yang lebih baik atau agar hanya diketahui keadaannya saja lalu diambil tindakan hingga atasannya tidak tertipu dengannya atau agar atasannya tersebut menasehatinya kepada kebaikan

e. Menyebutkan aib orang yang menampakkan kefasikan dan bid’ahnya seperti orang yang bangga meminum khomer, menganiaya orang lain, merampas harta dan melakukan hal-hal yang batil. Boleh bagi orang yang mengetahui keadaan orang diatas untuk menyebutkan aib-aibnya (agar orang lain berhati-hati darinya-pent)

f. Mengenalkan orang lain dengan menyebut gelar (laqob) nya yang sudah terkenal, misalnya Al-A’masy (yang cacat matanya), Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashom (yang tuli) dan selainnya
. Boleh mengenalkan dengan julukan-julukan diatas tapi tidak untuk mencela/mengejeknya dan seandainya mengenalkan tanpa menyebutkan julukan-julukan tersebut ini lebih baik.

Inilah keenam perkara yang disebutkan oleh para ulama (dalam membolehkan ghibah-pent) kebanyakannya telah disepakati dan dalil-dalil keenam perkara tersebut ada dalam hadits-hadits shohih yang sudah masyhur/terkenal, diantaranya :

- Dari Aisyah –radhiallohu anha- beliau berkata :
“Bahwa ada seorang yang meminta ijin untuk (menemui) Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-, maka beliau mengatakan : Ijinkanlah dia, dia adalah sejelek-jeleknya kerabat”. (HR. Bukhari 6054 dan Muslim 2591).
Imam Bukhari berdalil dengan hadits ini dalam membolehkan ghibah terhadap para perusak (penyesat)

- Dan dari beliau juga –radhiallohu anha- bahwa Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda :
“Aku kira fulan dan fulan itu tidak mengetahui sesuatupun dari agama kita” (HR. Bukhari 6067). Laits bin Sa’ad (salah seorang perawi hadits ini) mengatakan : dua orang tersebut termasuk orang-orang munafik.

- Dari Fatimah binti Qois –radhiallohu anha- dia berkata :
“Aku pernah mendatangi Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- lalu aku berkata : Sesungguhnya Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku? Maka Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam- mengatakan : “Adapun Mu’awiyah dia itu miskin tidak punya harta dan adapun Abu Jahm maka dia itu tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” (HR. Muslim 1480).

Didalam riwayat Muslim yang lain disebutkan: “Adapun Abu Jahm maka dia sering memukul perempuan” ini adalah penjelasan atas ucapan beliau (dia itu tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya). Ada juga yang menjelaskan bahwa maksudnya adalah sering berpergian jauh/safar.

- Dari Aisyah –radhiallohu anha- beliau berkata :
Hindun (istri Abu Sufyan) berkata kepada Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- : Sesungguhnya Abu Sufyan seorang lelaki yang bakhil dia tidak memberiku dan anak-anakku nafkah yang cukup melainkan jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya? Maka beliau bersabda : “Ambillah apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik” (HR. Bukhari 5359 dan Muslim 1714)

2. Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin -Rahimahullah- mengatakan dalam Syarah Riyadhus Shalihin 4/99-101 ketika menjelaskan ucapan Imam Nawawi diatas :
“Imam Nawawi –rahimahullah- menyebutkan dalam bab ini hal-hal yang dibolehkan ghibah didalamnya yaitu ada enam perkara. Ucapan beliau ini sangat baik sekali, semuanya benar dan baik” kemudian beliau menjelaskan hadits pertama yang dibawakan oleh Imam Nawawi –rahimahullah- : Sabda Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- : (ijinkanlah dia, dia itu sejelek-jeleknya kerabat) orang tersebut memang perusak dan penyesat. Maka hal ini menjelaskan bolehnya mengghibah para penyesat umat agar manusia lari dari kesesatannya dan agar mereka tidak tertipu. Jika anda mengetahui ada seseorang yang sesat (dan menyesatkan) tapi dia memiliki keistimewaan gaya bahasa dan retorika dalam menyampaikan (ceramah) serta menarik manusia hingga mereka tidak sadar sudah terjerumus kedalam jaring-jaring kesesatan maka wajib bagimu untuk menjelaskan hakekat orang yang sesat tersebut dan sebutkan kejelekannya (saja) agar manusia tidak tertipu dengannya. Berapa banyak para dai-dai/penceramah-penceramah yang sangat indah dan fasih bahasanya, jika anda melihatnya anda akan terpesona dan jika dia berbicara anda akan dengan seksama mendengarkannya akan tetapi dia itu hakekatnya (penyesat umat). Maka yang wajib adalah menyingkap hakekat dan kedoknya.”

3. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah yang terkenal dengan sebutan Ibnu Abi Zamanain rahimahullah (meninggal tahun 399 H) berkata :

“Senantiasa ahlus sunnah mencela ahlul ahwa/bid’ah yang menyesatkan (umat), mereka melarang bermajlis dengan ahli bid’ah, mengkhawatirkan fitnah mereka serta menjelaskan akibat buruk mereka. Dan ahlussunnah tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu ghibah.” (Ushulus Sunnah oleh Ibnu Abi Zamanain hal. 293)
Sungguh ahlus sunnah telah sepakat sejak dahulu hingga sekarang dalam menyikapi ahli bid’ah (para penyesat umat-pent). Yang demikian itu dengan mencela dan memperingatkan umat akan bahaya mereka serta memboikot dan melarang bermajlis dengan mereka dalam rangka membendung bahaya dan fitnah para ahli bid’ah tersebut.
Ahlu sunnah menganggap bahwa menyingkap kedok mereka bukanlah ghibah yang haram. Para ulama telah mengecualikan 6 perkara dari ghibah yang diharamkan, seperti yang dikatakan dalam bait-bait ini:

Mencela bukan termasuk ghibah dalam 6 perkara
Orang yang terdholimi, yang memperkenalkan, yang memperingatkan
Orang yang terang-terangan berbuat kefasikan, orang yang meminta fatwa
Dan orang yang meminta bantuan untuk memberantas kemungkaran
(Keenam hal ini sama dengan apa yang dijelaskan oleh Imam Nawawi diatas. “Ijma ulama ‘ala hajr wat tahdzir min ahlil ahwa’” oleh Kholid bin Dhohawi hal. 121)


4. Imam Ahmad –rahimahullah- (Imam Ahlu sunnah) mengatakan :
“Tidak ada istilah ghibah untuk (membantah) ahli bid’ah” (Thobaqoh Al-Hanabilah 2/274)

5. Imam Ibnu Rajab Al-Hambali –rahimahullah- mengatakan dalam kitab “Syarh ‘ilal At-Tirmidzi” 1/43-44 :
(Imam Abu Isa (At-Tirmidzi) –rahimahullah- berkata: “Sebagian orang yang tidak paham akan (agama ini) mencela para ahli hadits dalam ucapan mereka tentang perawi-perawi hadits.

Sungguh kita telah mendapati banyak dari para Imam dari kalangan tabi’in membicarakan (menggunjing/mencela) para perowi diantara mereka adalah Hasan Al-Bashri & Thowus mereka berdua mencela Ma’bad al-Juhani, Sa’id bin Jubeir membicarakan Tholq bin Habib, Ibrahim an-Nakho’i dan Amir asy-Sya’bi membicarakan a l-Harits al-A’war.

Demikian pula yang diriwayatkan dari Ayyub as-Sakhtiyani, Abdullah bin ‘Aun, Sulaiman at-Taimi, Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, al-’Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Yahya bin Sa’id al-Qoththon, Waki’ bin Jarrah, Abdurrohman bin Mahdi dan selain mereka dari para ahli ilmu, mereka semua pernah membicarakan para perawi-perawi dan mendhoifkannya.

