Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu wa ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.
Di tengah masyarakat muslim di negeri ini, sudah sangat ma’ruf perihal melafazhkan niat. Inilah ajaran yang sudah turun temurun diajarkan dan mendarah daging di tubuh umat. Silakan saja kita menoleh pada keseharian ibadah shalat, ada niat yang dilafazhkan semacam “usholli fardhu shubhi ...”. Begitu pula halnya dalam hal ibadah puasa, ada niat yang dilafazhkan semacam “nawaitu shouma ghodin”. Namun sudahkah kita meninjau kembali tentang ajaran dari pak kyai atau pak ustadz ini? Seperti inikah yang diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal dalam setiap ibadah selain ikhlas lillahi Ta’ala, kita pun harus senantiasa mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Risalah singkat ini mudah-mudahan dapat membuka pikiran para pembaca sekalian, apakah sudah benar praktek-praktek ibadah yang dilakukan selama ini. Semoga Allah memberi taufik.
Memang Niat Syarat Diterimanya Ibadah
Niat merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.”[1]
Selanjutnya kita akan melihat penjelasan Ibnu Taimiyah mengenai niat. Sengaja penulis bagi bertahap dalam beberapa point.
Kata Sepakat Ulama, Niat Cukup dalam Hati
Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya mengenai niat di awal berbagai ibadah seperti ketika mengawali shalat dan ibadah lainnya. Apakah niat ketika itu harus diucapkan di lisan semisal dengan ucapan “nawaitu ashumu” (saya berniat untuk puasa), atau “usholli” (saya berniat untuk shalat)? Apakah seperti itu wajib dilakukan?
Beliau rahimahullah menjawab, “Segala puji bagi Allah. Niat thoharoh (bersuci) seperti akan berwudhu, mandi, tayamum, niat shalat, puasa, haji dan zakat, menunaikan kafaroh, serta berbagai ibadah lainnya, niat tersebut tidak perlu dilafazhkan. Bahkan yang benar, letak niat adalah di hati dan bukan di lisan, inilah yang disepakati para ulama. Seandainya seseorang salah mengucapkan niat lewat lisannya, lalu berbeda dengan apa yang ada di hatinya, maka yang jadi patokan adalah apa yang ada di hatinya, bukan apa yang ia ucapkan (lafazhkan).
Kekeliruan Sebagian Ulama Syafi’iyah Tentang Anjuran Melafazhkan Niat
Tentang masalah niat letaknya di hati sebenarnya tidak ada beda pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Namun yang aneh adalah sebagian ulama Syafi’iyah belakangan –semoga Allah merahmati mereka-. Mereka mengeluarkan pendapat yang keliru. Kekeliruan mereka ini disebabkan perkataan Imam Syafi’i, “Shalat harus ada pelafalan di awalnya”. Maksud Imam Syafi’i di sini adalah takbir, artinya takbir itu wajib di awal shalat. Namun sebagian ulama Syafi’iyah salah paham. Mereka sangka bahwa yang dimaksud Imam Syafi’i adalah melafazhkan niat. Jadilah mereka keliru dalam hal ini.
Melafazhkan Niat antara Lirih dan Dikeraskan
Para ulama berselisih pendapat, apakah disunnahkan melafazhkan niat dengan suara lirih ataukah dikeraskan. Ada dua pendapat dalam masalah ini di kalangan ahli fiqih. Sekelompok pengikut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat disunnahkannya melafazhkan niat, tujuannya adalah untuk menguatkan maksud.
Sedangkan ulama lainnya, yaitu sekelompok pengikut Imam Malik, Imam Ahmad dan selainnya menyatakan tidak disunnahkan melafazhkan niat. Alasannya, karena hal itu termasuk perkara yang tidak ada landasannya. Melafazhkan niat sama sekali tidak ada dasarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak ada contohnhya dari para sahabat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak memerintahkan kepada salah seorang dari umatnya untuk melafazhkan niat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengajarkannya kepada salah seorang dari kaum muslimin. Seandainya melafazhkan niat memang sudah dikenal di masa kenabian dan disyari’atkan, tentu akan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, karena umat ketika itu melakukan ibadah siang dan malam. Pendapat yang menyatakan melafazhkan niat itu tidak ada tuntunannya, itulah pendapat yang lebih kuat.
Keanehan Anjuran Melafazhkan Niat
Bahkan melafazhkan niat sungguh menunjukkan dangkalnya akal dan agama seseorang. Dari sisi agama, melafazhkan niat adalah suatu ajaran yang tidak ada tuntunannya. Dari sisi akal sehat, contoh melafazhkan niat sebagaimana halnya orang yang hendak makan. Lantas ia berniat, “Saya berniat untuk meletakkan tanganku di piring ini ....[2]” Maka ini semisal dengan ucapan orang melafazhkan niat, “Aku berniat shalat wajib pada saat ini sebanyak empat raka’at secara berjama’ah dikerjakan tepat waktu karena Allah Ta’ala.” Kerjaan seperti melafazhkan niat ketika makan, tentu saja kerjaan orang bodoh dan jahil. Yang namanya niat adalah sampainya ilmu, artinya jika sampai ilmu untuk melakukan sesuatu, maka berarti telah niat secara pasti. Jika seseorang ingin mengerjakan sesuatu, maka secara logika tidak mungkin ia melakukannya tanpa niat. Begitu pula tidak mungkin seseorang yang tidak punya kehendak apa-apa dikatakan telah berniat.
Melafazhkan Niat dengan Dikeraskan
Adapun mengenai melafazhkan niat dengan dikeraskan, sampai berulang kali, maka ini sungguh tidak dianjurkan berdasarkan kesepakatan ulama. Orang yang terbiasa mengeraskan lafazh niatnya, maka pantas ia mendapatkan hukuman agar ia tidak terjerumus lagi dalam amalan keliru yang tanpa tuntunan, agar ia pun tidak menyakiti orang lain. Dalam hadits pun telah disebutkan,
أَيُّهَا النَّاسُ كُلُّكُمْ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلَا يَجْهَرَنَّ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقِرَاءَةِ
“Wahai sekalian manusia, kalian sungguh sedang bermunajat dengan Rabbnya. Oleh karenanya, janganlah sebagian kalian mengeraskan qiroah (bacaan al Qur’an) kalian di sisi yang lain.”
Bagaimana bisa dibenarkan jika seseorang memberikan was-was pada orang lain dengan lafazh niatnya, padahal itu tidak termasuk qiro’ah (bacaan al Qur’an)?
Bahkan kami katakan bahwa melafazhkan niat seperti mengatakan, “Aku berniat melakukan shalat demikian dan demikian, pada waktu ini dan itu”, ini adalah amalan yang tidak dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian penjelasan dari Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa yang sengaja penulis bagi dalam point demi point demi memudahkan pembaca.[3]
Bukti dari Ulama Syafi’iyah
Setelah kami buktikan lewat uraian dari Ibnu Taimiyah di atas, kami pun selanjutnya membuktikan dengan perkataan ulama lainnya. Kami akan membawakan perkataan dua ulama besar Syafi’iyah tentang masalah ini. Sungguh aneh jika kita perhatikan dengan seksama praktek pengikut Syafi’iyah saat ini dengan imam mereka.
Ulama pertama, Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah yang masyhur dengan sebutan Imam Nawawi pernah mengatakan dalam salah satu kitabnya,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”[4] Coba perhatikan baik-baik apa yang beliau utarakan. Letak niat di dalam hati dan tidak perlu dilafazhkan di lisan.
Ulama Syafi’iyah lainnya yang berbicara tentang niat yaitu Asy Syarbini rahimahullah. Beliau mengatakan,
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا ، وَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا كَمَا قَالَهُ فِي الرَّوْضَةِ
“Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidak disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”[5]
Dikuatkan dengan Ucapan Ibnu Taimiyah
Kedua pendapat ulama Syafi’iyah semakin dikuatkan dengan perkataan Ibnu Taimiyah. Beliau rahimahullah mengatakan,
وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ
“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”[6]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”[7]
Renungan
Renungkanlah Saudaraku...
Setelah pembaca sekalian membaca sendiri dengan seksama, apa yang bisa pembaca sekalian simpulkan? Coba bandingkan manakah yang jadi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang bukan? Apakah benar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan melafazhkan niat? Kalau iya, tentu saja beliau akan mengajarkan pada para sahabat dan itu pun sampai kepada kita sebagaimana diberitakan dalam hadits. Namun tidak pernah kita saksikan orang yang menganjurkan melafazhkan niat “usholli fardhu ...”, “nawaitu wudhua ...”, atau “nawaitu shouma ghodin ...”, membuktikan bahwa amalan tersebut berdasarkan hadits Bukhari, Muslim dan lain sebagainya. Lantas pantaskah ibadah dibuat-buat tanpa ada dasar? Ataukah seharusnya kita ikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja?
Sungguh sederhana dalam petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih baik daripada berlebih-lebihan namun dalam amalan yang tanpa tuntunan. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sederhana memerintahkan berniat cukup dalam hati, tanpa perlu menghafal berbagai lafazh niat untuk diucapkan.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, janganlah membuat amalan yang tanpa tuntunan. Karena petunjuk beliau sudah cukup bagi kalian. Semua amalan tanpa tuntunan adalah sesat.”[8]
Silakan pembaca merenungkan sendiri, manakah yang benar, perlukah melafazhkan niat ataukah tidak? Namun tentu saja itu berdasarkan ilmu dan bukan sekedar menurut hawa nafsu semata atau manut pada apa kata pak kyai semata.
Wallahu A'lam..
diambil dari www.Rumaysho.com
Rabu, 28 Juli 2010
Kan Kucintakan Engkau dengan Lelaki Penuh Pesona Itu
Kan Kucintakan Engkau dengan Lelaki Penuh Pesona Itu
Inginku mengajak Anda memperkenalkan seorang laki-laki yang didamba surga. Dialah laki-laki yang ditinggalkan orang tuanya semenjak balita. Dialah lelaki padang pasir yang memiliki keistimewaan dan kesempurnaan yang sulit kutorehkan dengan kata-kata. Namun begitu, kuusahakan untaian kata-kataku ini mewakili ucapan-ucapan mereka yang pernah melihatnya, bersamanya dalam suka dan duka, mendengar tutur katanya sekaligus menyaksikan sosoknya yang begitu berbekas dalam jiwa.
Duh, tak sabar lagi pena ini menari untuk kawan dan memang untuk kawanlah kupersembahkan tentangnya..
Binar Indah Matanya
Lebar dan hitam kedua matanya nan berkelopak panjang. Bulu matanya amat letik menawan. Alisnya melengkung rapi bak bulan sabit dan bersambung.
Tampan Wajahnya nan Rupawan
Sekiranya lelaki ini hidup saat ini maka para wanita akan tergila-gila dengan elok rupanya. Mereka akan terpesona. Bagaimana tidak, kawan? Wajahnya begitu tampan, cerah nian seolah-olah di mukanya lah lintasan peredaran mentari. Manis pula dipandang. Ketika ia bergembira maka bercahayalah rona wajahnya nan mempesona. Rekan-rekannya mengibaratkan wajah lelaki itu dengan potongan rembulan saat purnama menjelang yang mengikis gelapnya malam.
Subhanallah, sungguh elok rupanya bak terbitnya mentari di ufuk timur. Ketika lelaki itu marah, mukanya akan memerah seakan-akan ada biji buah delima.
Duhai kawanku, kerabatku, saudaraku, saudariku …
aku tidaklah mengada-ada bertutur karena begitulah rekan-rekannya berucap.
Salah satu rekannya berkata,”Jika aku melihatnya seakan-akan aku melihat matahari yang sedang terbit.”
Kawannya yang lain bertutur,”Apabila dia bergembira, wajahnya bercahaya sehingga terlihat seperti potongan rembulan.”
Wanita muda yang menjadi salah satu belahan jiwanya pernah berkata, ”Jika aku melihat keringat yang ada (menetes) di wajahnya, ia (begitu) bersinar bagai kilat yang melintas.”
Pernah suatu ketika ada orang yang melihatnya di suatu malam yang cerah kemudian orang tersebut berkata sambil tertegun, ”Aku memandangnya, kemudian kupandang rembulan, dia memakai baju merah, ternyata dia lebih indah dari rembulan.”
Subhanallah kawan ... tidakkah engkau jatuh hati?
Keringatnya pun Harum Semerbak
Memang demikian adanya. Keringatnya yang membasahi tubuhnya begitu wangi mengalahkan harumnya wewangian. Orang-orang akan mengetahui bahwa dia melewati suatu jalan karena harum tubuhnya yang tersiar.
Seorang temannya berkata, ”(Butiran-butiran) keringatnya merupakan minyak wangi yang paling harum"
Rekan wanitanya berucap pula, ”Keringatnya lebih harum dari minyak wangi"
Rekan yang lain bertutur, ”Aku pernah menggapai tangannya kemudian kuletakkan diwajahku, ternyata tangannya lebih sejuk dari embun dan aromanya lebih wangi dari misik.”
Mereka Begitu Cinta dengan Sosoknya
Kawanku yang kucinta...
Orang-orang yang bergaul dengannya begitu mencintainya sampai pada batas hayam (tergila-gila). Mereka mencintainya karena kesempurnaannya yang menjadi idaman dan sosoknya yang menenteramkan jiwa bagi yang memandang. Mereka mati-matian untuk mengerumuninya dan mengagungkannya.
Lihatlah kawan, mereka mampu menceritakan secara detail tentang lelaki itu. Tentang putih kulitnya, renggang gigi depannya, wajahnya yang seputih pedang yang tajam, tulang persendiannya yang besar, indah nan serasi betisnya, lembut nan halus bulu dadanya dan hal-hal lainnya yang menggambarkan secara utuh sosok lelaki itu. Itulah salah satu tanda cinta mereka yaitu mengetahui segalanya tentang figur yang dicinta.
Nyawapun Mereka Pertaruhkan untuk Lelaki Itu
Tidakkah engkau tahu bahwa nyawa pun mereka taruhkan demi lelaki itu? Marilah sejenak bersamaku melihat buktinya.
Ada dua anak kecil yang sangat mencintai lelaki itu. Ketika keduanya mendengar kabar kepastian bahwa lelaki itu dicela maka keduanya bertekad membunuh si pencela. Iya kawan, membunuh si pencela.
Anak kecil pertama berkata dengan penuh ketegasan dan jiwa kesatria, ”. . . Demi Allah jika aku bertemu dengannya (si pencela), niscaya aku dan dia (si pencela) tidak akan berpisah sampai salah satu di antara kami terbunuh.”
Anak kedua pun berkata demikian. Kemudian ketika keduanya bertemu dengan si pencela lelaki itu, segera pedang-pedang terhunus dan larut dalam pertarungan, mereka pun berhasil membunuh si pencela.
Subhanallah, alangkah besarnya kekuatan cinta yang tertancap dalam sanubari kedua anak itu. Cinta mampu menghunus tajamnya pedang hingga mengalirkan darah di kancah peperangan.