Tidaklah yang mendorong mereka dalam hal ini (membicarakan/menghibah para perawi) melainkan untuk menasehati kaum muslimin, tidak mungkin mereka hanya ingin mencela dan menghibah saja, akan tetapi mereka ingin menjelaskan kelemahan para perawi tersebut agar diketahui kaum muslimin, karena sebagian perawi yang lemah tersebut adalah ahli bid’ah, sebagian lagi tertuduh memalsukan hadits dan sebagian lagi ada yang banyak kesalahannya. Maka para imam-imam tersebut ingin menjelaskan hakekat mereka (para perawi) dengan sebenarnya, dalam rangka menjaga agama ini dan menjelaskan hakekat sebenarnya. Karena persaksian dalam agama (tentang hadits-pent) lebih utama untuk diteliti dari pada persaksian dalam masalah hak pribadi dan harta”. Ibnu Rajab berkata: “Disini Imam Tirmidzi ingin menjelaskan bahwa membicarakan/mengunjing para perowi (Jarh wa Ta’dil) itu boleh. Hal ini telah disepakati oleh para salaf/pendahulu umat ini dan para imam-imam mereka. Demikian itu untuk membedakan mana perowi/hadits yang bisa diterima dan mana yang tidak. Sebagian orang yang tidak memiliki ilmu mengira itu adalah ghibah (yang diharamkan), padahal tidak demikian, sebab membicarakan aib seseorang jika ada maslahatnya -meskipun pribadi- dibolehkan (dalam agama) tanpa ada perselisihan lagi seperti mencela para saksi yang dusta, maka kalau maslahatnya umum untuk muslimin ini lebih dibolehkan lagi”

6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- berkata dalam “majmu’ fatawa” 28/225-232 :
Menyebut manusia dengan apa-apa yang mereka benci ada dua macam :

1. Menyebut jenis (golongan), setiap golongan yang dicela Allah dan Rasul-Nya maka wajib untuk mencela mereka, hal ini bukan termasuk ghibah.

2. Menyebut perorangan baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Boleh menyebutkan kejelekan orang tersebut dalam beberapa keadaan, diantaranya: dalam rangka menasehati kaum muslimin tentang agama dan dunia mereka. Menasehati umat dalam kemaslahatan agama yang khusus dan umum adalah suatu kewajiban. Seperti menjelaskan perowi hadits yang salah atau berdusta sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya bin Said serta Al-Auza’i tentang seseorang yang tertuduh (memalsukan) hadits dan dia tidak hafal, maka mereka mengatakan: “jelaskan hakekat dan jati dirinya!”. Pernah seseorang berkata kepada Imam Ahmad rahimahullah : “Aku merasa berat jika mengatakan si fulan itu demikian dan demikian (dari kesesatannya-pent). Maka Imam Ahmad mengatakan: “jika engkau diam dan akupun juga diam maka kapan orang bodoh/awam tahu mana yang benar dan mana yang salah!!!
Seperti imam-imam ahli bid’ah yang memiliki pendapat-pendapat yang menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah atau beribadah tapi menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah maka mereka ini wajib (menurut ijma kaum muslimin) dijelaskan kesesatannya dan diperingatkan umat dari bahayanya. Sampai-sampai pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad rahimahullah : “Ada seseorang yang puasa, sholat, I’tikaf dan ada orang lain yang membantah ahli bid’ah, manakah yang lebih anda sukai? Beliau menjawab : apabila orang itu sholat, i’tikaf maka hal itu manfaatnya untuk dia sendiri tapi apabila dia membantah ahli bid’ah maka manfaatnya bagi kaum muslimin dan inilah yang lebih afdhol/lebih utama.

Beliau menjelaskan bahwa manfaatnya lebih luas bagi kaum muslimin di dalam agama mereka, yang hal tersebut termasuk jihad fi sabilillah. Menjernihkan jalan Allah, agama, manhaj serta syari’at-Nya dari kesesatan dan permusuhan mereka (ahli bid’ah) merupakan suatu kewajiban yang kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin
Seandainya tidak ada yang menolak/membantah bahaya (bid’ah) nya mereka maka akan rusaklah agama ini. Dan kerusakan yang ditumbuhkan nya (bid’ah) lebih dahsyat daripada penjajahan. Karena mereka (para penjajah) jika merusak tidaklah merusak hati pertama kali tapi mereka (ahli bid’ah) pertama kali yang dilakukan adalah merusak hati

7. Imam Hasan Al-Bashri –rahimahullah- mengatakan :
“Tidak ada istilah ghibah dalam membantah ahli bid’ah”. Beliau mengatakan : “Tiga golongan manusia yang tidak ada larangan dalam mengghibah mereka, salah satunya adalah ahli bid’ah yang extrim dalam bid’ahnya”. Beliau juga pernah berkata: “tidak ada istilah ghibah dalam mencela pelaku bid’ah dan orang fasik yang menampakkan kefasikannya”. (ucapan-ucapan ini diriwayatkan oleh Al-Lalika’I dalam “Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah” 1/140)

8. Ibrahim An-Nakho’i –rahimahullah- mengatakan :
“Tidak ada ghibah dalam membantah ahli bid’ah” (lihat Sunan Darimi 1/120)

9. Sufyan bin Uyainah –rahimahullah- berkata :
“Pengekor hawa nafsu dalam agama ini tidak ada larangan dalam mengghibahnya” (lihat “Mukhtashor Hujjah” oleh Nashr Al-Maqdisy hal.538 )

10. Abu Hamid Al-Ghozali setelah membahas masalah ghibah dalam kitabnya “Ihya’ Ulumuddin” beliau berkata :
“Ketahuilah bahwa ghibah itu dibolehkan selama untuk tujuan yang disyari’atkan yang tidak mungkin sampai kepadanya kecuali dengan ghibah tersebut, maka tidak ada dosa didalamnya. Hal tersebut ada pada 6 keadaan”. (Ihya’ Ulumuddin 3/152)

Dari ucapan para ulama salaf ahli sunnah diatas telah jelas bagi kita akan bolehnya mengghibah para penyesat umat dengan tujuan menjelaskan/menyikap hakekat kesesatan mereka kepada umat ini. Bahkan bisa jadi hal tersebut wajib, tapi perlu diketahui bahwa mengghibah ahli bid’ah itu dibolehkan dengan syarat-syarat berikut ini :

1. Ikhlas karena Allah dan tujuan dari mencela/membantah ahli bid’ah adalah menasehati kaum muslimin dan memperingatkan mereka akan bahaya bid’ah mereka. Selain untuk tujuan ini maka ghibah itu diharamkan, seperti karena permusuhan pribadi, hasad terhadap ahli bid’ah dll

2. Pelaku bid’ah tersebut menyebarkan bid’ahnya. Jika pelaku bid’ah tersebut menyembunyikan/tidak menyebarkan bid’ahnya maka tidak boleh mengghibahnya. Karena mengghibah pelaku bid’ah (penyesat umat) tujuannya untuk amar ma’ruf nahi mungkar dan hal ini tidak bisa dilakukan kecuali kalau bid’ahnya itu ditampakkan/disebarkan ditengah masyarakat

3. Ahli bid’ah tersebut masih hidup dan belum meninggal. Jika orang tersebut (penyesat umat) sudah meninggal dunia maka tidak boleh mengghibahnya, kecuali jika dia memiliki buku-buku (tulisan-tulisan) dan pengikut yang memuat dan menyebarkan bid’ahnya maka wajib untuk memperingatkan umat darinya.

4. Bersikap adil dalam membantah ahli bid’ah, menjelaskan kesesatan/kebid’ahannya tanpa berdusta/tanpa mengada-ada. (Lihat “Mauqif ahlis sunnah wal jama’ah min ahlil ahwa’ wal bid’ah” oleh DR. Ibrahim Ar-Ruhaily 2/506-509)

Mencukur Jenggot,,Bolehkah demikian??

Sebagian kaum muslimin, ketika berpendapat bolehnya mencukur jenggot mengatakan, bahwasanya ada sebuah hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- pernah mencukur jenggotnya. Benarkah demikian? Bagaimana derajat haditsnya? Bagaimana pendapat para ulama tentang masalah ini? Berikut ini penjelasan singkat dari para ulama seputar masalah ini.

SEBUAH HADITS LEMAH

Dalam hal ini ada sebuah riwayat yang berbunyi:
عَنْ عَمْرٍو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ عَرْضِهَا وَطُوْلِهَا

Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya bahwsanya nabi -shallallahu alaihi wa sallam- dahulu memotong dari jenggotnya, dari panjangnya dan lebarnya. (HR. at-Tirmidzi)

PENJELASAN ULAMA


Hadits ini dikeluarkan oleh at-Tirmidzi, no. 2762 dan beliau mengatakan: “Ini adalah hadits yang gharib (asing). Aku telah mendengar dari Muhamamad bin Isma’il, ia berkata: Umar bin harun Muqarib al-hadits. Aku tidak mengetahui bahwa ia memiliki hadits yang tidak ada asalnya -atau mengatakan- menyendiri dengannya melainkan hadits ini”. (Sunan at-Tirmidzi, jilid 5, hlm. 94 – tahqiq Ibrahim ‘Iwadh).

Imam an-Nawawi -rahimahullah- mengatakan: “Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan isnad lemah yang tidak dapat dijadikan hujjah”. (Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, jilid 1, hlm. 343)

Setelah Imam asy-Syaukani menyebutkan perkataan at-Tirmidzi di atas dan perkataan Ibnu Hajar dalam at-Taqrib, beliau mengatakan: “Oleh karena itu, hujjah tidak dapat tegak dengan hadits ini”. (Nail al-Authar, jilid, 1, hlm. 138)

Al-Mubarakfuri -rahimahullah- menukil perkataan ath-Thibi -rahimahullah- tentang kandungan hadits ini, kemudian mengomentarinya: “Perkataan ath-Thibi ini bagus, akan tetapi hadits Amr bin Syu’aib ini dha’if jiddan (sangat lemah). Perkataan beliau (yaitu at-Tirmidzi, pen): “Ini adalah hadits yang gharib (asing) maksudnya adalah hadits yang lemah, karena berkisar pada Umar bin Harun sedangkan dia adalah matruk (ditinggalkan) sebagaimana anda ketahui”. (Tuhfah al-Ahwadzi, jilid 8, hlm. 44)

Syaikh Bin Baz -rahimahullah- dalam sebuah fatwanya mengungkapkan: “Adapun riwayat yang dibawakan oleh Imam at-Tirmidzi rah dari Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- bahwasanya beliau pernah mengambil sebagian jenggotnya, dari panjangnya dan dari lebarnya, maka hadits itu adalah batil menurut ahli ilmu dan tidak shahih dari Nabi -shallallahu alaihi wa sallam-. Sebagian orang telah berpegang dengan hadits itu, padahal hal itu tidak shahih dari beliau. Hal itu disebabkan karena dalam isnadnya terdapat Umar bin Harun al-Balkhi, sedangkan dia adalah orang yang muttaham (tertuduh) dengan kadzib (dusta).

Oleh karena itu, tidak dibolehkan seorang muslim berdalil dengan hadits yang batil ini, dan tidak pula mengambil rukhshah (keringanan) dengan mengikuti sebagian perkataan ahli ilmu, karena sunnahlah yang berkedudukan sebagai hakim (pemutus) semua perkara”. (hlm. 53-55 dalam Tahrim halq al-Liha)

Sedangkan Syaikh al-Albani -rahimahullah- berkomentar seputar hadits di atas: “Maudhu’ (Palsu)’”. (Silsilah adh-Dha’ifah, no. 288)

Lihat pula penjelasan Syaikh Muhammad bin Ahmad dalam Adillah Tahrim Halq al-Liha, hlm. 88, Dr. Ahmad al-Barrak dalam tahqiq kitab al-Wasm fi al-Wasym, karya Ahmad al-Halwani (wafat 1308 H), hlm. 58.

KESIMPULAN


Dengan demikian, maka berdalil dengan hadits di atas untuk membolehkan mencukur jenggot tidak dapat dibenarkan. Semoga Allah memberi kita istiqamah untuk berada di jalan-Nya yang lurus.

diketik ulang dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Ed 54, hal. 52-53

Surga Itu Di Bawah Telapak Kaki Ibu,,Benarkah perkataan ini??

SURGA DI BAWAH TELAPAK KAKI IBU

Telah kita ketengahkan sebuah hadits yang berbunyi:
اَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الأُمَّهَاتِ، مَنْ شِئْنَ أَدْخَلْنَ وَ مَنْ شِئْنَ أَخْرَجْنَ

Surga itu di bawah telapak kaki ibu, siapa yang ia kehendaki maka akan dimasukkan dan siapa yang ia ingini maka akan dikeluarkan. (Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah, no. 593)

Kemudian kita jelaskan bahwa hadits dengan lafazh di atas adalah PALSU. Dan ada juga yang lemah. (lihat: Dha’îf al-Jâmi’ ash-Shaghîr, no. 2666)

Setelah itu kami tegaskan bahwa ungkapan yang masyhur ini adalah ucapan manusia semata (bukan hadits)[2]. Dan sampai di sini pembahasan singkat kita pada waktu itu.

LAFAZH LAIN BERDERAJAT HASAN

Namun perlu diketahui, ada riwayat lain yang semakna dengan hadits di atas dengan lafazh yang berbeda yang berderajat hasan. Yang mana secara maknanya menunjukkan bahwa surga itu di bawah telapak kaki ibu. Berikut bunyi hadits tersebut:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”

Syaikh al-Albani berkomentar: “Diriwayatkan oleh an-Nasa`i, jilid 2, hlm. 54, dan yang lainnya seperti ath-Thabrani jilid 1, hlm. 225, no. 2. Sanadnya Hasan insyaAllah. Dan telah dishahihkan oleh al-Hakim, jilid 4, hlm. 151, dan disetujui oleh adz-Dzahabi dan juga oleh al-Mundziri, jilid 3, hlm. 214.” (as-Silsilah adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, pada penjelasan hadits no. 593)[3]

Dan ada hadits lain yang lafazhnya berbeda dengan yang di atas.

UCAPAN ULAMA SEPUTAR HADITS DI ATAS

Ketika mensyarah hadits ini, Imam Ali al-Qari rah mengatakan: ”Maksudnya yaitu senantiasalah (engkau) dalam melayani dan memperhatikan urusannya”. (Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, jilid 4, hlm. 676)
Ath-Thibi mengatakan: ”Sabda beliau: ”…pada kakinya…”, adalah kinayah dari puncak ketundukan dan kerendahan diri, sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan…”. (Ibid, (IV/677).
Sedangkan as-Sindi mengatakan: ”Bagianmu dari surga itu tidak dapat sampai kepadamu kecuali dengan keridhaannya, dimana seakan-akan seorang anak itu milik ibunya, sedangkan ibunya adalah tonggak baginya. Bagian dari surga untuk orang tersebut tidak sampai kepadanya kecuali dari arah ibunya tersebut. Hal itu karena sesungguhnya segala sesuatu apabila keadaannya berada di bawah kaki seseorang, maka sungguh ia menguasainya dimana ia tidak dapat sampai kepada yang lain kecuali dari arahnya. Allahu a’lam. (Hasyiyah Sunan An-Nasa-i, karya as-Sindi, jilid 6, hlm. 11, dalam nuskhah yang dicetak bersama Zuhr ar-Rabaa ’Ala al-Mujtabaa, karya as-Suyuti)

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan, bahwa hadits dengan lafazh “Surga itu di bawah telapak kaki ibu” adalah lemah, bahkan ada riwayat lain yang palsu.
Namun ada hadits lain yang secara makna menjelaskan bahwa ungkapan di atas adalah benar. Maka itu, ungkapan tersebut tidak dapat kita katakan salah secara mutlak lantaran adanya hadits hasan yang memperkuatnya. Wallahu a’lam. (Red)

diketik ulang From Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 51, hal. 43-44

————————————————————————————————-

1. Tepatnya pada pada rubrik Tanya Jawab, hlm. 8.

2. Yang kita maksudkan adalah hadits dengan lafazh di atas atau seperti penggalan pertama hadits di atas, bukan lafazh yang lainnya. Dan kita telah memiliki pembahasan tentang gambaran bakti kaum salaf terhadap kedua orang tua, yang padanya ada keterangan sedikit tentang hadits lain yang hasan seputar ungkapan tersebut. Sebenarnya akan kita terbitkan pada edisi kali ini, namun karena banyak hal akhirnya tidak bisa kita muat pada edisi kali ini. Semoga dimudahkan untuk dimuat pada edisi selanjutnya. Dan agar tidak terjadi kesalahpahaman, maka pada edisi ini kami cantumkan keterangan singkat tentang hadits hasan seputar pembahasan, wa billahi at-taufiq.