Tahukah Kawan Siapakah Lelaki Itu?
Dialah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang begitu sempurna perawakannya, yang begitu cinta kepada kita sebagai umatnya, yang tak ingin umatnya terjerumus dalam kubangan neraka, yang telah mengajarkan kita agama Tuhannya, yang dinantikan surga, yang menjadi teladan seluruh umat hingga akhir zaman, yang, yang, yang, yang, ….
Duhai kawan di manakah cinta kita teruntuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibanding pesona cinta beliau kepada kita?
Di manakah cinta kita teruntuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibanding gelora cinta para sahabat teruntuk beliau?
Cobalah kita tengok gelora cinta dua anak kecil dari kaum anshar yang kututurkan di atas. Keduanya bertaruh nyawa untuk membunuh Abu Jahl yang telah mencaci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kekuatan cintanya mampu mengeluarkan pedang dari sarungnya hingga berhenti setelah darah tertumpah.
Bagaimana dengan kita????
Jangan biarkan cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertepuk sebelah tangan, kawan.
Cintanya itu dibuktikan dengan selalu mengikuti petunjuknya. Buktikanlah ...
********
Catatan penulis:
Para sahabat yang kukutip ucapannya di atas yang menceritakan gambaran fisik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Samurah, ar-Rabi binti Mu’adz, Ummul Mukminin ‘Aisyah, Ka’ab bin Malik, sahabat Anas, dll.
Ide tulisan di atas berkenaan dengan materi khutbah jum’at yang begitu mengharukan di Islamic Centre Mataram dengan tema Mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sumber tulisan:
1. Kitab ar-Rahiq al-Makhtum (edisi terjemahan) karya syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri
2. Majalah al-Furqon
Sekian, semoga bermanfaat..
_.Jum’at sore kala mendung menyelimuti kota mataram, Lombok._
Penulis: Fachrian Almer Akira
(Yani Fachriansyah Muhammad A-samawiy)
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
Inginku mengajak Anda memperkenalkan seorang laki-laki yang didamba surga. Dialah laki-laki yang ditinggalkan orang tuanya semenjak balita. Dialah lelaki padang pasir yang memiliki keistimewaan dan kesempurnaan yang sulit kutorehkan dengan kata-kata. Namun begitu, kuusahakan untaian kata-kataku ini mewakili ucapan-ucapan mereka yang pernah melihatnya, bersamanya dalam suka dan duka, mendengar tutur katanya sekaligus menyaksikan sosoknya yang begitu berbekas dalam jiwa.
Duh, tak sabar lagi pena ini menari untuk kawan dan memang untuk kawanlah kupersembahkan tentangnya..
Binar Indah Matanya
Lebar dan hitam kedua matanya nan berkelopak panjang. Bulu matanya amat letik menawan. Alisnya melengkung rapi bak bulan sabit dan bersambung.
Tampan Wajahnya nan Rupawan
Sekiranya lelaki ini hidup saat ini maka para wanita akan tergila-gila dengan elok rupanya. Mereka akan terpesona. Bagaimana tidak, kawan? Wajahnya begitu tampan, cerah nian seolah-olah di mukanya lah lintasan peredaran mentari. Manis pula dipandang. Ketika ia bergembira maka bercahayalah rona wajahnya nan mempesona. Rekan-rekannya mengibaratkan wajah lelaki itu dengan potongan rembulan saat purnama menjelang yang mengikis gelapnya malam.
Subhanallah, sungguh elok rupanya bak terbitnya mentari di ufuk timur. Ketika lelaki itu marah, mukanya akan memerah seakan-akan ada biji buah delima.
Duhai kawanku, kerabatku, saudaraku, saudariku …
aku tidaklah mengada-ada bertutur karena begitulah rekan-rekannya berucap.
Salah satu rekannya berkata,”Jika aku melihatnya seakan-akan aku melihat matahari yang sedang terbit.”
Kawannya yang lain bertutur,”Apabila dia bergembira, wajahnya bercahaya sehingga terlihat seperti potongan rembulan.”
Wanita muda yang menjadi salah satu belahan jiwanya pernah berkata, ”Jika aku melihat keringat yang ada (menetes) di wajahnya, ia (begitu) bersinar bagai kilat yang melintas.”
Pernah suatu ketika ada orang yang melihatnya di suatu malam yang cerah kemudian orang tersebut berkata sambil tertegun, ”Aku memandangnya, kemudian kupandang rembulan, dia memakai baju merah, ternyata dia lebih indah dari rembulan.”
Subhanallah kawan ... tidakkah engkau jatuh hati?
Keringatnya pun Harum Semerbak
Memang demikian adanya. Keringatnya yang membasahi tubuhnya begitu wangi mengalahkan harumnya wewangian. Orang-orang akan mengetahui bahwa dia melewati suatu jalan karena harum tubuhnya yang tersiar.
Seorang temannya berkata, ”(Butiran-butiran) keringatnya merupakan minyak wangi yang paling harum"
Rekan wanitanya berucap pula, ”Keringatnya lebih harum dari minyak wangi"
Rekan yang lain bertutur, ”Aku pernah menggapai tangannya kemudian kuletakkan diwajahku, ternyata tangannya lebih sejuk dari embun dan aromanya lebih wangi dari misik.”
Mereka Begitu Cinta dengan Sosoknya
Kawanku yang kucinta...
Orang-orang yang bergaul dengannya begitu mencintainya sampai pada batas hayam (tergila-gila). Mereka mencintainya karena kesempurnaannya yang menjadi idaman dan sosoknya yang menenteramkan jiwa bagi yang memandang. Mereka mati-matian untuk mengerumuninya dan mengagungkannya.
Lihatlah kawan, mereka mampu menceritakan secara detail tentang lelaki itu. Tentang putih kulitnya, renggang gigi depannya, wajahnya yang seputih pedang yang tajam, tulang persendiannya yang besar, indah nan serasi betisnya, lembut nan halus bulu dadanya dan hal-hal lainnya yang menggambarkan secara utuh sosok lelaki itu. Itulah salah satu tanda cinta mereka yaitu mengetahui segalanya tentang figur yang dicinta.
Nyawapun Mereka Pertaruhkan untuk Lelaki Itu
Tidakkah engkau tahu bahwa nyawa pun mereka taruhkan demi lelaki itu? Marilah sejenak bersamaku melihat buktinya.
Ada dua anak kecil yang sangat mencintai lelaki itu. Ketika keduanya mendengar kabar kepastian bahwa lelaki itu dicela maka keduanya bertekad membunuh si pencela. Iya kawan, membunuh si pencela.
Anak kecil pertama berkata dengan penuh ketegasan dan jiwa kesatria, ”. . . Demi Allah jika aku bertemu dengannya (si pencela), niscaya aku dan dia (si pencela) tidak akan berpisah sampai salah satu di antara kami terbunuh.”
Anak kedua pun berkata demikian. Kemudian ketika keduanya bertemu dengan si pencela lelaki itu, segera pedang-pedang terhunus dan larut dalam pertarungan, mereka pun berhasil membunuh si pencela.
Subhanallah, alangkah besarnya kekuatan cinta yang tertancap dalam sanubari kedua anak itu. Cinta mampu menghunus tajamnya pedang hingga mengalirkan darah di kancah peperangan.
Tahukah Kawan Siapakah Lelaki Itu?
Dialah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang begitu sempurna perawakannya, yang begitu cinta kepada kita sebagai umatnya, yang tak ingin umatnya terjerumus dalam kubangan neraka, yang telah mengajarkan kita agama Tuhannya, yang dinantikan surga, yang menjadi teladan seluruh umat hingga akhir zaman, yang, yang, yang, yang, ….
Duhai kawan di manakah cinta kita teruntuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibanding pesona cinta beliau kepada kita?
Di manakah cinta kita teruntuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dibanding gelora cinta para sahabat teruntuk beliau?
Cobalah kita tengok gelora cinta dua anak kecil dari kaum anshar yang kututurkan di atas. Keduanya bertaruh nyawa untuk membunuh Abu Jahl yang telah mencaci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kekuatan cintanya mampu mengeluarkan pedang dari sarungnya hingga berhenti setelah darah tertumpah.
Bagaimana dengan kita????
Jangan biarkan cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertepuk sebelah tangan, kawan.
Cintanya itu dibuktikan dengan selalu mengikuti petunjuknya. Buktikanlah ...
********
Catatan penulis:
Para sahabat yang kukutip ucapannya di atas yang menceritakan gambaran fisik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Ali bin Abi Thalib, Jabir bin Samurah, ar-Rabi binti Mu’adz, Ummul Mukminin ‘Aisyah, Ka’ab bin Malik, sahabat Anas, dll.
Ide tulisan di atas berkenaan dengan materi khutbah jum’at yang begitu mengharukan di Islamic Centre Mataram dengan tema Mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sumber tulisan:
1. Kitab ar-Rahiq al-Makhtum (edisi terjemahan) karya syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri
2. Majalah al-Furqon
Sekian, semoga bermanfaat..
_.Jum’at sore kala mendung menyelimuti kota mataram, Lombok._
Penulis: Fachrian Almer Akira
(Yani Fachriansyah Muhammad A-samawiy)
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
Senin, 26 Juli 2010
Setiap Ujian Sebanding dengan Kualitas Iman kita...
Siapakah yang akan mendapatkan ujian terberat ...
Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَاِذَا عَظُمَت المِحْنَةُ كَانَ ذَلِكَ لِلْمُؤْمِنِ الصَّالِحِ سَبَبًا لِعُلُوِّ الدَرَجَةِ وَعَظِيْمِ الاَجْرِ
“Cobaan yang semakin berat akan senantiasa menimpa seorang mukmin yang sholih untuk meninggikan derajatnya dan agar ia semakin mendapatkan ganjaran yang besar.”[2]
Syaikhul Islam juga mengatakan,
واللهُ تَعَالَى قَدْ جَعَلَ أَكْمَلَ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَعْظَمُهُمْ بَلاَءً
“Allah akan memberikan cobaan terberat bagi setiap orang mukmin yang sempurna imannya.”[3]
Al Munawi mengatakan, “Jika seorang mukmin diberi cobaan maka itu sesuai dengan ketaatan, keikhlasan, dan keimanan dalam hatinya.”[4]
Al Munawi mengatakan pula, “Barangsiapa yang menyangka bahwa apabila seorang hamba ditimpa ujian yang berat, itu adalah suatu kehinaan; maka sungguh akalnya telah hilang dan hatinya telah buta. Betapa banyak orang sholih (ulama besar) yang mendapatkan berbagai ujian yang menyulitkan. Tidakkah kita melihat mengenai kisah disembelihnya Nabi Allah Yahya bin Zakariya, terbunuhnya tiga Khulafa’ur Rosyidin, terbunuhnya Al Husain, Ibnu Zubair dan Ibnu Jabir. Begitu juga tidakkah kita perhatikan kisah Abu Hanifah yang dipenjara sehingga mati di dalam buih, Imam Malik yang dibuat telanjang kemudian dicambuk dan tangannya ditarik sehingga lepaslah bahunya, begitu juga kisah Imam Ahmad yang disiksa hingga pingsan dan kulitnya disayat dalam keadaan hidup. … Dan masih banyak kisah lainnya.”[5]
Semakin kuat iman, semakin berat cobaan, namun semakin Allah cinta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya balasan terbesar dari ujian yang berat. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa ridho, maka Allah pun ridho. Dan barangsiapa murka (tidak suka pada cobaan tersebut, pen), maka baginya murka Allah.”[6]
Kewajiban kita adalah bersabar dan bersabar. Ganjaran bersabar sangat luar biasa. Ingatlah janji Allah,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga).” (QS. Az Zumar: 10). Al Auza’i mengatakan bahwa ganjarannya tidak bisa ditakar dan ditimbang. Ibnu Juraij mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar pahala bagi mereka tidak bisa dihitung sama sekali, akan tetapi akan diberi tambahan dari itu. Maksudnya, pahala mereka tak terhingga. Sedangkan As Sudi mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar adalah surga.[7]
Makna asal dari sabar adalah “menahan”. Secara syar’i, pengertian sabar sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim,
فَالصَّبْرُ حَبْسُ النَّفْسِ عَنِ الجَزْعِ وَاللَِّسَانِ عَنِ التَّشَكِّي، وَالجَوَارِحِ عَنْ لَطْمِ الخُدُوْد وَشَقِّ الثِيَابِ وَنَحْوِهِمَا
“Sabar adalah menahan diri dari menggerutu, menahan lisan dari mengeluh, dan menahan anggota badan dari menampar pipi, merobek-robek baju dan perbuatan tidak sabar selain keduanya.”[8] Jadi, sabar meliputi menahan hati, lisan dan anggota badan.
Semoga Allah memberi taufik dan kekuatan kepada kita dalam menghadapi setiap ujian.
Artikel http://rumaysho.com
[1] HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185). Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[2] Al Istiqomah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 2/260, Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud, cetakan pertama, 1403 H.
[3] Qo’idah fil Mahabbah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 150, Maktabah At Turots Al Islamiy.
[4] Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, ‘Abdur Ro-uf Al Munawi, 1/73, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, cetakan pertama, tahun 1356 H.