3.Kami ucapkan jazakumullahu khairan wa zadakum ‘ilman wa taufiqon kepada sidang pembaca dari Jakarta yang telah mengusulkan kepada kami agar pembahasan tentang hadits ini disempurnakan dan dijelaskan hadits hasan yang semakna dengan ungkapan “surga itu di bawah telapak kaki ibu.”
Dan itu -sebagaimana ia sebutkan- karena didasari oleh dua hal:
1. Sadd adz-dzara-i’ (menutup pintu) keyakinan tidak adanya hadits yang shahih tentang masalah ini dan tidak benarnya ungkapan tersebut secara mutlak.
2. Membuktikan benarnya penjelasan sebagian ulama bahwa hadits-hadits yang shahih telah mencukupi dari mempergunakan hadits yang lemah.

Mengenal sosok Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wad'i Rahimahullah

Nama & Pertumbuhan

Nama Beliau adalah Muqbil bin Hadi bin Muqbil al-Wadi’i, sedangkan kunyahnya adalah Abu Abdirrahman. Beliau berasal dari desa Dammâj di Yaman. Syaikh Muqbil –rahimahullah- tumbuh dan besar dalam keadaan yatim (ditinggal wafat oleh kedua orang tuanya).

Beliau pernah belajar di beberapa madrasah al-Qur`an yang tersebar di berbagai desa dan daerah pedalaman. Ia berhasil menghafalkan al-Qur`an di sana dan belum pernah masuk sekolah resmi sekalipun. Di samping itu, Syaikh sibuk menggembala kambing[2], aktifitas Beliau yang satu ini berperan amat besar dalam menata kepribadian Beliau, serta mendidiknya menjadi sosok manusia penyabar.

Perjalanan Menuntut Ilmu

Ketika menginjak dewasa, Beliau pindah ke Negeri al-Haramain (Saudi Arabia) untuk bekerja dan mencari rizki, sebagaimana hal ini telah menjadi kebiasaan penduduk negeri sekitar Arab Saudi pada waktu itu, yakni mereka banyak melakukan perjalanan jauh untuk mencari rizki. Dan hal ini adalah sesuatu yang disyariatkan.

Di samping bekerja di sana, pada tahun 1964 M Beliau mulai belajar mencari ilmu agama di Mekkah, sekaligus bekerja di Masjidil Haram. Sehingga, Beliau bekerja mencari nafkah di siang hari, sedangkan pada malam harinya beliau manfaatkan untu belajar mencari ilmu agama.

Tidak diragukan lagi, bahwa jerih payah menundukkan jiwa untuk menuntut ilmu agama dan bekerja mencari nafkah, yang mana keduanya adalah perkara yang penting, masing-masing ada tuntunannya dalam syariat dan merupakan bidang yang tersendiri. Maka, betapa hebatnya, apabila keduanya dapat terkumpul pada diri seseorang, mencari rizki di siang hari dan menuntut ilmu di malam hari. Sehingga, bisa jadi hal ini menjadi penyebab Beliau diberikan rizki berupa harta dan ilmu.

Kemudian, sekitar tahun enam puluhan, dibukalah Ma’had al-Haram al-Makki, yaitu sebuah Ma’had resmi yang didirikan oleh pemerintah Arab Saudi. Kemudian Syaikh Muqbil mendaftarkan diri dan belajar terus-menerus di sana selama enam tahun. Sementara itu, Beliau juga belajar kepada para ulama di Masjidil Haram dengan cara menghadiri majelis-majelis ilmu mereka. Dengan itu, Beliau mengumpulkan metode belajar kurikulum dan secara pribadi belajar kepada ulama (yang kita kenal dengan istilah mulâzamah, -pen.), dan begitu sedikit sekali orang yang pada dirinya dikumpulkan oleh Allah dua kebaikan ini.

Pada tahun enam puluhan itu pula, Beliau datang ke kota Madinah Nabawiyah, yaitu sebelum tahun 1964 M, tepatnya sekitar tahun 1961 M, untuk bekerja di sana dan menghadiri majelis ilmu para ulamanya, semisal majelis ilmu Syaikh al-Albani –rahimahullah-, yang ketika itu masih menjadi dosen di Universitas Islam Madinah, demikian juga Syaikh asy-Syinqithi –rahimahullah- dan Syaikh Ibnu Baaz –rahimahullah-. Itulah masa keemasan Universitas Islam Madinah yang tiada bandingannya dan amat sulit untuk terulang kembali.

Setelah tamat dari Ma’had al-Haram al-Makki, Beliau kembali ke Madinah Nabawiyah. Kemudian ia belajar di fakultas Hadits dan Dakwah selama kurang-lebih delapan tahun (S1 dan Magister). Desertasi Beliau untuk mengambil gelar Magister adalah kitab al-Ilzâmât wa at-Tatabbu’, dalam bentuk ta’lîq, tahqîq dan syarh karya al-Imam ad-Daruquthni. [3]

Kembali ke Yaman

Setelah terjadinya tragedi Juhaiman 4) pada tahun 1400 H, Beliau kembali ke Yaman. Beliau sendiri terkena imbasnya, karena Beliau sempat mengajar kelompok tersebut, yang mana mereka termasuk orang-orang yang sering menuntut ilmu kepada Beliau, meskipun di dalamnya masih banyak misteri yang tidak diketahui kejelasannya kecuali oleh Allah –subhanahu wata’ala-semata.

Yang jelas, tragedi tersebut adalah kenyataan yang sangat mengerikan, dan umat Islam terus menerus mengalami hal serupa. Demikian juga tragedi perang Teluk yang disusul dengan munculnya para da’i yang kontra dengan ulama senior Ahlu Sunnah, sekaliber Syaikh Ibnu Baaz-rahimahullah- dan Ibnu Utsaimin –rahimahullah-. Kemudian tragedi 11 September, semuanya kita saksikan dan alami, serta kita rasakan dampaknya dan kita lihat bahayanya, yang satu lebih dahsyat dari yang lainnya. Ini semua tidak ada jalan keluarnya kecuali ketakwaan kepada Allah –subhanahu wata’ala-. Jalan keluar berikutnya adalah mengikuti bimbingan para ulama.

Tragedi yang pertama, sebabnya adalah menyelisihi ulama, kelompok Juhaiman mengirim utusan kepada Syaikh al-Albani –rahimahullah- di Damaskus untuk bertanya, kemudian dijawab: Bertakwalah kepada Allah, ini bukan jalan kebenaran, demikian juga jawaban yang mereka terima ketika bertanya kepada Syaikh Ibnu Baaz –rahimahullah-. Meskipun begitu, tetap saja mereka menyelisihi para ulama, sehingga terjadilah fitnah.

Pada perang Teluk kedua, ketika Saddam Husain memasuki Kuwait, banyak para da’i yang menyelisihi ulama senior meski telah dinasehati. Dengan alasan, bahwa yang mereka lakukan lebih baik, sedangkan kalian (para ulama) tidaklah melihat realita yang ada. Dan mereka tetap menyelisihi para ulama, sehingga terjadilah fitnah.

Pada serangan New York 11 September, terjadi juga penyelisihan terhadap para ulama, mereka melakukan tindakan tanpa mempelajari kenyataan yang ada dengan benar, tanpa mempelajari dampak dan resiko yang akan muncul, sehingga terjadilah apa yang terjadi.

Dari beberapa peristiwa ini banyak pelajaran yang harus kita pahami dan renungi, sebagaimana sabda Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-

“Keberkahan itu menyertai orang-orang yang tua dari kalian” [5].