[5] Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, ‘Abdur Ro-uf Al Munawi, 1/158, Asy Syamilah
[6] HR. Tirmidzi no. 2396, dari Anas bin Malik. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[7] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/89, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[8] ‘Iddatush Shobirin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 7, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً
“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” [1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَاِذَا عَظُمَت المِحْنَةُ كَانَ ذَلِكَ لِلْمُؤْمِنِ الصَّالِحِ سَبَبًا لِعُلُوِّ الدَرَجَةِ وَعَظِيْمِ الاَجْرِ
“Cobaan yang semakin berat akan senantiasa menimpa seorang mukmin yang sholih untuk meninggikan derajatnya dan agar ia semakin mendapatkan ganjaran yang besar.”[2]
Syaikhul Islam juga mengatakan,
واللهُ تَعَالَى قَدْ جَعَلَ أَكْمَلَ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَعْظَمُهُمْ بَلاَءً
“Allah akan memberikan cobaan terberat bagi setiap orang mukmin yang sempurna imannya.”[3]
Al Munawi mengatakan, “Jika seorang mukmin diberi cobaan maka itu sesuai dengan ketaatan, keikhlasan, dan keimanan dalam hatinya.”[4]
Al Munawi mengatakan pula, “Barangsiapa yang menyangka bahwa apabila seorang hamba ditimpa ujian yang berat, itu adalah suatu kehinaan; maka sungguh akalnya telah hilang dan hatinya telah buta. Betapa banyak orang sholih (ulama besar) yang mendapatkan berbagai ujian yang menyulitkan. Tidakkah kita melihat mengenai kisah disembelihnya Nabi Allah Yahya bin Zakariya, terbunuhnya tiga Khulafa’ur Rosyidin, terbunuhnya Al Husain, Ibnu Zubair dan Ibnu Jabir. Begitu juga tidakkah kita perhatikan kisah Abu Hanifah yang dipenjara sehingga mati di dalam buih, Imam Malik yang dibuat telanjang kemudian dicambuk dan tangannya ditarik sehingga lepaslah bahunya, begitu juga kisah Imam Ahmad yang disiksa hingga pingsan dan kulitnya disayat dalam keadaan hidup. … Dan masih banyak kisah lainnya.”[5]
Semakin kuat iman, semakin berat cobaan, namun semakin Allah cinta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya balasan terbesar dari ujian yang berat. Jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan memberikan cobaan kepada mereka. Barangsiapa ridho, maka Allah pun ridho. Dan barangsiapa murka (tidak suka pada cobaan tersebut, pen), maka baginya murka Allah.”[6]
Kewajiban kita adalah bersabar dan bersabar. Ganjaran bersabar sangat luar biasa. Ingatlah janji Allah,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga).” (QS. Az Zumar: 10). Al Auza’i mengatakan bahwa ganjarannya tidak bisa ditakar dan ditimbang. Ibnu Juraij mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar pahala bagi mereka tidak bisa dihitung sama sekali, akan tetapi akan diberi tambahan dari itu. Maksudnya, pahala mereka tak terhingga. Sedangkan As Sudi mengatakan bahwa balasan bagi orang yang bersabar adalah surga.[7]
Makna asal dari sabar adalah “menahan”. Secara syar’i, pengertian sabar sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim,
فَالصَّبْرُ حَبْسُ النَّفْسِ عَنِ الجَزْعِ وَاللَِّسَانِ عَنِ التَّشَكِّي، وَالجَوَارِحِ عَنْ لَطْمِ الخُدُوْد وَشَقِّ الثِيَابِ وَنَحْوِهِمَا
“Sabar adalah menahan diri dari menggerutu, menahan lisan dari mengeluh, dan menahan anggota badan dari menampar pipi, merobek-robek baju dan perbuatan tidak sabar selain keduanya.”[8] Jadi, sabar meliputi menahan hati, lisan dan anggota badan.
Semoga Allah memberi taufik dan kekuatan kepada kita dalam menghadapi setiap ujian.
Artikel http://rumaysho.com
[1] HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185). Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[2] Al Istiqomah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 2/260, Jami’ah Al Imam Muhammad bin Su’ud, cetakan pertama, 1403 H.
[3] Qo’idah fil Mahabbah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 150, Maktabah At Turots Al Islamiy.
[4] Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, ‘Abdur Ro-uf Al Munawi, 1/73, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, cetakan pertama, tahun 1356 H.
[5] Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, ‘Abdur Ro-uf Al Munawi, 1/158, Asy Syamilah
[6] HR. Tirmidzi no. 2396, dari Anas bin Malik. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[7] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/89, Dar Thoyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.
[8] ‘Iddatush Shobirin, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 7, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
Inilah Anjuran-Anjuran Ibadah di Bulan Sya'ban
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, sebentar lagi kita akan menginjak tanggal 1 Sya’ban. Namun kadang kaum muslimin belum mengetahui amalan-amalan yang ada di bulan tersebut. Juga terkadang kaum muslimin melampaui batas dengan melakukan suatu amalan yang sebenarnya tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dalam tulisan yang singkat ini, Allah memudahkan kami untuk membahas serba-serbi bulan Sya’ban. Dan kami di website ini, akan membagi tulisan ini menjadi beberapa bagian.
Kami harapkan pembaca sekalian juga dapat membaca pula tulisan-tulisan selanjutnya dan silakan artikel ini didownload di sini.
Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolong dan mudahkanlah kami).
Keutamaan Bulan Sya’ban
Dari Usamah bin Zaid, beliau berkata, “Katakanlah wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa selama sebulan dari bulan-bulannya selain di bulan Sya’ban”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai dianjurkannya melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang dicintai di sisi Allah.” (Lathoif Al Ma’arif, 235)
Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban
Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)
Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)
Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan,
أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلاَّ شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)?
Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Author, 7/148). Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.
Lalu Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak puasa penuh di bulan Sya’ban?
An Nawawi rahimahullah menuturkan bahwa para ulama mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib. ”(Syarh Muslim, 4/161)
Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233)
Hikmah di Balik Puasa Sya’ban
1. Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa. Abu Sholeh mengatakan, “Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa setiap bulannya sebanyak tiga hari. Terkadang beliau menunda puasa tersebut hingga beliau mengumpulkannya pada bulan Sya’ban. Jadi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Sya’ban sedangkan di bulan-bulan sebelumnya beliau tidak melakukan beberapa puasa sunnah, maka beliau mengqodho’nya ketika itu. Sehingga puasa sunnah beliau menjadi sempurna sebelum memasuki bulan Ramadhan berikutnya.
3. Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita mengikuti suri tauladan kita untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Semoga dengan melakukan hal ini kita termasuk orang yang mendapat keutamaan yang disebutkan dalam hadits qudsi berikut.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506). Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya (terkabulnya) do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad)
Alhamdulillah, sebentar lagi kita akan menginjak tanggal 1 Sya’ban. Namun kadang kaum muslimin belum mengetahui amalan-amalan yang ada di bulan tersebut. Juga terkadang kaum muslimin melampaui batas dengan melakukan suatu amalan yang sebenarnya tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga dalam tulisan yang singkat ini, Allah memudahkan kami untuk membahas serba-serbi bulan Sya’ban. Dan kami di website ini, akan membagi tulisan ini menjadi beberapa bagian.
Kami harapkan pembaca sekalian juga dapat membaca pula tulisan-tulisan selanjutnya dan silakan artikel ini didownload di sini.
Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolong dan mudahkanlah kami).
Keutamaan Bulan Sya’ban
Dari Usamah bin Zaid, beliau berkata, “Katakanlah wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa selama sebulan dari bulan-bulannya selain di bulan Sya’ban”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Bulan Sya’ban adalah bulan di mana manusia mulai lalai yaitu di antara bulan Rajab dan Ramadhan. Bulan tersebut adalah bulan dinaikkannya berbagai amalan kepada Allah, Rabb semesta alam. Oleh karena itu, aku amatlah suka untuk berpuasa ketika amalanku dinaikkan.” (HR. An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits di atas terdapat dalil mengenai dianjurkannya melakukan amalan ketaatan di saat manusia lalai. Inilah amalan yang dicintai di sisi Allah.” (Lathoif Al Ma’arif, 235)
Banyak Berpuasa di Bulan Sya’ban
Terdapat suatu amalan yang dapat dilakukan di bulan ini yaitu amalan puasa. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri banyak berpuasa ketika bulan Sya’ban dibanding bulan-bulan lainnya selain puasa wajib di bulan Ramadhan.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يُفْطِرُ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لاَ يَصُومُ . فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِى شَعْبَانَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa, sampai kami katakan bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berbuka sampai kami katakan bahwa beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa secara sempurna sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan. Aku pun tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak daripada berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga mengatakan,
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156)
Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)
Dari Ummu Salamah, beliau mengatakan,
أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلاَّ شَعْبَانَ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setahun tidak berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Sya’ban, lalu dilanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Lalu apa yang dimaksud dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya (Kaana yashumu sya’ban kullahu)?
Asy Syaukani mengatakan, “Riwayat-riwayat ini bisa dikompromikan dengan kita katakan bahwa yang dimaksud dengan kata “kullu” (seluruhnya) di situ adalah kebanyakannya (mayoritasnya). Alasannya, sebagaimana dinukil oleh At Tirmidzi dari Ibnul Mubarrok. Beliau mengatakan bahwa boleh dalam bahasa Arab disebut berpuasa pada kebanyakan hari dalam satu bulan dengan dikatakan berpuasa pada seluruh bulan.” (Nailul Author, 7/148). Jadi, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di seluruh hari bulan Sya’ban adalah berpuasa di mayoritas harinya.
Lalu Kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak puasa penuh di bulan Sya’ban?
An Nawawi rahimahullah menuturkan bahwa para ulama mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib. ”(Syarh Muslim, 4/161)
Di antara rahasia kenapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban adalah karena puasa Sya’ban adalah ibarat ibadah rawatib (ibadah sunnah yang mengiringi ibadah wajib). Sebagaimana shalat rawatib adalah shalat yang memiliki keutamaan karena dia mengiringi shalat wajib, sebelum atau sesudahnya, demikianlah puasa Sya’ban. Karena puasa di bulan Sya’ban sangat dekat dengan puasa Ramadhan, maka puasa tersebut memiliki keutamaan. Dan puasa ini bisa menyempurnakan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, Ibnu Rajab, 233)
Hikmah di Balik Puasa Sya’ban
1. Bulan Sya’ban adalah bulan tempat manusia lalai. Karena mereka sudah terhanyut dengan istimewanya bulan Rajab (yang termasuk bulan Harom) dan juga menanti bulan sesudahnya yaitu bulan Ramadhan. Tatkalah manusia lalai, inilah keutamaan melakukan amalan puasa ketika itu. Sebagaimana seseorang yang berdzikir di tempat orang-orang yang begitu lalai dari mengingat Allah -seperti ketika di pasar-, maka dzikir ketika itu adalah amalan yang sangat istimewa. Abu Sholeh mengatakan, “Sesungguhnya Allah tertawa melihat orang yang masih sempat berdzikir di pasar. Kenapa demikian? Karena pasar adalah tempatnya orang-orang lalai dari mengingat Allah.”
2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa setiap bulannya sebanyak tiga hari. Terkadang beliau menunda puasa tersebut hingga beliau mengumpulkannya pada bulan Sya’ban. Jadi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki bulan Sya’ban sedangkan di bulan-bulan sebelumnya beliau tidak melakukan beberapa puasa sunnah, maka beliau mengqodho’nya ketika itu. Sehingga puasa sunnah beliau menjadi sempurna sebelum memasuki bulan Ramadhan berikutnya.
3. Puasa di bulan Sya’ban adalah sebagai latihan atau pemanasan sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jika seseorang sudah terbiasa berpuasa sebelum puasa Ramadhan, tentu dia akan lebih kuat dan lebih bersemangat untuk melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 234-243)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita mengikuti suri tauladan kita untuk memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Semoga dengan melakukan hal ini kita termasuk orang yang mendapat keutamaan yang disebutkan dalam hadits qudsi berikut.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506). Orang yang senantiasa melakukan amalan sunnah (mustahab) akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya (terkabulnya) do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad)
13 Teladan untuk kita dari Salafush Sholih..
Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Salafush Sholih (generasi terbaik dari umat Islam) bukan hanya mengajarkan prinsip dalam beraqidah saja, namun Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga bagaimanakah berakhlaq yang mulia.
Itulah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad 2/381, shahih)
Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a,
اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).
Maka sungguh sangat aneh jika ada yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah, namun jauh dari akhlaq yang mulia. Jika ia menyatakan dirinya mengikuti para salaf (generasi terbaik umat ini), tentu saja ia tidak boleh mengambil sebagian ajaran mereka saja. Akhlaqnya pun harus bersesuaian dengan para salaf. Namun saying seribu sayang, prinsip yang satu inilah yang jarang diperhatikan. Kadang yang menyatakan dirinya Ahlus Sunnah malah dikenal bengis, dikenal kasar, dikenal selalu bersikap keras. Sungguh klaim hanyalah sekedar klaim. Apa manfaatnya klaim jika tanpa bukti?
Di antara bukti pentingnya akhlaq di sisi para salaf –Ahlus Sunnah wal Jama’ah-, mereka menjadikan masalah akhlaq sebagai ushul (pokok) aqidah dan mereka memasukkannya dalam permasalahan aqidah. Di antara ajaran akhlaq tersebut adalah:
[Pertama: Selalu mengajak pada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar]
Ahlus Sunnah mengajak pada yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang dari kemungkaran. Mereka meyakini bahwa baiknya umat Islam adalah dengan tetap adanya ajaran amar ma’ruf yang barokah ini. Perlu diketahui bahwa amar ma’ruf merupakan bagian dari syariat Islam yang paling mulia. Amar ma’ruf inilah yang merupakan sebab terjaganya jama’ah kaum muslimin. Amar ma’ruf adalah suatu yang wajib sesuai kemampuan dan dilihat dari maslahat dalam beramar ma’ruf. Mengenai keutamaan amar ma’ruf nahi mungkar, Allah Ta’ala berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
[Kedua: Mendahulukan sikap lemah lembut dalam berdakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berprinsip bahwa hendaknya lebih mendahulukan sikap lemah lembut ketika amar ma’ruf nahi mungkar, hendaklah pula berdakwah dengan sikap hikmah dan memberi nasehat dengan cara yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125)
[Ketiga: Sabar ketika berdakwah]
Ahlus Sunnah meyakini wajibnya bersabar dari kelakukan jahat manusia ketika beramar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini karena mengamalkan firman Allah Ta’ala,
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)
[Keempat: Tidak ingin kaum muslimin berselisih]
Ahlus Sunnah ketika menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, mereka punya satu prinsip yang selalu dipegang yaitu menjaga keutuhan jama’ah kaum muslimin, menarik hati setiap orang, menyatukan kalimat (di atas kebenaran), juga menghilangkan perpecahan dan perselisihan.
[Kelima: Memberi nasehat kepada setiap muslim karena agama adalah nasehat]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun punya prinsip untuk memberi nasehat kepada setiap muslim serta saling tolong menolong terhadap sesama dalam kebaikan dan takwa. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا لِمَنْ قَالَ « لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ ».
“Agama adalah nasehat. Kami berkata, “Kepada siapa?” Beliau menjawab, “Kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin kaum muslimin serta kaum muslimin secara umum.” (HR. Muslim no. 55)
[Keenam: Bersama pemerintah kaum muslimin dalam beragama]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga menjaga tegaknya syari’at Islam dengan menegakkan shalat Jum’at, shalat Jama’ah, menunaikan haji, berjihad dan berhari raya bersama pemimpin kaum muslimin baik yang taat pada Allah dan yang fasik. Prinsip ini jauh berbeda dengan prinsip ahlu bid’ah.
[Ketujuh: Bersegera melaksanakan shalat wajib dan khusyu di dalamnya]
Ahlus Sunnah punya prinsip untuk bersegera menunaikan shalat wajib, mereka semangat menegakkan shalat wajib tersebut di awal waktu bersama jama’ah. Shalat di awal waktu itu lebih utama daripada shalat di akhir waktu kecuali untuk shalat Isya. Ahlus Sunnah pun memerintahkan untuk khusyu’ dan thuma’ninah (bersikap tenang) dalam shalat. Mereka mengamalkan firman Allah Ta’ala,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.” (QS. Al Mu’minun: 1-2)
[Kedelepan: Semangat melaksanakan qiyamul lail]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah saling menyemangati (menasehati) untuk menegakkan qiyamul lail (shalat malam) karena amalan ini adalah di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shalat ini pun yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun bersemangat untuk taat kepada Allah Ta’ala. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menunaikan shalat malam. Sampai kakinya pun terlihat memerah (pecah-pecah). ‘Aisyah mengatakan, “Kenapa engkau melakukan seperti ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan akan datang?”. Beliau lantas mengatakan,
أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا
“(Pantaskah aku meninggalkan tahajjudku?) Jika aku meninggalkannya, maka aku bukanlah hamba yang bersyukur.” (HR. Bukhari no. 4837)
[Kesembilan: Tegar menghadapi ujian]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tetap teguh ketika mereka mendapatkan ujian, yaitu bersabar dalam menghadapi musibah. Mereka pun bersyukur ketika mendapatkan kelapangan. Mereka ridho dengan takdir yang terasa pahit. Mereka senantiasa mengingat firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya ujian yang berat akan mendapatkan pahala (balasan) yang besar pula. Sesungguhnya Allah jika ia mencintai suatu kaum, pasti Allah akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridho, maka Allah pun ridho padanya. Barangsiapa yang murka, maka Allah pun murka padanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih)
[Kesepuluh: Tidak mengharap-harap datangnya musibah]
Ahlus Sunnah tidaklah mengharap-harap datangnya musibah. Mereka pun tidak meminta pada Allah agar didatangkan musibah. Karena mereka tidak tahu, apakah nantinya mereka termasuk orang-orang yang bersabar ataukah tidak. Akan tetapi, jika musibah tersebut datang, mereka akan bersabar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ ، وَسَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ ، فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا
“Janganlah kalianmengharapkan bertemu dengan musuh tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh bersabarlah.” (HR. Bukhari no. 2966 dan Muslim no. 1742)
[Kesebelas: Tidak berputus asa dari pertolongan Allah ketika menghadapi cobaan]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berputus asa dari rahmat Allah ketika mereka mendapati cobaan. Karena Allah Ta’ala melarang seseorang untuk berputus asa. Akan tetapi pada saat tertimpa musibah, mereka terus berusaha untuk mencari jalan keluar dan pertolongan Allah yang pasti datang. Mereka tahu bahwa di balik kesulitan ada kemudahan yang begitu dekat. Mereka pun senantiasa introspeksi diri, merenungkan mengapa musibah tersebut bisa terjadi. Mereka senantiasa yakin bahwa berbagai musibah itu datang hanyalah karena sebab kelakuan jelek dari tangan-tangan mereka (yaitu karena maksiat yang mereka perbuat). Mereka tahu bahwa pertolongan bisa jadi tertunda (diakhirkan) karena sebab maksiat yang dilakukan atau mungkin karena ada kekurangan dalam mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syura: 30).
Ahlus Sunnah tidak bersandar pada sebab-sebab yang baru muncul, kejadian duniawi atau bersandar pada peristiwa-peristiwa alam ketika mendapat ujian dan menanti datangnya pertolongan. Mereka tidak begitu tersibukkan dengan memikirkan sebab-sebab tadi. Mereka sudah memandang sebelumnya bahwa takwa kepada Allah Ta’ala, memohon ampun (istighfar) dari segala macam dosa dan bersandar pada Allah serta bersyukur ketika lapang adalah sebab terpenting untuk keluar segera mendapatkan kelapangan dari kesempitan yang ada.
[Keduabelas: Tidak kufur nikmat]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah begitu khawatir dengan akibat dari kufur dan pengingkaran terhadap nikmat. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah adalah orang yang begitu semangat untuk bersyukur pada Allah. Mereka senatiasa bersyukur atas segala nikmat, yang kecil atau pun yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963)
[Ketigabelas: Selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia]
Ahlus Sunnah selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia dan baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang baik akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 1162, Abu Daud no. 4682 dan Ad Darimi no. 2792, hasan shahih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا
“Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan yang tempat duduknya lebih dekat kepadaku pada hari kiamat ialah orang yang bagus akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 2018, shahih)
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
“Sesungguhnya seorang mukmin akan mendapatkan kedudukan ahli puasa dan shalat dengan ahlak baiknya.” (HR. Abu Daud no. 4798, shahih)
مَا مِنْ شَىْءٍ يُوضَعُ فِى الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ
“Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan daripada akhlak yang baik, dan sesungguhnya orang yang berakhlak baik akan mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2003, shahih)
Semoga yang singkat ini bermanfaat.
Referensi: Min Akhlaq Salafish Sholih, ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid Al Atsari, Dar Ibnu Khuzaimah.
Diambil dari www.Rumaysho.com
Itulah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ صَالِحَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR. Ahmad 2/381, shahih)
Dalam suatu hadits shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan do’a,
اللّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Allahummah-diinii li-ahsanil akhlaaqi, laa yahdi li-ahsaniha illa anta (Ya Allah, tunjukilah padaku akhlaq yang baik. Tidak ada yang dapat menunjuki pada baiknya akhlaq tersebut kecuali Engkau)” (HR. Muslim no. 771).
Maka sungguh sangat aneh jika ada yang mengklaim dirinya sebagai Ahlus Sunnah, namun jauh dari akhlaq yang mulia. Jika ia menyatakan dirinya mengikuti para salaf (generasi terbaik umat ini), tentu saja ia tidak boleh mengambil sebagian ajaran mereka saja. Akhlaqnya pun harus bersesuaian dengan para salaf. Namun saying seribu sayang, prinsip yang satu inilah yang jarang diperhatikan. Kadang yang menyatakan dirinya Ahlus Sunnah malah dikenal bengis, dikenal kasar, dikenal selalu bersikap keras. Sungguh klaim hanyalah sekedar klaim. Apa manfaatnya klaim jika tanpa bukti?
Di antara bukti pentingnya akhlaq di sisi para salaf –Ahlus Sunnah wal Jama’ah-, mereka menjadikan masalah akhlaq sebagai ushul (pokok) aqidah dan mereka memasukkannya dalam permasalahan aqidah. Di antara ajaran akhlaq tersebut adalah:
[Pertama: Selalu mengajak pada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar]
Ahlus Sunnah mengajak pada yang ma’ruf (kebaikan) dan melarang dari kemungkaran. Mereka meyakini bahwa baiknya umat Islam adalah dengan tetap adanya ajaran amar ma’ruf yang barokah ini. Perlu diketahui bahwa amar ma’ruf merupakan bagian dari syariat Islam yang paling mulia. Amar ma’ruf inilah yang merupakan sebab terjaganya jama’ah kaum muslimin. Amar ma’ruf adalah suatu yang wajib sesuai kemampuan dan dilihat dari maslahat dalam beramar ma’ruf. Mengenai keutamaan amar ma’ruf nahi mungkar, Allah Ta’ala berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
[Kedua: Mendahulukan sikap lemah lembut dalam berdakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berprinsip bahwa hendaknya lebih mendahulukan sikap lemah lembut ketika amar ma’ruf nahi mungkar, hendaklah pula berdakwah dengan sikap hikmah dan memberi nasehat dengan cara yang baik. Allah Ta’ala berfirman,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125)
[Ketiga: Sabar ketika berdakwah]
Ahlus Sunnah meyakini wajibnya bersabar dari kelakukan jahat manusia ketika beramar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini karena mengamalkan firman Allah Ta’ala,
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)
[Keempat: Tidak ingin kaum muslimin berselisih]
Ahlus Sunnah ketika menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, mereka punya satu prinsip yang selalu dipegang yaitu menjaga keutuhan jama’ah kaum muslimin, menarik hati setiap orang, menyatukan kalimat (di atas kebenaran), juga menghilangkan perpecahan dan perselisihan.
[Kelima: Memberi nasehat kepada setiap muslim karena agama adalah nasehat]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah pun punya prinsip untuk memberi nasehat kepada setiap muslim serta saling tolong menolong terhadap sesama dalam kebaikan dan takwa. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا لِمَنْ قَالَ « لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ ».
“Agama adalah nasehat. Kami berkata, “Kepada siapa?” Beliau menjawab, “Kepada Allah, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya dan kepada pemimpin kaum muslimin serta kaum muslimin secara umum.” (HR. Muslim no. 55)
[Keenam: Bersama pemerintah kaum muslimin dalam beragama]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah juga menjaga tegaknya syari’at Islam dengan menegakkan shalat Jum’at, shalat Jama’ah, menunaikan haji, berjihad dan berhari raya bersama pemimpin kaum muslimin baik yang taat pada Allah dan yang fasik. Prinsip ini jauh berbeda dengan prinsip ahlu bid’ah.
[Ketujuh: Bersegera melaksanakan shalat wajib dan khusyu di dalamnya]
Ahlus Sunnah punya prinsip untuk bersegera menunaikan shalat wajib, mereka semangat menegakkan shalat wajib tersebut di awal waktu bersama jama’ah. Shalat di awal waktu itu lebih utama daripada shalat di akhir waktu kecuali untuk shalat Isya. Ahlus Sunnah pun memerintahkan untuk khusyu’ dan thuma’ninah (bersikap tenang) dalam shalat. Mereka mengamalkan firman Allah Ta’ala,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ (1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.” (QS. Al Mu’minun: 1-2)
[Kedelepan: Semangat melaksanakan qiyamul lail]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah saling menyemangati (menasehati) untuk menegakkan qiyamul lail (shalat malam) karena amalan ini adalah di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Shalat ini pun yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun bersemangat untuk taat kepada Allah Ta’ala. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menunaikan shalat malam. Sampai kakinya pun terlihat memerah (pecah-pecah). ‘Aisyah mengatakan, “Kenapa engkau melakukan seperti ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan akan datang?”. Beliau lantas mengatakan,
أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا
“(Pantaskah aku meninggalkan tahajjudku?) Jika aku meninggalkannya, maka aku bukanlah hamba yang bersyukur.” (HR. Bukhari no. 4837)
[Kesembilan: Tegar menghadapi ujian]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tetap teguh ketika mereka mendapatkan ujian, yaitu bersabar dalam menghadapi musibah. Mereka pun bersyukur ketika mendapatkan kelapangan. Mereka ridho dengan takdir yang terasa pahit. Mereka senantiasa mengingat firman Allah Ta’ala,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya ujian yang berat akan mendapatkan pahala (balasan) yang besar pula. Sesungguhnya Allah jika ia mencintai suatu kaum, pasti Allah akan menguji mereka. Barangsiapa yang ridho, maka Allah pun ridho padanya. Barangsiapa yang murka, maka Allah pun murka padanya.” (HR. Tirmidzi no. 2396, hasan shahih)
[Kesepuluh: Tidak mengharap-harap datangnya musibah]
Ahlus Sunnah tidaklah mengharap-harap datangnya musibah. Mereka pun tidak meminta pada Allah agar didatangkan musibah. Karena mereka tidak tahu, apakah nantinya mereka termasuk orang-orang yang bersabar ataukah tidak. Akan tetapi, jika musibah tersebut datang, mereka akan bersabar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ ، وَسَلُوا اللَّهَ الْعَافِيَةَ ، فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا
“Janganlah kalianmengharapkan bertemu dengan musuh tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh bersabarlah.” (HR. Bukhari no. 2966 dan Muslim no. 1742)
[Kesebelas: Tidak berputus asa dari pertolongan Allah ketika menghadapi cobaan]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak berputus asa dari rahmat Allah ketika mereka mendapati cobaan. Karena Allah Ta’ala melarang seseorang untuk berputus asa. Akan tetapi pada saat tertimpa musibah, mereka terus berusaha untuk mencari jalan keluar dan pertolongan Allah yang pasti datang. Mereka tahu bahwa di balik kesulitan ada kemudahan yang begitu dekat. Mereka pun senantiasa introspeksi diri, merenungkan mengapa musibah tersebut bisa terjadi. Mereka senantiasa yakin bahwa berbagai musibah itu datang hanyalah karena sebab kelakuan jelek dari tangan-tangan mereka (yaitu karena maksiat yang mereka perbuat). Mereka tahu bahwa pertolongan bisa jadi tertunda (diakhirkan) karena sebab maksiat yang dilakukan atau mungkin karena ada kekurangan dalam mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syura: 30).
Ahlus Sunnah tidak bersandar pada sebab-sebab yang baru muncul, kejadian duniawi atau bersandar pada peristiwa-peristiwa alam ketika mendapat ujian dan menanti datangnya pertolongan. Mereka tidak begitu tersibukkan dengan memikirkan sebab-sebab tadi. Mereka sudah memandang sebelumnya bahwa takwa kepada Allah Ta’ala, memohon ampun (istighfar) dari segala macam dosa dan bersandar pada Allah serta bersyukur ketika lapang adalah sebab terpenting untuk keluar segera mendapatkan kelapangan dari kesempitan yang ada.
[Keduabelas: Tidak kufur nikmat]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah begitu khawatir dengan akibat dari kufur dan pengingkaran terhadap nikmat. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah adalah orang yang begitu semangat untuk bersyukur pada Allah. Mereka senatiasa bersyukur atas segala nikmat, yang kecil atau pun yang besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963)
[Ketigabelas: Selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia]
Ahlus Sunnah selalu menghiasi diri dengan akhlaq yang mulia dan baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang baik akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 1162, Abu Daud no. 4682 dan Ad Darimi no. 2792, hasan shahih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا
“Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan yang tempat duduknya lebih dekat kepadaku pada hari kiamat ialah orang yang bagus akhlaqnya.” (HR. Tirmidzi no. 2018, shahih)
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
“Sesungguhnya seorang mukmin akan mendapatkan kedudukan ahli puasa dan shalat dengan ahlak baiknya.” (HR. Abu Daud no. 4798, shahih)
مَا مِنْ شَىْءٍ يُوضَعُ فِى الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ
“Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan daripada akhlak yang baik, dan sesungguhnya orang yang berakhlak baik akan mencapai derajat orang yang berpuasa dan shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2003, shahih)
Semoga yang singkat ini bermanfaat.
Referensi: Min Akhlaq Salafish Sholih, ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid Al Atsari, Dar Ibnu Khuzaimah.
Diambil dari www.Rumaysho.com
Meninjau Ritual Malam Nishfu Sha'ban
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Di sebagian kalangan masyarakat masih tersebar ritual-ritual di malam Nishfu Sya’ban, entah dengan shalat atau berdo’a secara berjama’ah. Sebenarnya amalan ini muncul karena dorongan yang terdapat dalam berbagai hadits yang menceritakan tentang keutamaan malam tersebut. Lalu bagaimanakah derajat hadits yang dimaksud? Benarkah ada amalan tertentu ketika itu? Semoga tulisan kali ini bisa menjawabnya.
Meninjau Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Penulis Tuhfatul Ahwadzi (Abul ‘Alaa Al Mubarokfuri) telah menyebutkan satu per satu hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Awalnya beliau berkata, “Ketahuilah bahwa telah terdapat beberapa hadits mengenai keutamaan malam Nishfu Sya’ban, keseluruhannya menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak ada ashl-nya (landasannya).” Lalu beliau merinci satu per satu hadits yang dimaksud.