Padahal, para ulama tersebut adalah orang-orang yang tua dalam hal ilmu, amal dan umur, serta dalam hal teladan. Tentu saja lebih pantas keberkahan itu bersama mereka. Sebab, lantaran mereka pula keberkahan itu turun. Semoga Allah merahmati mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.

Sangat disayangkan sekali, keadaan seperti ini terus saja berputar, selalu ada segelintir pemuda, orang yang bermodalkan semangat dan tergesa-gesa, mereka bersungguh-sungguh, berijtihad dan akhirnya menyelisihi para ulama. Dan ini merupakan tanda-tanda kurangnya iman, sebagaimana sabda Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-

“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang tidak menghormati orang-orang yang tua dari kita, dan tidak menyayangi anak-anak kecil dari kita, tidak mengetahui hak para ulama.”

Yang lebih dahsyat lagi, apabila hak para ulama itu adalah hak dari segi ilmu dan umur, sehingga sempurnalah kedudukan mereka, seakan terkumpul dalam diri mereka kulit dan daging.

Kondisi Yaman


Kemudian Syaikh Muqbil kembali ke Yaman pada tahun 1400 H. atau sekitar tahun 1980 M. Ketika itu provinsi Sha’dah yang di dalamnya terdapat kota tempat kelahiran Beliau, keluarga dan kabilah Beliau, penuh dengan tasyayyu’ dan aliran Rafidhah, terutama sekte Zaidiyyah, demikian juga tasawwuf.

Di sinilah berlaku kaidah, di manapun ada tasawwuf pasti ada juga tasyayyu’, demikian juga sebaliknya di manapun ada tasyayyu’ pasti ada juga tasawwuf. Dalam hal seperti ini perlu kita baca buku Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir yang berjudul at-Tashawwuf al-Ashl wa an-Nasy`ah (Asal Muasal Tasawwuf dan Perkembangannya, -pen.) setebal lebih dari enam ratus halaman, karena di dalamnya diterangkan perincian kaidah di atas. Demikian juga ada buku yang berjudul ash-Shilah Baina at-Tashawwuf wa at-Tasyayyu’ (Hubungan antara Sufi dan Syi’ah, -pen.) karya DR. Mushthafa asy-Syabibi dari Iraq, terdiri dari dua jilid masing-masing jilid setebal dua ratus halaman.

Dakwah di Yaman


Akhirnya, mulailah Beliau menyeru umat kepada tauhid dan sunnah dengan sendirian, memerangi bid’ah dan khurâfat, dan membimbing masyarakat untuk mendasari agama mereka dengan tauhid. Beliau juga sibuk membantah tuduhan kaum musyrikin, kebodohan orang-orang yang sesat, sehingga goncanglah masyarakat dan keluarganya. Bahkan, Rafidhah terus berusaha menghentikannya dengan makar yang amat dahsyat. Akan tetapi, Beliau senantiasa memohon pertolongan kepada Allah, sehingga semua itu dapat berlalu begitu saja. Meskipun demikian, musuh dakwah takkan pernah berputus asa, mereka pun mulai menghasut penguasa dengan berbagai kedustaan.

Hal ini mengingatkan kita kepada penjelasan Ibnul Qayyim dalam al-Kâfiyah asy-Syâfiyah fî al-Intishâr ‘alâ al-Firqah an-Nâjiyah (al-Qashîdah an-Nûniyyah) yang terdiri dari enam ribu bait syair, tentang kebiasaan ahlul bid’ah yang menggunakan kedustaan untuk menghadapi dalil-dalil Ahlu Sunnah:

Tidaklah mereka memiliki dalil ketika berdebat
Bak seorang yang taklid dalam kebingungan
Mereka tidak kembali kepada dalil
Akan tetapi ketika lemah, mereka kembali kepada penguasa

Itupun masih lebih baik apabila mereka membawakan dalil dengan jujur kepada penguasa. Akan tetapi kenyataannya, berita yang mereka bawa hanyalah berdasarkan hasutan dan kedustaan.

Meski ditekan sedemikian rupa, namun tetap saja para penuntut ilmu dari berbagai penjuru Yaman mulai berdatangan kepada Beliau, bahkan dari negara-negara persemakmuran, puluhan, ratusan, seribu, sampai pernah lebih dari seribu orang. Mereka semua terus belajar dengan penuh semangat dan kesungguhan. Mereka tinggal, makan dan minum di sana dengan penuh kesederhanaan, sehingga mereka memiliki keuletan dan kesabaran yang hebat dalam menuntut ilmu. Maka dari itu, tersebarlah dakwah untuk mengikuti sunnah dan tauhid, dakwah untuk mempelajari ilmu hadits dan metode ahli hadits ke segenap penjuru Yaman, sehingga terbungkamlah suara Rafidhah dan melemahlah suara kaum Sufi. Adapun Ahlu Sunnah, maka suara mereka menjadi kuat dan dominan.

Akhirnya, dakwah mereka tersebar sampai keluar Yaman, masing-masing murid Syaikh Muqbil memiliki kedudukan dalam hal ilmu, sehingga mereka dipercaya untuk mengelola berbagai markas dakwah dan masjid, serta lebih mudah lagi bagi mereka untuk mengajarkan kebaikan kepada manusia. Masyarakat pun begitu antusias menerima dakwah tersebut, baik dari dalam maupun dari luar Yaman. Sebagian mereka memiliki karya tulis, buku dan majelis ilmu, sehingga mulailah masing-masing mereka memiliki murid, sebagaimana sabda Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-

“Kalian mendengarkan ilmu dariku, generasi setelah kalian menimba ilmu dari kalian, dan generasi setelahnya menimba ilmu dari murid kalian.” (HR. Ahmad)

Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- juga bersabda:

“Ilmu agama ini akan dipikul oleh orang yang adil dari generasi penerus, mereka menolak penyimpangan orang-orang ekstrim, tipu daya para pembangkang dan takwilan orang-orang bodoh.” [6]

Akan tetapi, sepeninggal Syaikh Muqbil, banyak terjadi perselisihan di antara murid Beliau. Semoga mereka mau kembali kepada ulama besar untuk menuntaskan hakekat perselisihan mereka, sehingga bisa bersatu kembali seperti semula. Hal ini mengingatkan kita kepada hadits Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam-

“Sesungguhnya setan sudah berputus asa untuk bisa disembah di Jazirah Arab, nanun dia cukup puas dengan tersebarnya perselisihan di antara kalian.”

Beberapa Karya Beliau


• Al-Qubbah (maksudnya kubah yang dibangun di atas kuburan Nabi n), ini adalah skripsi Beliau untuk mengambil gelar S1, kemudian dicetak dalam buku Riyâdh al-Jannah.

• Tahqîq dan ta’lîq atas dua kitab al-Ilzâmât wa at-Tatabbu’.

• Al-Jâmi’ ash-Shahîh fîmâ Laisa fî ash-Shahîhain.

• Dalâ`il an-Nubuwwah.

• Tuhfah al-Mujîb.

• Al-Ahâdîts al-Mu’allaqah Ghair fî ash-Shihâh dll.

Wafat Beliau

Ketika umur Syaikh mendekati 70 tahun, Beliau sakit keras hingga sampai berobat ke Amerika dan Arab Saudi, meskipun Syaikh ada sedikit permasalahan dengan Negara Arab Saudi sebagai imbas dari tragedi Juhaiman. Akan tetapi, Allah memberi taufiq kepada para penguasa Arab Saudi, sehingga mereka mau membuka negerinya dan mempersilahkan Syaikh Muqbil untuk umroh dan haji, serta berobat di Rumah Sakit terbesar di Jeddah dengan gratis. Kemudian para pejabat mengunjungi Beliau, sehingga terjadilah saling nasehat-menasehati di antara mereka. Dan akhirnya, Beliau menarik kembali beberapa sikap kepada Negeri Saudi yang Beliau nilai tidak layak dalam sebuah tulisan Barâ`ah adz-Dzimmah.

Syaikh Muqbil wafat di Saudi pada 1 Jumadil Ula 1422 H. setelah isya`, dan dishalati setelah shalat subuh, serta dimakamkan di pekuburan al-’Adl di Mekah, berdampingan dengan Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Ibnu Utsaimin. Semoga Allah senantiasa memberikan limpahan rahmat-Nya kepada mereka. Âmîn.

From Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 42 hal. 31-34

———————————————————————————————————-

1) Tulisan ini disarikan dari penjelasan Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari ketika menguraikan kitab Hâdzihî ‘Aqîdatunâ wa Da’watunâ karya Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, pada Dauroh Syar’iyyah kedelapan yang diadakan oleh STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya di Trawas, Mojokerto bekerjasama dengan Markaz Imam al-Albani Yordania, dan diterjemahkan oleh Imam Wahyudi, Lc.
2) Menggembala kambing merupakan suatu perbuatan yang dapat melatih diri untuk mendidik jiwa, menjadikannya lembut dan sabar, Rasulullah n bersabda:
Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, melainkan ia pernah menggembala kambing. (HR. al-Bukhari)
3) Kitab ini sebenarnya adalah dua buku, al-Ilzâmât kitab tersendiri, demikian juga kitab at-Tatabbu’. Sekilas dari judulnya merupakan dua hal yang bertentangan. al-Izâmât (maksudnya, al-Imam ad-Daruquthni mewajibkan kepada al-Imam al-Bukhari dan Muslim untuk memasukkan hadits-hadits shahih yang sesuai dengan syarat keduanya tapi tidak ada di dalam kitab hadits keduanya). Adapun at-Tatabbu’ (maksudnya adalah, penelusuran hadits-hadits dalam kitab hadits keduanya yang tidak sesuai dengan syarat keduanya).
4) Peristiwa Juhaiman adalah tragedi yang terjadi di Masjidil Haram pada hari selasa 1 al-Muharram 1400 H. Peristiwa itu bermula dari seorang yang bernama Juhaiman, yang menyerukan untuk berbaiat kepada yang ia sangka sebagai Imam Mahdi yang bernama Muhammad bin Abdullah al-Qahthani. Bahkan, kelompok mereka ini berhasil menguasai Masjidil Haram dan memaksa kaum muslimin untuk berbaiat kepada Imam Mahdi versi Juhaiman dengan menakut-nakuti dan mengancam akan membunuh siapa saja yang tidak berbaiat kepadanya. Sehingga timbullah korban yang banyak. Mereka pun tidak mau menerima nasehat para ulama untuk kembali kepada syariat yang benar. Maka dengan terpaska tentara Allah dan tauhid dari pasukan Arab Saudi menyerang mereka, dan berhasil memaksa mereka untuk menyerah. Dan tertangkaplah seratus tujuh puluh anggota mereka, enam puluh tiga dihukum mati, sedangkan sisanya diasingkan, dipenjarakan, atau dicambuk. Dikutip dari kitab al-Irhâb, karya Syaikh Zaid bin Muhammad al-Madkhali, hlm 15-16.
5) Al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhain li al-Hâkim.
6) Al-Ibânah al-Kubrâ karya Ibnu Baththah

Biografi Singkat Syaikh Ali Hasan Al-Halabi

“Para ulama dan imam agama ini senantiasa menjelaskan tipu daya setan dan memperingatkan umat dari kesesatan. Oleh sebab itu mereka menulis karya-karya tulisan, sehingga dapat dipetik faedahnya oleh generasi dahulu dan akan diambil oleh generasi yang akan datang”[1].

Nasab


Beliau adalah seorang Syaikh salafi, pengarang kitab-kitab manhaj dan peneliti kitab-kitab ilmiah, nasab Beliau adalah Ali bin Hasan bin Ali bin Abdulhamid, Abul Harits, penisbatan Beliau adalah al-Halabi, adapun tempat hijrahnya adalah Yordania.

Ayah dan kakek Syaikh Ali hijrah dari kota Yafa, Palestina menuju Yordania pada tahun 1368 H (1948 M), karena adanya peperangan yang dikobarkan oleh zionis Yahudi.

Tempat & Tahun Kelahiran

Syaikh Ali al-Halabi dilahirkan di kota az-Zarqâ’ Yordania pada tanggal 29 Jumadil Ula tahun 1380 H.

Pendidikan

Syaikh berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan tingkat atas dengan sukses pada tahun 1398 H (1978 M). Kemudian Beliau melanjutkan pendidikannya ke fakultas Bahasa Arab di Amman, untuk mempelajari cabang ilmu bisnis dan akuntansi, akan tetapi Allah tidak menakdirkan kepada Beliau untuk menyelesaikan kuliahnya tersebut.

Guru

Syaikh memulai menuntut ilmu agama sekitar seperempat abad yang lalu. Dan Beliau mengambil ilmu ini dari banyak guru. Berikut diantara guru Beliau yang terkemuka:

· Al-’Allâmah, Ahli hadits, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani Rahimahullah.

Beliau bertemu dengan Syaikh al-Albani pada akhir tahun 1977 M di kota Amman. Dan pada tahun 1981 M Beliau belajar dari Syaikh al-Albani kitab Isykâlât al-Bâ’its al-Hatsîts dan beberapa kitab lainnya.

· Pakar bahasa, Syaikh Abdulwadud az-Zarori Rahimahullah,

· Juga Syaikh yang mulia Muhammad Nasib ar-Rifa’i, dan beberapa ulama lainnya.

Surat Izin Mengajar


Syaikh Ali mendapatkan ijazah ilmiah untuk mengajarkan ilmu agama, khususnya dalam bidang ilmu hadits dari beberapa ulama, selain dari ketiga Syaikh yang telah kami sebutkan di atas. Mereka adalah:

o Al-’Allâmah Syaikh Badi’ud Din as-Sindi.

o Al-’Allâmah Syaikh Muhibbullah ar-Rasyidi.

o Al-’Allâmah Syaikh ‘Atha’ullah Hanif al-Fujiyani, dan

o Ahli hadits Syaikh Hammad al-Anshari v.

Sanjungan & Pujian

Begitu banyak ulama yang mengalamatkan sanjungan kepada Beliau, diantara mereka adalah Syaikh al-Albani, Syaikh Bin Baz, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Muqbil bin Hadi v, Syaikh Abdulmuhsin al-’Abbad, dan ulama-ulama lainnya. Dan di sini, kami akan lampirkan tiga sanjungan ulama terhadap Syaikh.


1. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani v.

Sebagaimana yang Beliau utarakan dalam kitabnya yang agung, ash-Shahîhah, pada pertengahan penjelasan Beliau tentang dusta-dusta si pencela sunnah, Hassan Abdulmannan. Beliau berkata seraya memujinya: Penjabaran perkataan untuk menjelaskan cacatnya ucapan (Hassan) yang telah melemahkan hadits-hadits tersebut di atas, semua itu membutuhkan disusunnya sebuah kitab khusus, dan untuk mencapai hal itu waktuku tidak cukup, semoga saja sebagian saudara kita yang kuat-kuat seperti saudara Ali al-Halabi mampu melaksanakan tugas ini.

Coba perhatikan juga muqaddimah kitab at-Ta’lîqât ar-Radhiyyah ‘Alâ ar-Raudhah an-Nadhiyyah, Âdâb az-Zifâf cetakan al-Maktabah al-Islâmiyyah, dan kitab an-Nashîhah.

2. Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i v.

Begitu pula al-Allamah ahli hadits Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i v dalam kitabnya Tuhfah al-Mujîb ‘alâ As`ilah al-Hâdhir wa al-Gharîb, hlm 160, Beliau ditanya: Siapakah para ulama yang anda nasehatkan kami untuk merujuk kepada mereka dan membaca buku-buku karya mereka serta mendengarkan kaset-kaset mereka?

Syaikh menjawab: Sesungguhnya kami telah membahas hal yang satu ini berulang kali, akan tetapi tak apa kita mengulanginya sekali lagi. Diantara mereka adalah Syaikh Nashiruddin al-Albani v, dan murid-murid Beliau yang mulia, semisal saudara Ali bin Hasan bin Abdulhamid, saudara Salim al-Hilali, saudara Masyhur bin Hasan v.