Pertama: Hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya'ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini munqothi’ (terputus sanadnya).” [Berarti hadits tersebut dho’if].
Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْت أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ ، فَلَمَّا رَأَيْت ذَلِكَ قُمْت حَتَّى حَرَّكْت إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : " يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْت أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَاسَ بِك ؟ " قُلْت : لَا وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْت أَنْ قُبِضْت طُولَ سُجُودِك ، قَالَ " أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ ؟ " قُلْت : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : " هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِينَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ
“Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat malam, beliau shalat dan memperlama sujud sampai aku menyangka bahwa beliau telah tiada. Tatkala aku memperhatikan hal itu, aku bangkit sampai aku pun menggerakkan ibu jarinya. Beliau pun bergerak dan kembali. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan merampungkan shalatnya, beliau mengatakan, “Wahai ‘Aisyah (atau Wahai Humairo’), apakah kau sangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianatimu?” Aku menjawab, “Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, akan tetapi aku sangka engkau telah tiada karena sujudmu yang begitu lama.” Beliau berkata kembali, “Apakah engkau tahu malam apakah ini?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata, “Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban. Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla turun pada hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lantas Dia akan memberi ampunan ampunan pada orang yang meminta ampunan dan akan merahmati orang yang memohon rahmat, Dia akan menjauh dari orang yang pendendam.” Dikeluarkan oleh Al Baihaqi. Ia katakan bahwa riwayat ini mursal jayyid. Kemungkinan pula bahwa Al ‘Alaa’ mengambilnya dari Makhul. [Hadits mursal adalah hadits yang dho’if karena terputus sanadnya]
Ketiga: Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”Al Mundziri dalam At Targhib setelah menyebutkan hadits ini, beliau mengatakan, “Dikeluarkan oleh At Thobroni dalam Al Awsath dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dan juga oleh Al Baihaqi. Ibnu Majah pun mengeluarkan hadits dengan lafazh yang sama dari hadits Abu Musa Al Asy’ari. Al Bazzar dan Al Baihaqi mengeluarkan yang semisal dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang tidak mengapa.” Demikian perkataan Al Mundziri. Penulis Tuhfatul Ahwadzi lantas mengatakan, “Pada sanad hadits Abu Musa Al Asy’ari yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah terdapat Lahi’ah dan dia dinilai dho’if.” [Hadits ini adalah hadits yang dho’if]
Keempat: Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا اِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ
“Allah ‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yaitu orang yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa.” Al Mundziri mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang layyin (ada perowi yang diberi penilaian negatif/ dijarh, namun haditsnya masih dicatat).” [Berarti hadits ini bermasalah].
Kelima: Hadits Makhul dari Katsir bin Murroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda di malam Nishfu Sya’ban,
يَغْفِرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِأَهْلِ الْأَرْضِ إِلَّا مُشْرِكٌ أَوْ مُشَاحِنٌ
“Allah ‘azza wa jalla mengampuni penduduk bumi kecuali musyrik dan orang yang bermusuhan”. Al Mundziri berkata, “Hadits ini dikeluarkan oleh Al Baihaqi, hadits ini mursal jayyid.” [Berarti dho’if karena haditsnya mursal, ada sanad yang terputus]. Al Mundziri juga berkata, “Dikeluarkan pula oleh Ath Thobroni dan juga Al Baihaqi dari Makhul, dari Abu Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى عِبَادِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَيُمْهِلُ الْكَافِرِينَ وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ حَتَّى يَدَعُوهُ
“Allah mendatangi para hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia akan mengampuni orang yang beriman dan menangguhkan orang-orang kafir, Dia meninggalkan orang yang pendendam.” Al Baihaqi mengatakan, “Hadits ini juga antara Makhul dan Abu Tsa’labah adalah mursal jayyid”. [Berarti hadits ini pun dho’if].
Keenam: Hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَّا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Apabila malam nisfu Sya'ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: "Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini, hingga terbit fajar.” Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dalam sanadnya terdapat Abu Bakr bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Abi Saburoh Al Qurosyi Al ‘Aamiri Al Madani. Ada yang menyebut namanya adalah ‘Abdullah, ada yang mengatakan pula Muhammad. Disandarkan pada kakeknya bahwa ia dituduh memalsukan hadits, sebagaimana disebutkan dalam At Taqrib. Adz Dzahabi dalam Al Mizan mengatakan, “Imam Al Bukhari dan ulama lainnya mendho’ifkannya”. Anak Imam Ahmad, ‘Abdullah dan Sholih, mengatakan dari ayahnya, yaitu Imam Ahmad berkata, “Dia adalah orang yang memalsukan hadits.” An Nasai mengatakan, “Ia adalah perowi yang matruk (dituduh dusta)”. [Berarti hadits ini di antara maudhu’ dan dho’if]
Penulis Tuhfatul Ahwadzi setelah meninjau riwayat-riwayat di atas, beliau mengatakan, “Hadits-hadits ini dilihat dari banyak jalannya bisa sebagai hujjah bagi orang yang mengklaim bahwa tidak ada satu pun hadits shahih yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Wallahu Ta’ala a’lam.”[1]
Keterangan Ulama Mengenai Kelemahan Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Ibnu Rajab di beberapa tempat dalam kitabnya Lathoif Al Ma’arif memberikan tanggapan tentang hadits-hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban.
Pertama: Mengenai hadits ‘Ali tentang keutamaan shalat dan puasa Nishfu Sya’ban, Ibnu Rajab mengatakan bahwa hadits tersebut dho’if.[2]
Kedua: Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban ada beberapa. Para ulama berselisih pendapat mengenai statusnya. Kebanyakan ulama mendhoifkan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hibban menshahihkan sebagian hadits tersebut dan beliau masukkan dalam kitab shahihnya.”[3] [Tanggapan kami, “Ibnu Hibban adalah di antara ulama yang dikenal mutasahil, yaitu orang yang bergampang-gampangan dalam menshahihkan hadits. Sehingga penshahihan dari sisi Ibnu Hibban perlu dicek kembali.”]
Ketiga: Mengenai menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat malam, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Mengenai shalat malam di malam Nishfu Sya’ban, maka tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya. Namun terdapat riwayat dari sekelompok tabi’in (para ulama negeri Syam) yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat.”[4]
Ada tanggapan bagus pula dari ulama belakangan, yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia). Beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.”[5]
Begitu juga Syaikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.”[6]
Memang sebagian ulama ada yang menshahihkan sebagian hadits yang telah dibahas oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menshahihkan hadits Abu Musa Al Asy’ari di atas. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa hadits tersebut shahih karena diriwayatkan dari banyak sahabat dari berbagai jalan yang saling menguatkan, yaitu dari sahabat Mu’adz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, ‘Abdullah bin ‘Amru, Abu Musa Al Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakr Ash Shifdiq, ‘Auf bin Malik dan ‘Aisyah. Lalu beliau rahimahullah perinci satu per satu masing-masing riwayat.[7]
Namun sebagaimana dijelaskan oleh Abul ‘Alaa Al Mubarakfuri, hadits Abu Musa Al Asy’ari adalah munqothi’ (terputus sanadnya). Hadits yang semisal itu pula tidak lepas dari kedho’ifan. Sehingga kami lebih cenderung pada pendapat yang dipegang oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi tersebut. Ini serasa lebih menenangkan karena dipegang oleh kebanyakan ulama. Itulah mengapa beliau, penulis Tuhfatul Ahwadzi memberi kesimpulan terakhir bahwa tidak ada hadits yang shahih yang membicarakan keutamaan bulan Sya’ban. Wallahu a’lam bish showab.
Pendapat Ulama Mengenai Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban
Mayoritas fuqoha berpendapat dianjurkannya menghidupkan malam nishfu sya’ban. Dasar dari hal ini adalah hadits dho’if yang telah diterangkan di atas, yaitu dari Abu Musa Al Asy’ari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam nishfu Sya'ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Dan juga beberapa hadits dho’if lainnya jadi pegangan semacam hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib.
Imam Al Ghozali menjelaskan tata cara tertentu dalam menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan tata cara yang khusus. Namun ulama Syafi’iyah mengingkari tata cara yang dimaksudkan, ulama Syafi’iyah menganggapnya sebagai bid’ah qobihah (bid’ah yang jelek).
Sedangkan Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat Nishfu Sya’ban adalah bid’ah yang dibuat-buat yang qobihah (jelek) dan mungkar.
Mayoritas fuqoha memakruhkan menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara berjama’ah. Ada pendapat yang tegas dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam hal ini, mereka menganggap menghidupkan malam Nishfu Sya’ban secara berjama’ah adalah bid’ah. Para ulama yang juga melarang hal ini adalah Atho’ ibnu Abi Robbah, dan Ibnu Abi Malikah.
Adapun Al Auza’i, beliau berpendapat bahwa menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah dengan shalat jama’ah di masjid adalah suatu yang dimakruhkan. Alasannya, menghidupkan dengan berjama’ah semacam ini tidak dinukil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari seorang sahabat pun.
Sedangkan Kholid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir, Ishaq bin Rohuyah menyunnahkan menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah.[8]
Apabila kita melihat dari berbagai pendapat di atas, jika ulama tersebut menganggap dianjurkannya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, maka ada dua cara untuk menghidupkannya.
Pertama, dianjurkan menghidupkan secara berjama’ah di masjid dengan melaksanakan shalat, membaca kisah-kisah atau berdo’a. Menghidupkan malam Nishfu Sya’ban semacam ini terlarang menurut mayoritas ulama.
Kedua, dianjurkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, namun tidak secara berjama’ah, hanya seorang diri. Inilah pendapat salah seorang ulama negeri Syam, yaitu Al Auza’i. Pendapat ini dipilih pula oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoif Al Ma’arif.[9]
Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat Nishfu Sya’ban, beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang shalat pada malam nishfu sya’ban sendiri atau di jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, maka itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan kumpul-kumpul di masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan tertentu, seperti berkumpul dengan mengerjakan shalat 1000 raka’at, dengan membaca surat Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini jelas suatu perkara bid’ah, yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.”[10]
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Adapun tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban terdapat beberapa hadits dan atsar, juga ada nukilan dari beberapa ulama salaf bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam tersebut. Jika seseorang melakukan shalat seorang diri ketika itu, maka ini telah ada contohnya di masa lalu dari beberapa ulama salaf. Inilah dijadikan sebagai hujjah sehingga tidak perlu diingkari.”[11]
Setelah menyebutkan perkataan Ibnu Rajab dalam Lathoif Al Ma’arif, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pun lantas mengomentari pendapat Al Auza’i dan Ibnu Rajab. Beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam perkataan Ibnu Rajab sendiri terdapat kata tegas bahwa tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang shahih tentang malam Nishfu Sya’ban. Adapun pendapat yang dipilih oleh Al Auza’i rahimahullah mengenai dianjurkannya ibadah sendirian (bukan berjama’ah) dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Rajab, maka ini adalah pendapat yang aneh dan lemah. Karena sesuatu yang tidak ada landasan dalilnya sama sekali, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakan suatu ibadah ketika itu, baik secara sendiri atau berjama’ah, baik pula secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.”[12]
Malam Nishfu Sya’ban Sama Seperti Malam Lainnya
Dalam masalah ini, jika memang kita memilih pendapat mayoritas ulama yang berpendapat bolehnya menghidupkan malam nishfu sya’ban, maka sebaiknya tidak dilakukan secara berjama’ah baik dengan shalat ataupun dengan membaca secara berjama’ah do’a malam nishfu sya’ban. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama.
Sedangkan bagaimanakah menghidupkan malam tersebut secara sendiri-sendiri atau dengan jama’ah tersendiri? Jawabnya, sebagian ulama membolehkan hal ini. Namun yang lebih menenangkan hati kami, tidak perlu malam Nishfu Sya’ban diistimewakan dari malam-malam lainnya. Karena sekali lagi, dasar yang dibangun dalam masalah keutamaan malam nishfu Sya’ban dan shalatnya adalah dalil-dalil yang lemah atau hanya dari riwayat tabi’in saja, tidak ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar sahabat yang shahih yang menerangkan hal ini.
Jadi di sini bukan maksud kami adalah tidak perlu melaksanakan shalat di malam Nishfu Sya’ban. Bukan sama sekali. Maksud kami adalah jangan khususkan malam Nishfu Sya’ban lebih dari malam-malam lainnya.
Perkataan yang amat bagus dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, beliau rahimahullah mengatakan, “Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya. Janganlah malam tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali tidak katakan, “Barangsiapa yang biasa bangun shalat malam, janganlah ia bangun pada malam Nishfu Sya’ban. Atau barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyamul biid (tanggal 13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban (15 Hijriyah).” Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat tertentu atau siang harinya dengan puasa tertentu.”[13]
Dalam hadits-hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebutkan bahwa Allah akan mendatangi hamba-Nya atau akan turun ke langit dunia. Perlu diketahui bahwa turunnya Allah di sini tidak hanya pada malam Nishfu Sya’ban. Sebagaimana disebutkan dalam Bukhari-Muslim bahwa Allah turun ke langit dunia pada setiap 1/3 malam terakhir, bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja. Oleh karenanya, sebenarnya keutamaan malam Nishfu Sya’ban sudah masuk pada keumuman malam, jadi tidak perlu diistimewakan.
‘Abdullah bin Al Mubarok pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya, “Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).
Al ‘Aqili rahimahullah mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan). Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu sudah termasuk pada keumuman hadits semacam itu, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3/29).[14]
Semoga sajian ini bermanfaat untuk memperbaiki amal ibadah kita.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi wa tatimmush sholihaat.
Referensi:
1. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Asy Syamilah.
2. Fatawa Al Islam Sual wa Jawab, Syaikh Sholih Al Munajjid, www.islamqa.com/ar.
3. Lathoif Al Ma’arif fii Maa lii Mawaasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H.
4. Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.
5. Majmu’ Al Fatawa, Ahmad Ibnu Taimiyah,Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
6. Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’.
7. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
Diambil dari www.Rumaysho.com
Di sebagian kalangan masyarakat masih tersebar ritual-ritual di malam Nishfu Sya’ban, entah dengan shalat atau berdo’a secara berjama’ah. Sebenarnya amalan ini muncul karena dorongan yang terdapat dalam berbagai hadits yang menceritakan tentang keutamaan malam tersebut. Lalu bagaimanakah derajat hadits yang dimaksud? Benarkah ada amalan tertentu ketika itu? Semoga tulisan kali ini bisa menjawabnya.
Meninjau Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Penulis Tuhfatul Ahwadzi (Abul ‘Alaa Al Mubarokfuri) telah menyebutkan satu per satu hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Awalnya beliau berkata, “Ketahuilah bahwa telah terdapat beberapa hadits mengenai keutamaan malam Nishfu Sya’ban, keseluruhannya menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak ada ashl-nya (landasannya).” Lalu beliau merinci satu per satu hadits yang dimaksud.
Pertama: Hadits Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam Nishfu Sya'ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Penulis Tuhfatul Ahwadzi berkata, “Hadits ini munqothi’ (terputus sanadnya).” [Berarti hadits tersebut dho’if].
Kedua: Hadits ‘Aisyah, ia berkata,
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْت أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ ، فَلَمَّا رَأَيْت ذَلِكَ قُمْت حَتَّى حَرَّكْت إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلَاتِهِ قَالَ : " يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْت أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ خَاسَ بِك ؟ " قُلْت : لَا وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْت أَنْ قُبِضْت طُولَ سُجُودِك ، قَالَ " أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ ؟ " قُلْت : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : " هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِينَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِينَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ
“Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat malam, beliau shalat dan memperlama sujud sampai aku menyangka bahwa beliau telah tiada. Tatkala aku memperhatikan hal itu, aku bangkit sampai aku pun menggerakkan ibu jarinya. Beliau pun bergerak dan kembali. Ketika beliau mengangkat kepalanya dari sujud dan merampungkan shalatnya, beliau mengatakan, “Wahai ‘Aisyah (atau Wahai Humairo’), apakah kau sangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianatimu?” Aku menjawab, “Tidak, demi Allah. Wahai Rasulullah, akan tetapi aku sangka engkau telah tiada karena sujudmu yang begitu lama.” Beliau berkata kembali, “Apakah engkau tahu malam apakah ini?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata, “Malam ini adalah malam Nishfu Sya’ban. Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla turun pada hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lantas Dia akan memberi ampunan ampunan pada orang yang meminta ampunan dan akan merahmati orang yang memohon rahmat, Dia akan menjauh dari orang yang pendendam.” Dikeluarkan oleh Al Baihaqi. Ia katakan bahwa riwayat ini mursal jayyid. Kemungkinan pula bahwa Al ‘Alaa’ mengambilnya dari Makhul. [Hadits mursal adalah hadits yang dho’if karena terputus sanadnya]
Ketiga: Hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى جَمِيعِ خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلَّا لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Allah mendatangi seluruh makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban. Dia pun mengampuni seluruh makhluk kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”Al Mundziri dalam At Targhib setelah menyebutkan hadits ini, beliau mengatakan, “Dikeluarkan oleh At Thobroni dalam Al Awsath dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya dan juga oleh Al Baihaqi. Ibnu Majah pun mengeluarkan hadits dengan lafazh yang sama dari hadits Abu Musa Al Asy’ari. Al Bazzar dan Al Baihaqi mengeluarkan yang semisal dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dengan sanad yang tidak mengapa.” Demikian perkataan Al Mundziri. Penulis Tuhfatul Ahwadzi lantas mengatakan, “Pada sanad hadits Abu Musa Al Asy’ari yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah terdapat Lahi’ah dan dia dinilai dho’if.” [Hadits ini adalah hadits yang dho’if]
Keempat: Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا اِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ
“Allah ‘azza wa jalla mendatangi makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali dua orang yaitu orang yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa.” Al Mundziri mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang layyin (ada perowi yang diberi penilaian negatif/ dijarh, namun haditsnya masih dicatat).” [Berarti hadits ini bermasalah].
Kelima: Hadits Makhul dari Katsir bin Murroh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda di malam Nishfu Sya’ban,
يَغْفِرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لِأَهْلِ الْأَرْضِ إِلَّا مُشْرِكٌ أَوْ مُشَاحِنٌ
“Allah ‘azza wa jalla mengampuni penduduk bumi kecuali musyrik dan orang yang bermusuhan”. Al Mundziri berkata, “Hadits ini dikeluarkan oleh Al Baihaqi, hadits ini mursal jayyid.” [Berarti dho’if karena haditsnya mursal, ada sanad yang terputus]. Al Mundziri juga berkata, “Dikeluarkan pula oleh Ath Thobroni dan juga Al Baihaqi dari Makhul, dari Abu Tsa’labah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَطَّلِعُ اللَّهُ إِلَى عِبَادِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُؤْمِنِينَ وَيُمْهِلُ الْكَافِرِينَ وَيَدَعُ أَهْلَ الْحِقْدِ بِحِقْدِهِمْ حَتَّى يَدَعُوهُ
“Allah mendatangi para hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Dia akan mengampuni orang yang beriman dan menangguhkan orang-orang kafir, Dia meninggalkan orang yang pendendam.” Al Baihaqi mengatakan, “Hadits ini juga antara Makhul dan Abu Tsa’labah adalah mursal jayyid”. [Berarti hadits ini pun dho’if].
Keenam: Hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَّا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Apabila malam nisfu Sya'ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman: "Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku akan mengampuninya? Adakah orang yang meminta rizki maka Aku akan memberinya rizki? Adakah orang yang mendapat cobaan maka Aku akan menyembuhkannya? Adakah yang begini, dan adakah yang begini, hingga terbit fajar.” Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dalam sanadnya terdapat Abu Bakr bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Abi Saburoh Al Qurosyi Al ‘Aamiri Al Madani. Ada yang menyebut namanya adalah ‘Abdullah, ada yang mengatakan pula Muhammad. Disandarkan pada kakeknya bahwa ia dituduh memalsukan hadits, sebagaimana disebutkan dalam At Taqrib. Adz Dzahabi dalam Al Mizan mengatakan, “Imam Al Bukhari dan ulama lainnya mendho’ifkannya”. Anak Imam Ahmad, ‘Abdullah dan Sholih, mengatakan dari ayahnya, yaitu Imam Ahmad berkata, “Dia adalah orang yang memalsukan hadits.” An Nasai mengatakan, “Ia adalah perowi yang matruk (dituduh dusta)”. [Berarti hadits ini di antara maudhu’ dan dho’if]
Penulis Tuhfatul Ahwadzi setelah meninjau riwayat-riwayat di atas, beliau mengatakan, “Hadits-hadits ini dilihat dari banyak jalannya bisa sebagai hujjah bagi orang yang mengklaim bahwa tidak ada satu pun hadits shahih yang menerangkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban. Wallahu Ta’ala a’lam.”[1]
Keterangan Ulama Mengenai Kelemahan Hadits Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban
Ibnu Rajab di beberapa tempat dalam kitabnya Lathoif Al Ma’arif memberikan tanggapan tentang hadits-hadits yang membicarakan keutamaan malam Nishfu Sya’ban.
Pertama: Mengenai hadits ‘Ali tentang keutamaan shalat dan puasa Nishfu Sya’ban, Ibnu Rajab mengatakan bahwa hadits tersebut dho’if.[2]
Kedua: Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menjelaskan keutamaan malam Nishfu Sya’ban ada beberapa. Para ulama berselisih pendapat mengenai statusnya. Kebanyakan ulama mendhoifkan hadits-hadits tersebut. Ibnu Hibban menshahihkan sebagian hadits tersebut dan beliau masukkan dalam kitab shahihnya.”[3] [Tanggapan kami, “Ibnu Hibban adalah di antara ulama yang dikenal mutasahil, yaitu orang yang bergampang-gampangan dalam menshahihkan hadits. Sehingga penshahihan dari sisi Ibnu Hibban perlu dicek kembali.”]
Ketiga: Mengenai menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat malam, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Mengenai shalat malam di malam Nishfu Sya’ban, maka tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga para sahabatnya. Namun terdapat riwayat dari sekelompok tabi’in (para ulama negeri Syam) yang menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat.”[4]
Ada tanggapan bagus pula dari ulama belakangan, yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, ulama yang pernah menjabat sebagai Ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia). Beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menerangkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran. Adapun hadits yang menerangkan mengenai keutamaan shalat pada malam nishfu sya’ban, semuanya adalah berdasarkan hadits palsu (maudhu’). Sebagaimana hal ini dijelaskan oleh kebanyakan ulama.”[5]
Begitu juga Syaikh Ibnu Baz menjelaskan, “Hadits dhoif barulah bisa diamalkan dalam masalah ibadah, jika memang terdapat penguat atau pendukung dari hadits yang shahih. Adapun untuk hadits tentang menghidupkan malam nishfu sya’ban, tidak ada satu dalil shahih pun yang bisa dijadikan penguat untuk hadits yang lemah tadi.”[6]
Memang sebagian ulama ada yang menshahihkan sebagian hadits yang telah dibahas oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menshahihkan hadits Abu Musa Al Asy’ari di atas. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa hadits tersebut shahih karena diriwayatkan dari banyak sahabat dari berbagai jalan yang saling menguatkan, yaitu dari sahabat Mu’adz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al Khusyani, ‘Abdullah bin ‘Amru, Abu Musa Al Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Bakr Ash Shifdiq, ‘Auf bin Malik dan ‘Aisyah. Lalu beliau rahimahullah perinci satu per satu masing-masing riwayat.[7]
Namun sebagaimana dijelaskan oleh Abul ‘Alaa Al Mubarakfuri, hadits Abu Musa Al Asy’ari adalah munqothi’ (terputus sanadnya). Hadits yang semisal itu pula tidak lepas dari kedho’ifan. Sehingga kami lebih cenderung pada pendapat yang dipegang oleh penulis Tuhfatul Ahwadzi tersebut. Ini serasa lebih menenangkan karena dipegang oleh kebanyakan ulama. Itulah mengapa beliau, penulis Tuhfatul Ahwadzi memberi kesimpulan terakhir bahwa tidak ada hadits yang shahih yang membicarakan keutamaan bulan Sya’ban. Wallahu a’lam bish showab.
Pendapat Ulama Mengenai Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban
Mayoritas fuqoha berpendapat dianjurkannya menghidupkan malam nishfu sya’ban. Dasar dari hal ini adalah hadits dho’if yang telah diterangkan di atas, yaitu dari Abu Musa Al Asy’ari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya Allah akan menampakkan (turun) di malam nishfu Sya'ban kemudian mengampuni semua makhluk-Nya kecuali orang musyrik atau orang yang bermusuhan dengan saudaranya.” (HR. Ibnu Majah no. 1390). Dan juga beberapa hadits dho’if lainnya jadi pegangan semacam hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib.
Imam Al Ghozali menjelaskan tata cara tertentu dalam menghidupkan malam nishfu sya’ban dengan tata cara yang khusus. Namun ulama Syafi’iyah mengingkari tata cara yang dimaksudkan, ulama Syafi’iyah menganggapnya sebagai bid’ah qobihah (bid’ah yang jelek).
Sedangkan Ats Tsauri mengatakan bahwa shalat Nishfu Sya’ban adalah bid’ah yang dibuat-buat yang qobihah (jelek) dan mungkar.
Mayoritas fuqoha memakruhkan menghidupkan malam nishfu Sya’ban secara berjama’ah. Ada pendapat yang tegas dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam hal ini, mereka menganggap menghidupkan malam Nishfu Sya’ban secara berjama’ah adalah bid’ah. Para ulama yang juga melarang hal ini adalah Atho’ ibnu Abi Robbah, dan Ibnu Abi Malikah.
Adapun Al Auza’i, beliau berpendapat bahwa menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah dengan shalat jama’ah di masjid adalah suatu yang dimakruhkan. Alasannya, menghidupkan dengan berjama’ah semacam ini tidak dinukil dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari seorang sahabat pun.
Sedangkan Kholid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir, Ishaq bin Rohuyah menyunnahkan menghidupkan malam nishfu sya’ban secara berjama’ah.[8]
Apabila kita melihat dari berbagai pendapat di atas, jika ulama tersebut menganggap dianjurkannya menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, maka ada dua cara untuk menghidupkannya.
Pertama, dianjurkan menghidupkan secara berjama’ah di masjid dengan melaksanakan shalat, membaca kisah-kisah atau berdo’a. Menghidupkan malam Nishfu Sya’ban semacam ini terlarang menurut mayoritas ulama.
Kedua, dianjurkan menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, namun tidak secara berjama’ah, hanya seorang diri. Inilah pendapat salah seorang ulama negeri Syam, yaitu Al Auza’i. Pendapat ini dipilih pula oleh Ibnu Rajab Al Hambali dalam Lathoif Al Ma’arif.[9]
Ibnu Taimiyah ketika ditanya mengenai shalat Nishfu Sya’ban, beliau rahimahullah menjawab, “Jika seseorang shalat pada malam nishfu sya’ban sendiri atau di jama’ah yang khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian salaf, maka itu suatu hal yang baik. Adapun jika dilakukan dengan kumpul-kumpul di masjid untuk melakukan shalat dengan bilangan tertentu, seperti berkumpul dengan mengerjakan shalat 1000 raka’at, dengan membaca surat Al Ikhlas terus menerus sebanyak 1000 kali, ini jelas suatu perkara bid’ah, yang sama sekali tidak dianjurkan oleh para ulama.”[10]
Ibnu Taimiyah juga mengatakan, “Adapun tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban terdapat beberapa hadits dan atsar, juga ada nukilan dari beberapa ulama salaf bahwa mereka melaksanakan shalat pada malam tersebut. Jika seseorang melakukan shalat seorang diri ketika itu, maka ini telah ada contohnya di masa lalu dari beberapa ulama salaf. Inilah dijadikan sebagai hujjah sehingga tidak perlu diingkari.”[11]
Setelah menyebutkan perkataan Ibnu Rajab dalam Lathoif Al Ma’arif, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz pun lantas mengomentari pendapat Al Auza’i dan Ibnu Rajab. Beliau rahimahullah mengatakan, “Dalam perkataan Ibnu Rajab sendiri terdapat kata tegas bahwa tidak ada satu pun dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang shahih tentang malam Nishfu Sya’ban. Adapun pendapat yang dipilih oleh Al Auza’i rahimahullah mengenai dianjurkannya ibadah sendirian (bukan berjama’ah) dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Rajab, maka ini adalah pendapat yang aneh dan lemah. Karena sesuatu yang tidak ada landasan dalilnya sama sekali, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakan suatu ibadah ketika itu, baik secara sendiri atau berjama’ah, baik pula secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.”[12]
Malam Nishfu Sya’ban Sama Seperti Malam Lainnya
Dalam masalah ini, jika memang kita memilih pendapat mayoritas ulama yang berpendapat bolehnya menghidupkan malam nishfu sya’ban, maka sebaiknya tidak dilakukan secara berjama’ah baik dengan shalat ataupun dengan membaca secara berjama’ah do’a malam nishfu sya’ban. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama.
Sedangkan bagaimanakah menghidupkan malam tersebut secara sendiri-sendiri atau dengan jama’ah tersendiri? Jawabnya, sebagian ulama membolehkan hal ini. Namun yang lebih menenangkan hati kami, tidak perlu malam Nishfu Sya’ban diistimewakan dari malam-malam lainnya. Karena sekali lagi, dasar yang dibangun dalam masalah keutamaan malam nishfu Sya’ban dan shalatnya adalah dalil-dalil yang lemah atau hanya dari riwayat tabi’in saja, tidak ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar sahabat yang shahih yang menerangkan hal ini.