Beliau juga bertutur: Dan setelah itu saya melihat sebuah artikel begitu berharga yang berjudul Fihq al-Wâqi’ baina an-Nazhariyyah wa ath-Thathbîq, buah karya saudara kami seakidah Ali bin Hasan bin Abdulhamid حفظه الله, kami nasehatkan kepada kalian untuk dapat memiliki dan membacanya, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.

Dan Beliau telah menyebutkan artikel tersebut dalam sebuah kasetnya yang berjudul Ghârah al-Asyrithah ‘alâ Ahli al-Jahl wa as-Safsathah, Beliau berkata seraya mensifati artikel tersebut: Aku tidak mengetahui ada yang menandinginya sama sekali.

3. Syaikh Abdulmuhsin al-’Abbad حفظه الله.

Begitu pula Syaikh Abdulmuhsin al-’Abbad al-Badr حفظه الله. Beliau berkata dalam kitabnya yang begitu bermanfaat dan bagus, Rifqan Ahla as-Sunnah bi Ahli as-Sunnah, hlm 8-9, cetakan 1426 H: Dan saya petuahkan juga, hendaknya para penuntut ilmu di setiap negeri menyibukkan diri dengan menuntut ilmu dari ulama ahlus sunnah yang ada pada negeri yang bersangkutan, semisal murid-murid Syaikh al-Albani v di Yordania, yang mana sepeninggal Syaikh al-Albani mereka mendirikan markaz dengan nama Beliau (markaz Syaikh al-Albani v).

Hubungan Syaikh dan Mahad Ali Bin Abi Thalib Surabaya

Alhamdulillâh, telah terjalin hubungan baik antara Syaikh Ali khususnya, dan Ulama Yordania lainnya umumnya, dengan Ma’had Ali bin Abi Thalib Surabaya. Hal itu dapat kita ketahui bersama dengan diselenggarakannya Dauroh-dauroh Syar’iyyah oleh Ma’had Ali dengan mendatangkan mereka sebagai pembicara. Terhitung sudah lima kali Mereka –Masyayikh Yordania- berkunjung ke kota Surabaya dalam rangka mempererat hubungan silaturrahmi dan memberikan siraman ilmu di dauroh-dauroh tersebut.


Syaikh Ali juga begitu dekat dengan asâtidzah (jamak ustadz) Surabaya dan asâtidzah Indonesia lainnya. Namun –sepengetahuan penulis-, Ustadz Indonesia yang paling dekat dengan Syaikh Ali adalah Ustadz kami Abu ‘Auf Abdurrahman bin Abdulkarim at-Tamimi حفظه الله. Abu ‘Auf pernah bercerita di hadapan kami, bahwa Syaikh Ali begitu sering saling kirim SMS dengannya. Bahkan Ia pernah berkata, lebih dari seribu SMS yang pernah Syaikh Layangkan kepadanya. Abu ‘Auf sempat menulis delapan ratus lebih SMS dari Syaikh, yang kemudian Beliau tulis dengan tangannya di dua buku tulis. Adapun sisanya, sengaja Beliau tidak dokumentasikan.


Selain itu, pada tahun 1425 H (2004 M) Abu ‘Auf pernah diundang ke Yordania sebagai utusan dari Indonesia, untuk menyampaikan ceramah pada acara seminar di Markaz Imam al-Albani. Dan pada waktu itu, yang menyampaikan ceramah pada seminar itu ada sebelas orang –selain dari Abu ‘Auf-. Mereka adalah, Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, Syaikh Muhammad Musa, Syaikh Ali al-Halabi, Syaikh Husain bin ‘Audah al-’Awaisyah, Syaikh Basim bin Faishol al-Jawabiroh, mereka semua berasal dari Yordania. Syaikh Utsman al-Khumayyis dan DR. Hamd al-Utsmani, keduanya dari Kuwait, DR. Muhammad al-Khumayyis dan Syaikh Abdullah al-’Ubailan, keduanya dari Arab Saudi, Syaikh DR. Khalid al-Anbari dari Uni Emirat Arab, dan Syaikh Hisyam al-’Arif dari Palestina.


Syaikh Ali juga pernah menyusun syair yang berjumlah dua puluh satu bait, yang Beliau utarakan pada penutupan Dauroh Syar’iyyah pertama pada tahun 1421 H. diantara kutipannya:


فَالشُّكْرُ كُلَّ الشُّكْرِ نَحْوَ شُعُوْرِهِمْ تِلْكَ المَــحَبَّةُ مِنْهَمُ بِأَمَــانِ

أَمَّا كَبِـيْرُ الجُهْدِ ذَاكَ بِحِـرْصِهِ هَذَا التَّمِيْمِيُّ عَبْدُ ذَا الرَّحْــمَنِ

Maka limpahan ucapan terima kasih teruntuk mereka

Inilah rasa kasih cinta dengan keamanan dari mereka

Adapun dia yang semangat dan begitu antusiasnya

Itulah Abdurrahman yang at-Tamimi menjadi nasabnya

Aktivitas

Syaikh Ali حفظه الله termasuk orang pertama yang ikut andil dalam mendirikan majalah al-Asholah yang terbit di Yordania, termasuk penulis tetapnya, dan merupakan pemimpin redaksinya. Dan majalah tersebut hingga saat ini telah terbit sebanyak lima puluh edisi dalam masa lebih dari sepuluh tahun.

Beliau begitu rajin menulis makalah-makalah dan bahasan-bahasan yang beraneka ragam pada sejumlah surat kabar, majalah Arab Saudi, dan majalah internasional, yang diantaranya adalah makalah mingguan pada surat kabar dalam negeri al-Muslimûn, yang terbit di London di kolom as-Sunnah. Pada majalah tersebut Beliau terus-menurus menulis kira-kira selama dua tahun lamanya, terhitung sejak tanggal 18 Rabi’ul Awal 1417 H.

Syaikh Ali حفظه الله juga berkali-kali ikut serta dalam muktamar-muktamar islam, petemuan-petemuan dakwah, seminar-seminar ilmiah pada sejumlah negara, diantaranya adalah di Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Kuwait, Amerika, Inggris, Belanda, Hongaria, Kanada, Indonesia, Perancis, Kosovo, dan beberapa Negara lainnya.

Syaikh pun pernah diundang ke sejumlah Universitas Yordania untuk menyampaikan kajian dan seminar, seperti di Universitas Yordania, Universitas Yarmuk, dan Universitas Zaitunah.

Karya & Tulisan

Kitab-kitab karangan

Adapun karya tulisan dan kitab-kitab yang Beliau teliti jumlahnya mendekati dua ratus kitab, baik berupa artikel, sebuah kitab, maupun yang kitab berjilid-jilid jumlahnya.

Dan diantara karangan yang paling penting adalah kitab:

- Ilmu Ushûl al-Bida’,

- Dirâsât Ilmiyyah fî Shahîh Muslim,

- Ru’yah Wâqi’iyyah fî al-Manhaj ad-Da’awiyyah,

- An-Nukat ‘alâ Nuz-hah an-Nazhor,

- Ahkâm asy-Syitâ` fî as-Sunnah al-Muthahharoh,

- Ahkâm al-’Iedain fî as-Sunnah al-Muthahharoh,

- At-Ta’lîqât al-Atsariyyah ‘alâ al-Manzhûmah al-Baiqûniyyah,

- Ad-Da’wah ila Allah baina at-Tajammu’ al-Hizbi wa at-Ta’âwun asy-Syar’i,

- At-Tabshir bi Qawâ’id at-Takfîr, dll.

Kitab-kitab tahqiq

Adapun dalam bidang tahqiq/penelitian, maka kitab-kitab yang Beliau tahqiq begitu beragam, seperti:

- Hidâyah ar-Ruwât fî Takhrîj Ahâdîts al-Mashâbîh wa al-Misykât karya Ibnu Hajar sejumlah lima jilid,

- As-Sunan karya Ibnu Majah dalam empat jilid,

- Miftâh Dar as-Sa’âdah karya Ibnul Qayyim sebanyak tiga jilid,

- Ighâtsah al-Lahafân fî Mashâyid asy-Syaithân karya Ibnul Qayyim dalam dua jilid,

- At-Ta’lîqât ar-Radhiyyah ‘alâ ar-Raudhah an-Nadiyyah karya al-Albani dalam tiga jilid,

- Al-Bâ’its al-Hatsîts karya Ibnu Katsir sebanyak dua jilid,

- Al-Hittah fî Dzikr ash-Shihâh as-Sittah karya Shiddiq Hasan Khan sebanyak satu jilid,

- Ad-Dâ’ wa ad-Dawâ’ karya Ibnul Qayyim sebanyak satu jilid,

- Al-Mutawârî ‘alâ Abwâb al-Bukhâri karya Ibnul Munayyir satu jilid, dll.