Jadi di sini bukan maksud kami adalah tidak perlu melaksanakan shalat di malam Nishfu Sya’ban. Bukan sama sekali. Maksud kami adalah jangan khususkan malam Nishfu Sya’ban lebih dari malam-malam lainnya.
Perkataan yang amat bagus dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, beliau rahimahullah mengatakan, “Malam Nishfu Sya’ban sebenarnya seperti malam-malam lainnya. Janganlah malam tersebut dikhususkan dengan shalat tertentu. Jangan pula mengkhususkan puasa tertentu ketika itu. Namun catatan yang perlu diperhatikan, kami sama sekali tidak katakan, “Barangsiapa yang biasa bangun shalat malam, janganlah ia bangun pada malam Nishfu Sya’ban. Atau barangsiapa yang biasa berpuasa pada ayyamul biid (tanggal 13, 14, 15 H), janganlah ia berpuasa pada hari Nishfu Sya’ban (15 Hijriyah).” Ingat, yang kami maksudkan adalah janganlah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan shalat tertentu atau siang harinya dengan puasa tertentu.”[13]
Dalam hadits-hadits tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban disebutkan bahwa Allah akan mendatangi hamba-Nya atau akan turun ke langit dunia. Perlu diketahui bahwa turunnya Allah di sini tidak hanya pada malam Nishfu Sya’ban. Sebagaimana disebutkan dalam Bukhari-Muslim bahwa Allah turun ke langit dunia pada setiap 1/3 malam terakhir, bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja. Oleh karenanya, sebenarnya keutamaan malam Nishfu Sya’ban sudah masuk pada keumuman malam, jadi tidak perlu diistimewakan.
‘Abdullah bin Al Mubarok pernah ditanya mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, lantas beliau pun memberi jawaban pada si penanya, “Wahai orang yang lemah! Yang engkau maksudkan adalah malam Nishfu Sya’ban?! Perlu engkau tahu bahwa Allah itu turun di setiap malam (bukan pada malam Nishfu Sya’ban saja, -pen).” Dikeluarkan oleh Abu ‘Utsman Ash Shobuni dalam I’tiqod Ahlis Sunnah (92).
Al ‘Aqili rahimahullah mengatakan, “Mengenai turunnya Allah pada malam Nishfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya itu layyin (menuai kritikan). Adapun riwayat yang menerangkan bahwa Allah akan turun setiap malam, itu terdapat dalam berbagai hadits yang shahih. Ketahuilah bahwa malam Nishfu Sya’ban itu sudah termasuk pada keumuman hadits semacam itu, insya Allah.” Disebutkan dalam Adh Dhu’afa’ (3/29).[14]
Semoga sajian ini bermanfaat untuk memperbaiki amal ibadah kita.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi wa tatimmush sholihaat.
Referensi:
1. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Asy Syamilah.
2. Fatawa Al Islam Sual wa Jawab, Syaikh Sholih Al Munajjid, www.islamqa.com/ar.
3. Lathoif Al Ma’arif fii Maa lii Mawaasimil ‘Aam minal Wazhoif, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H.
4. Liqo’ Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin.
5. Majmu’ Al Fatawa, Ahmad Ibnu Taimiyah,Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
6. Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’.
7. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ At Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
Diambil dari www.Rumaysho.com
Jumat, 16 Juli 2010
Membantah Syubhat Hizbuttahrir (HTI )....
Membantah Syubhat Hizbuttahrir (HTI )
Oleh: Ustadz Badrusalam, Lc
Berkata Syamsuddin Ramadlan (HTI): Mengoreksi Penguasa Harus Dengan GAYA TUKUL…??
Tanggapan: Tukulkah yang menjadi panutanmu ??
HTI: Perlu kami nyatakan bahwa hukum asal amar makruf nahi mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan. Ini adalah pendapat mu’tabar dan perilaku generasi salafus sholeh.
Tanggapan: Tetapi justru para ulama salaf menyatakan bahwa hukum asal menasehati adalah dengan rahasia. Ibnu Hibban berkata: “Nasehat wajib kepada manusia seluruhnya.. akan tetapi wajib dengan secara rahasia, karena orang yang menasehati saudaranya secara terang-terangan maka ia telah mencelanya, dan siapa yang menasehatinya secara rahasia, maka ia telah menghiasinya..” (Raudlatul ‘Uqala hal 196).
Imam Asy Syafi’I berkata: “Nasehatilah aku ketika sendirian, dan jauhi nasehat di depan jama’ah. Karena nasehat ditengah manusia adalah salah satu macam mencaci maki yang aku tidak suka mendengarnya.. (Mawa’idz imam Asy Syafi’I 1/23).
HTI: Namun, sebagian orang bodoh berpendapat bahwa menasehati seorang penguasa haruslah dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata).
Tanggapan: Sebagian orang bodoh ?? betulkah mereka orang bodoh?? Ya.. menuduh memang mudah.. namun Allah yang maha tahu siapa yang sebenarnya bodoh..
HTI: Menurut mereka, seorang Muslim dilarang menasehati mereka dengan terang-terangan di depan umum, atau mengungkapkan kejahatan dan keburukan mereka di depan umum, karena ada dalil yang mengkhususkan.
Tanggapan: Bila yang dimaksud mereka adalah salafiyun, maka mereka berdasarkan dalil dan perbuatan para shahabat dan para ulama. Adapun dalil, maka berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barang siapa yang ingin menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka janganlah terang-terangan , namun ambillah tangannya dan bersendirianlah dengannya (rahasia), jika ia menerima (itu yang diharapkan) dan jika tidak, maka ia telah melaksanakan tugas”. (HR Ahmad, ibnu Ashim dan lainnya).
Adapun perbuatan shahabat, Anas bin Malik berkata: “Para pembesar kami dari shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami, (mereka berkata): “Janganlah kamu mencaci maki umara, jangan pula mencurangi dan memaksiati mereka”.(Al Hujjah fii bayanil Mahajjah 2/435).
Ziyad bin Kusaib Al ‘Adawi berkata: “Aku bersama Abu Bakrah dibawah mimbar ibnu Amir yang sedang berkhutbah dan memakai pakaian yang tipis, maka Abu Bilaal berkata: “Lihatlah kepada pemimpin kita ini, dia memakai pakaian orang fasiq”. Abu Bakrah berkata: “Diam kamu!! Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang menghinakan penguasa di bumi, Allah akan hinakan ia”. (HR At Tirmidzi, Al Bazzaar dan lainnya).
Dikatakan kepada Usamah bin Zaid: “Andai kamu mendatangi fulan (maksudnya Utsman bin Affan) dan mengajaknya bicara”. Usamah berkata: “Sesungguhnya kamu memandang bahwa bila aku mengajaknya bicara, aku harus memperdengarkannya kepada kamu, sesungguhnya aku berbicara dengannya secara rahasia tanpa membuka pintu, dan aku tidak ingin menjadi orang yang pertama kali membukanya”. (HR Bukhari no 3267 dan Muslim no 2989). Dalam riwayat Muslim, Usamah berkata: “Sungguh, aku telah mengajaknya berbicara antara aku dan dia saja..dst”.
Al Qurthubi berkata: “Maksud Usamah adalah bahwa beliau menjauhi berbicara di hadapan manusia, demikianlah yang wajib dalam menegur pembesar dan umara, hendaknya mereka dihormati di hadapan rakyat untuk menjaga kewibawaan mereka, dan menasehatinya secara rahasia, untuk melaksanakan kewajiban menasehati mereka, dan perkataan beliau: ” Sungguh, aku telah mengajaknya berbicara antara aku dan dia saja”. Maksudnya berbicara langsung dengan ucapan yang lemah lembut, sebab yang demikian itu lebih taqwa dari menasehati mereka dengan terang-terangan dan memberontak kepada penguasa, karena amat besar fitnah dan mafsadah yang ditimbulkan akibat menasehati secara terang-terangan”. (Al Mufhim 6/619).
HTI: Pendapat semacam ini adalah pendapat bathil, dan bertentangan dengan realitas muhasabah al-hukkam yang dilakukan oleh Nabi saw, para shahabat dan generasi-generasi salafus shaleh sesudah mereka.
Tanggapan: Jangan terlalu cepat memvonis saudaraku, karena yang antum fahami itu ternyata bertentangan dengan apa yang difahami oleh para ulama..
HTI: Pasalnya, pendapat tersebut (keharusan mengoreksi pennguasa dengan empat mata) bertentangan dengan point-point berikut ini:
a. Perilaku Rasulullah saw dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas mengatur urusan rakyat (pemerintahan). Beliau saw tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid As Sa’idiy bahwasanya ia berkata:
اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتَبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصْرَ عَيْنِي وَسَمْعَ أُذُنِي
“Rasulullah saw mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi saw; dan Nabi Mohammad saw menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku. Rasulullah saw berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Beliau saw pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah swt, beliau bersabda, ”’Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku”. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi saw mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Hadits di atas adalah dalil sharih yang menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw pernah menasehati salah seorang pejabatnya dengan cara mengungkap keburukannya secara terang-terangan di depan khalayak ramai. Beliau saw tidak hanya menasehati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi, membeberkan kejahatannya di depan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan sembunyi-sembunyi (empat mata), sedangkan Nabi saw, manusia yang paling mulia akhlaqnya, justru menasehati salah satu pejabatnya (penguasa Islam) dengan terangan-terangan, bahkan diungkap di depan khalayak ramai?
Tanggapan: Itu karena antum kurang memahami hakikat qiyas, karena di sini antum menyamakan apa yang dilakukan oleh Nabi sebagai penguasa kepada pegawainya, dengan menasehati penguasa yang dilakukan oleh rakyatnya.. dan qiyas seperti ini adalah batil karena ia adalah qiyas yang amat jauh berbeda, selain itu qiyas antum ini bertabrakan dengan dalil yang melarang menasehati penguasa secara terang-terangan..
HTI : b. Ada perintah dari Nabi saw agar kaum Muslim memberi nasehat kepada para penguasa fajir dan dzalim secara mutlak. Imam Al Hakim dan Ath Thabaraniy menuturkan riwayat dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
سيد الشهداء عند الله يوم القيامة حمزة بن عبد المطلب ورجل قام إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله
“Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya”. [HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy]
Hadits ini datang dalam bentuk umum. Hadits ini tidak menjelaskan secara rinci tatacara mengoreksi seorang penguasa; apakah harus dengan sembunyi-sembunyi atau harus dengan terang-terangan. Atas dasar itu, seorang Muslim dibolehkan menasehati penguasa dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi (empat mata). Hadits ini tidak bisa ditakhshih dengan hadits-hadits yang menuturkan tentang muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) dengan empat mata. Pasalnya, hadits-hadits yang menuturkan tentang menasehati penguasa dengan empat mata adalah hadits dla’if. (Penjelasannya lihat di point berikutnya).
Tanggapan: Itu karena antum mendla’ifkan hadits yang sebenarnya hasan atau shahih yaitu hadits yang menjelaskan tata cara menasehati penguasa yaitu tidak boleh secara terangan-terangan, karena akibat antum kurang sungguh-sungguh mencari jalan-jalan lainnya yang antum tidak ketahui sebagaimana yang akan diterangkan.. maka nasehat saya jangan tergesa-gesa memvonis.. sebab perbuatan itu sama saja membongkar kebodohan antum sendiri..
HTI: c. Ada perintah dari Rasulullah saw untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Imam Bukhari]
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw….Sedangkan makna dari fragmen, “”Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu seorang Muslim wajib mengoreksi penguasa dengan terang-terangan bahkan dengan pedang, jika para penguasanya melakukan kekufuran yang nyata. Hadits-hadits di atas juga menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa-penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Selain itu, riwayat di atas juga menunjukkan bahwa menasehati penguasa boleh dilakukan dengan pedang, jika penguasa tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata. Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (empat mata) dan tidak boleh dilakukan dengan terang-terangan?
Tanggapan: Hadits itu berbicara mengenai mengganti hakim yang telah kafir dan keluar dari islam dan tidak berbicara tentang cara menasehati penguasa, dan yang kita fahami dari perkataan An Nawawi yang antum bawakan bahwa hakim yang melakukan kezaliman dan kefasiqan maka kita dilarang membangkang dari penguasa seperti itu, tidak pula menasehatinya secara terang-terangan.. dan berhukum dengan hukum selain Allah bukanlah perkara yang membuat pelakunya keluar dari millah islam secara mutlak sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Oleh karena itu tidak ada satupun ulama yang memahami dari hadits di atas bolehnya menasehati penguasa secara terangan-terangan, dan yang antum katakan itu berasal dari kantong antum sendiri..
HTI: d. Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat ra terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan mendalam realitas muhasabah hukam yang dilakukan oleh shahabat ra, dapatlah disimpulkan bahwa mereka melakukan muhasabah dengan berbagai macam cara, tidak dengan satu cara saja.
Tanggapan: Sekali lagi, jangan terlalu gegabah mengambil kesimpulan hanya karena kisah yang antum bawakan itu kebetulan sesuai dengan hawa nafsu, kewajiban kita adalah melihat keadaan suatu kisah dan menimbangnya dengan dalil, agar kita dapat memahaminya dengan benar..
HTI: Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara muhasabah yang mereka lakukan.
• Di dalam Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8, hal. 217, disebutkan bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin ‘Ali ra, pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah. Imam Husain ra dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H. Beliau ra juga mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil ra untuk mengambil bai’at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Dan di dalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain ra dan penduduk Kufah pada saat itu termasuk firqah (kelompok) yang sesat )”.[Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8/217] Inilah cara yang dilakukan oleh Imam Husain bin ‘Ali ra untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah.
Tanggapan: Aneh, mengapa antum tidak membawakan juga pengingkaran para shahabat terhadap perbuatan Husain tsb, padahal ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah menyebutkan shahabat-shahabat yang mengingkari Husain, yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id Al Khudri, Jabir bin Abdillah, Abu Waqid Al laitsi (Al Bidayah wan Nihayah 8/163 cet Maktanah Al Ma’arif) juga pengingkaran kibar tabi’in terhadap Husain seperti Sa’id bin Musayyib dan Abu Salamah bin Abdurrahman.. dan bukankah dalam kisah yang dikisahkan oleh ibnu Katsir menyebutkan bahwa Husain sebenarnya tertipu oleh Ahli Kufah yang meminta agar Husain datang kepada mereka..
Adapun perkataan antum bahwa tidak ada seorangpun menyatakan bahwa Al Husain termasuk firqah sesat, itu karena beliau melakukan perbuatan tersebut bukan karena mengikuti hawa nafsu namun karena ijtihad beliau yang salah, berbeda dengan kalian yang berusaha mencari-cari dalil yang sesuai dengan hawa nafsu.. yang seharusnya kewajiban kalian adalah mengikuti para ulama sunnah dalam masalah-masalah besar seperti ini..
HTI: • Sebelum Imam Husain bin ‘Ali ra, kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Inilah cara Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengoreksi Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang sangat besar dan terkenal dalam sejarah umat Islam, Perang Jamal.