Sebagian kitab dan karangan Syaikh Ali al-Halabi telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, diantaranya ke dalam bahasa Ingris, Perancia, Ordo, Indonesia, Adzarbaijan, dan bahasa Kosovo.

Beliau senantiasa memohon pertolongan kepada Allah, bertawakal hanya kepada-Nya, tekun di atas ilmu, dalam menuntut ilmu dan mengajarkannya. Juga dalam menulis dan meneliti kitab-kitab, berdakwah kepada Allah semata seraya memohon kepada Rabb-Nya ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih, keikhlasan, ketegaran, dan hushul khâtimah (kesudahan yang baik).

Syaikh Ali & Syair


Bak Imam asy-Syafi’i, Ibnul Qayyim dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v, Syaikh Ali juga sangat cinta dan hobi menyusun syair. Terbukti dari beberapa karya yang ia lontarkan hampir pada setiap Dauroh Syari’yyah Manhajiyyah yang secara rutin setiap tahun -walhamdulillâh- dilaksanakan oleh Ma’had Ali bin Abi Thalib[2]. Selain dari beberapa syair yang ia sampaikan pada penutupan dauroh tersebut, jauh sebelumnya Syaikh juga pernah menyusun beberapa bait syair ritsâ`[3] tatkala guru tercintanya, Syaikh al-Albani v, meninggal dunia[4]. Semoga Allah senantiasa membuka hati Syaikh untuk mendapatkan ide-ide cemerlang, kata-kata bijak, dan pemikiran-pemikiran apik dalam rangka memberikan sumbangsih kepada agama ini lewat bait-bait syair yang ia susun.


Berikut, kami akan sisipkan cupikan beberapa bait syair karya murni Beliau, pada beberapa tema.

Syair Nasehat

Syair ini Beliau sampaikan pada penutupan Dauroh ke VIII di Trawas 1428 H. Jumlah keseluruhan syair ini adalah empat belas bait. Diantara kutipannya:


اِلْزَمْ أُخَيَّ لِنَهْجِ أَسْـلاَفٍ مَضَوْا اِنْفِذْ طَرِيْقَ الحَقِّ أَنْتَ غََرِيْــبُ

وَعَلَيْكَ بِالْعِلْمِ الشَّرِيْفِ سَـلاَمَةً فَـالجَهْلُ دَاءٌ وَ العَلِيْمُ طَبِــيْبُ

Wahai saudaraku, genggamlah erat manhaj salaf umat ini

Laksanakan jalan kebenaran, engkau kan semakin asing

Wajib oleh kalian menuntut ilmu mulia demi keselamatan

Sebab bodoh adalah racun dan ulama adalah dokter kesembuhan

Beliau juga berkata:


وَ انْظُرْ أُخَيَّ إِلَى الحَيَاةِ بِبَسْـمَةٍ لاَ لَسْتُ أَرْضَاكَ بِـذَاكَ كَئِيْـبُ

وَدَعِ التَّهَاجُرَ وَ التَّخَاصُمَ إِنَّـهُ بَابٌ إِلَى كَسْرِ القُلُوْبِ رَهِيْــبُ

Wahai saudaraku, sambutlah hidup ini dengan senyuman

Tidak, aku tidak rela engkau terjerumus dalam penderitaan

Tinggalkan sikap saling tidak tegur sapa dan bermusuhan

Sebab itu adalah pintu penghancur hati yang menakutkan

Syair Pembelaan

Maksudnya, pembelaan terhadap Rasulullah n tatkala dicela oleh orang kafir Denmark –semoga Allah melaknatnya-. Jumlah total syair ini ada dua puluh empat bait[5]. Namun, kami akan menyebutkan beberapa bait sebagai cuplikan dari syair tersebut. Beliau berkata:

مَاذَا نَرَى (دِنْمَرْكُ) فِي رَسَّامِكُمْ إِلاَّ خَبِيْـثاً مَارِقاً يَتَجَلْـمَدُ ؟ !
قَالُوْا: الفُنُوْنُ؛ فَمَاالفُنُوْنُ وَحَالُهُمْ إِلاَّ كَمَنْ لَقِيَ الحَقِيْقَةَ يَجْحَدُ ! !
أَمَّا التَحَرُّرُ –زَاعِـمِيْنَ لِفِعْلِهِمْ- فَهُوَ التَّحَرُّرُ كَاذِبٌ وَ مُعَانِــدُ

Apa yang kami lihat, wahai Denmark, pada gambar karikaturmu

Hanyalah tindakan buruk, jauh dari agama yang kian membatu

Mereka berseru, “Inilah Seni”, sedang seni dan kondisi mereka

Tidak lain bagaikan penolak kebenaran lagi ingkar hatinya

Adapun alasan “Kebebasan Berbicara” yang mereka gemborkan

Maka itu adalah kebebasan penuh dusta yang berisi penentangan

Syair Sifat & Pujian

Pada syair yang sama, Syaikh Ali juga menyebutkan beberapa karateristik yang dimiliki oleh Nabi Muhammad n. Syaikh berkata seraya menyebutkan beberapa sifat Beliau n:


صَلَّـى عَلَيْـهِ اللّهُ في قُرْآنِـهِ فَثَنَــاؤُهُ بِصَلاتَِهِ يَتَجَــدَّدُ

مَـَلأَ العَوَالِمَ ( أَمْنُهُ إِيْمَـانُهُ ) هٰذَا (السَّـلاَمُ) بِنَهْجِهِ يَتَأَكَّـدُ
هٰذَا الَّذِيْ وَسِعَ البَرَايَا رَحْـمَةً هٰذَا الرَّؤُوْفُ هُوَالرَّحِيْمُ الأَرْشَدُ

Allah Ta’ala bersholawat kepadanya dalam al-Quran

Sanjungan dan sholawat-Nya kepada Beliau ditujukan

Keamanan dan keimanan memenuhi alam semesta

Keselamatan kian pasti dengan mengikuti manhajnya

Dialah Nabi pembawa rahmat bagi alam semesta

Yang amat belas kasih, penyayang dan lurus jalannya

Kata penutup


Inilah biografi singkat dari seorang Da’i besar, ‘Alim, al-’Allâmah, Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari حفظه الله. Semoga Allah memberikan manfaat kepada kaum muslimin yang membacanya. Amin.
Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 41 hal. 44-50

[1] Kutipan kata Syaikh Ali Hasan al-Halabi. Lihat kitab Mawârid al-Amân al-Muntaqâ min Ighâtsah al-Lahafân fî Mashâyid asy-Syaithân, hlm 8.

[2] Yang sebelumnya bernama Ma’had Ali al-Irsyad as-Salafi Surabaya.

[3] Syair duka cita yang ditujukan kepada orang tertentu tatkala wafatnya.

[4] Buku kecil yang berisi bait-bait syair tentang Syaikh al-Albani v tersebut beliau beri judul al-Manzhûmah an-Nûniyyah. Ringkasnya, buku tersebut mencakup bait-bait syair tentang kehidupan Syaikh al-Albani v, dimulai dari kelahiran hingga setelah wafatnya beliau. Disertai juga dengan penyebutan karya-karya dan murid-murid beliau, serta sanjungan ulama dunia terhadap keilmuan Syaikh al-Albani. Semua itu Syaikh Ali Hasan utarakan dalam bentuk bait syair dengan jumlah lima puluh halaman. Buku ini dicetak tanpa disebutkan nama penerbit dan tahun penerbitannya.

[5] Syair tersebut beliau susun di waktu ashar hari Jum’at 22 Shafar 1429 H.