Tanggapan: Ini juga kesalahan pemahaman antum, karena kepergian Aisyah sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Katsir adalah untuk meminta agar para pembunuh Utsman di qishash, dan kepergian Aisyah ini telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kesalahan perbuatannya, ibnu Katsir menuturkan: “mereka (pasukan Aisyah) melewati sebuah perkampungan yang bernama Hau-ab, lalu anjing-anjing di situ menggonggonginya, maka ketika Aisyah mendengar suara anjing itu, beliau bertanya: “Apa nama tempat ini? Mereka berkata: “Hau-ab”. Lalu Aisyah memukulkan salah satu tangannya kepada yang lainnya dan berkata: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un, aku harus kembali”. Mereka berkata: “Mengapa?” Aisyah berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada istri-istrinya:
أَيَّتُكُنَّ تَنْبَحُ عَلَيْهَا كِلَابُ الْحَوْأَبِ
“Siapakah di antara kalian yang digonggongi oleh anjing-anjing Hau-ab”. (HR Ahmad).Kemudian Aisyah memukul lengan untanya agar duduk, beliau berkata: “Kembalikan aku! Kembalikan aku! Demi Allah ternyata aku yang digonggongi ajing-anjing Hau-ab.. (Al Bidayah wan Nihayah 7/231-232 cet. Maktabah Al Ma’arif).
HTI: • Ketika Umar bin Khaththab ra berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.
Tanggapan: sayangnya anda tidak membawakan sanad kisah tersebut, dan menelitinya apakah kisah tersebut shahih atau tidak. Kisah seperti ini kalaupun shahih, tidak bisa dijadikan hujjah, karena perbuatan laki-laki arab itu bertentangan dengan petunjuk Nabi dalam menasehati pemimpin, namun boleh jadi antum berkata: “Tetapi Umar tidak mengingkarinya”. Kita jawab: “Diamnya Umar boleh jadi karena si arab itu lelaki yang bodoh, sedangkan Allah menyuruh kita untuk berpaling dari orang yang bodoh, dan tidak membalasnya dengan kebodohan. Sebagaimana di sebutkan dalam kisah bahwa ‘Uyainah pernah berkata kepada Umar: “Wahai ibnul Khathab! Kamu tidak mau memberi kami banyak dan tidak pula menghukumi dengan adil, maka Umar marah namun diingatkan oleh Al Hurr dengan ayat yang menyuruh untuk berpaling dari orang-orang yang bodoh..(HR Bukhari).
Maka hikayat perbuatan seperti ini disebut dalam ushul fiqih sebagai waqa’iul a’yaan yang tidak bermakna umum.
HTI: • Pada saat Umar bin Khaththab ra mengenakan baju dari kain Yaman yang di dapat dari harta ghanimah. Beliau ra kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan baju itu, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah dan taatilah…” Salman Al Farisi ra, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata kepadanya, “Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu”. Umar berkata, “Mengapa demikian?” Salman menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab, “Jangan gesa-gesa, lalu beliau memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun tidak seorang pun menjawab. Lalu beliau ra berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin Umar..”. ‘Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”. Beliau berkata, “Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu? Abdullah bin Umar menjawab, “Demi Allah, ya”. Salman berkata, “Sekarang perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat”. ['Abdul 'Aziz Al Badriy, Al-Islam bain al-'Ulama' wa al-Hukkam Ihitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa.terj), hal. 70-71]
Tanggapan: Anda pun tidak membawakan sanadnya untuk dapat diperiksa apakah shahih atau tidak, memang demikian keadaan pengikut hawa nafsu, ketika ia mendapatkan kabar yang sesuai dengan hawa nafsunya, segera diambilnya tanpa melihat apakah kisah itu shahih atau tidak..
Kalaupun kisah itu shahih, tidak dapat dijadikan hujjah, karena perbuatan shahabat itu bila bertentangan dengan dalil, tidak dapat diterima. Terlebih Di sini Salman hanya ingin tatsabbut saja mengenai dua pakaian yang diambil oleh Umar, dan Umar seorang pemimpin yang adil membiarkan Salman berbuat demikian karena ketawadlu’an beliau, dan bukan berarti perbuatan menasehati penguasa secara terang-terangan diperbolehkan, karena kisah ini hanyalah hikayat perbuatan, dan sebagaimana telah disebutkan dalam ushul fiqih bahwa sebatas hikayat perbuatan mengandung banyak kemungkinan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah, lebih-lebih bila bertentangan dengan dalil.
HTI: • Amirul Mukminin Mu’awiyyah berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, “Dengarlah dan taatilah..”. Lalu, berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, “Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah berkata, “Mengapa wahai Abu Muslim?”. Abu Muslim menjawab, “Wahai Mu’awiyyah, mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu? Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada hadirin, “Tetaplah kalian di tempat”. Lalu, dia menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu’awiyyah berkata, “Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku marah. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi”. Sebenarnya saya masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian”.[Hadits ini dituturkan oleh Abu Na'im dalam Kitab Al-Khiyah, dan diceritakan kembali oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al Ihya', juz 7, hal. 70]
Tanggapan: Kisah itu dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (2/130) dari jalan Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz dari Yasin bin Abdillah bin Urwah dari Abu Muslim Al Kahulani. Dan sanad ini lemah karena Yasin bin Abdullah ini tidak diketahui siapa ia, sedangkan Abdul Majid padanya terdapat kelemahan, Ibnu Hajar berkata: “Shaduq yukhti”. Dan ibnu Hibban berkata: “Mungkar hadits jiddan, suka membalikan kabar dan meriwayat hadits-hadits yang mungkar dari paerawi-perawi masyhur sehingga berhak untuk ditinggalkan”. (Al Majruhin 2/152). Karena kisah ini lemah maka tidak bias dijadikan hujjah.
HTI: • Seorang ulama besar, Syaikh Mundzir bin Sa’id mengkritik sangat keras Khalifah Abdurrahman An Nashir Lidinillah ra yang telah menguras harta pemerintahan untuk mempermegah dan memperindah kota Az Zahra. Ulama besar ini mengkritik sang Khalifah dalam khuthbah Jum’atnya secara terang-terangan di depan Khalifah An Nashir dan dihadiri orang penduduk kota Az Zahra. [Abdul Hamid Al Ubbadi, Min Akhlaq al-'Ulamaa', Majalah Al Azhar, Ramadhan, 1371 H]
• Dalam Kitab Qalaaid Al Jawaahir disebutkan bahwasanya Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan memberikan nasehat kepada Gubernur Yahya bin Sa’id yang terkenal dengan julukan Abnu Mazaahim Adz Dzaalim Al Qadla. Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berkata, “Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh oirang yang paling dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa yang dinasehatkan kepadanya”. [Qalaaid Al Jawaahir, hal. 8]
• Sulthan al-’Ulama, Al ‘iz bin Abdus Salam telah mengkritik Raja Ismail yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa Kristen untuk memerangi Najamuddin bin Ayyub. Ulama besar ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan Raja Ismail di depan mimbar Jum’at di hadapan penduduk Damaskus. Saat itu Raja Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa dan khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al ‘Iuz ‘Abdus Salam dipecat dari jabatannya dan dipenjara di rumahnya. [As Subki, Thabaqat, dan lain-lain]
Tanggapan: Kisah-kisah ini kalaupun benar tidak bisa dijadikan hujah, karena perbuatan ulama bukan dalil, lebih-lebih bila bertentangan dengan dalil. Dalil itu adalah Al Qur’an dan sunnah, terlebih kisah itu masih diragukan, karena kisah tersebut tidak disebutkan dalam kitab-kitab mu’tabar.
HTI: Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama shalih dan mukhlish menasehati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini sangat banyak disebut di dalam kitab-kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan untuk menasehati para penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan, mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya.
Tanggapan: Kisah-kisah seperti itu tidak banyak dilakukan oleh ulama, terlebih ulama salaf terdahulu, justru kebalikannya itulah yang banyak, bila kita baca sejarah para ulama, akan kita dapati mereka adalah orang yang paling melarang membangkang kepada penguasa, seperti kisah yang terjadi pada zaman imam Ahmad bin hanbal rahimahullah, Hanbal mengisahkan bahwa para Fuqoha Baghdad di Zaman kepemimpinan Al Watsiq berkumpul kepada Abu ‘Abdillah (imam Ahmad), mereka berkata,” Sesungguhnya fitnah ini telah menjadi besar dan tersebar (yaitu pemikiran bahwa Al Qur’an itu makhluk dan kesesatan lainnya) dan kami tidak rela dengan kepemimpinan Al Watsiq dan kekuasaannya “.
Imam Ahmad berdialog dengan mereka dalam perkara ini, beliau berkata,” Hendaklah kalian mengingkari dengan hati kalian dan jangan melepaskan diri dari keta’atan, jangan memecah belah kaum muslimin, dan jangan menumpahkan darah kaum muslimin bersama kalian. Lihatlah akibat buruk perbuatan kalian, dan bersabarlah sampai beristirahat orang yang baik dan diistirahatkan dari orang yang jahat “. Beliau berkata lagi,” Perbuatan ini (pemberontakan) tidak benar dan menyelisihi atsar (sunnah) “.[1]
Para fuqaha yang banyak itu sepakat dengan imam Ahmad setelah ditegakkan hujjah oleh imam Ahmad, padahal imam Ahmad disiksa oleh penguasa di zamannya. Coba bandingkan dengan perbuatan firqah HTI, apakah perbuatan mereka seperti yang dilakukan oleh imam Ahmad dan para fuqaha??!
HTI: Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan empat mata saja, sementara ulama-ulama yang memiliki ilmu dan ketaqwaannya justru memilih melakukannya dengan terang-terangan dan terbuka?
Tanggapan: Para ulama yang antum ikuti itu tidak jelas kebenaran sanadnya, antum hanya sebatas membeo dan tidak meneliti kebenarannya, namun demikianlah sifat pengikut hawa nafsu.. sementara kisah-kisah ulama yang jelas sesuai dengan sunnah dalam menasehati penguasa, antum tutup-tutupi, hanya untuk mengelabui orang awam.
HTI: Kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad. Nash-nash qath’iy telah menunjukkan kepada kita bahwa hukum asal nasehat itu harus disampaikan secara terang-terangan, dan tidak boleh sembunyi-sembunyi. Al Quran dan Sunnah telah menyebut masalah ini dengan sangat jelas.
Tanggapan: Qath’iy yang anda kira ternyata lebih lemah dari sarang laba-laba, karena dalil-dalil yang anda bawakan telah kita jelaskan kelemahannya dalam memahaminya..
HTI: Namun, sebagian orang awam menyangka ada riwayat yang mengkhususkan ketentuan ini. Mereka berpendapat bahwa mengoreksi penguasa harus dilakukan dengan empat mata, karena ada dalil yang mengkhususkan. Mereka berdalih dengan hadits yang sumbernya (tsubutnya) masih perlu dikaji secara mendalam. Hadits itu adalah hadits yang riwayatkan oleh Imam Ahmad.
Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dan berkata:
“Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm mendera penduduk Dariya, ketika berhasil dikalahkan. Hisyam bin Hakim pun mengkritik Iyadl bin Ghanm dengan kasar dan keras, hingga ‘Iyadl marah. Ketika malam datang, Hisyam bin Malik mendatangi ‘Iyadl, dan meminta maaf kepadanya. Lalu Hisyam berkata kepada ‘Iyadl, “Tidakkah engkau mendengar Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya manusia yang mendapat siksa paling keras adalah manusia yang paling keras menyiksa manusia di kehidupan dunia”. ‘Iyadl bin Ghanm berkata, “Ya Hisyam bin Hakim, sungguh, kami mendengar apa yang engkau dengar, dan kami juga menyaksikan apa yang engkau saksikan; tidakkah engkau mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa (orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah), maka janganlah menasehatinya dengan terang-terangan, tetapi ambillah tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima nasehat, maka baginya pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya untuk orang itu. Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala”.[HR. Imam Ahmad]
‘Iyadl bin Ghanm adalah Ibnu Zuhair bin Abiy Syadad, Abu Sa’ad al-Fahri. Beliau adalah seorang shahabat yang memiliki keutamaan. Beliau termasuk shahabat yang melakukan bai’at Ridlwan; dan wafat pada tahun 20 H di Syams.
Hisyam bin Hakim bin Hazam bin Khuwailid al-Qurasyiy al-Asdiy adalah shahabat yang memiliki keutamaan, dan beliau adalah putera dari seorang shahabat. Beliau wafat pada awal-awal masa kekhilafahan Mu’awiyyah bin Abi Sofyan. Ada orang yang menduga bahwa beliau meraih mati syahid di Ajnadain. Beliau disebut di dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dalam haditsnya Umar tatkala ia mendengarnya membaca surat Al Furqan. Beliau wafat sebelum ayahnya meninggal dunia. Imam Muslim, Abu Dawud, dan An Nasaaiy menuturkan hadits dari beliau, sebagaimana disebutkan dalam Kitab At Taqriib.
Di dalam Kitab Tahdziib al-Kamal, Al Maziy berkata, “Diriwayatkan darinya:…dan ‘Urwah bin Az Zubair…hingga akhir. Adapun Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy al-Hamashiy, dia adalah seorang tabi’in tsiqqah (terpercaya). Riwayatnya dari shahabat secara mursal, sebagaimana disebut dalam Tahdziib al-Kamal, “Mohammad bin ‘Auf ditanya apakah Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy mendengar dari Abu Darda’? Mohammad bin ‘Auf menjawab, “Tidak”. Juga ditanyakan kepada Mohammad bin ‘Auf, apakah dia mendengar dari seorang shahabat Nabi saw? Dia menjawab, “Saya kira tidak. Sebab, ia tidak mengatakan dari riwayatnya, “saya mendengar”. Dan dia adalah tsiqqah (terpercaya)”.
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab At Taqriib mengatakan, “Dia tsiqqah (terpercaya), dan banyak meriwayatkan hadits secara mursal; karena tadlisnya. Ibnu Abi Hatim di dalam Kitab Al Maraasiil berkata, “Saya mendengar ayahku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah, al-Harits bin Harits, dan Miqdam. Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya mendengar bapakku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid menuturkan hadits dari Abu Malik Al Asy’ariy secara mursal”.
Jika Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah Shadiy bin ‘Ijlaan al-Bahiliy ra yang wafat pada tahun 76 H dan Miqdam al-Ma’diy Karab ra yang wafat pada tahun 87 H, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa Syuraih bin ‘Ubaid bertemu dengan Hisyam bin Hakim yang wafat pada awal-awal pemerintahan Mu’awiyyah, lebih-lebih lagi ‘Iyadl bin Ghanm yang wafat pada tahun 20 Hijrah pada masa ‘Umar bin Khaththab ra?
Selain itu, Syuraih bin ‘Ubaid ra meriwayatkan hadits itu dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya) dan di dalam hadits itu tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, atau mendengar orang yang mengisahkan kisah tersebut. Dengan demikian, hadits di atas harus dihukumi sebagai hadits munqathi’ (terputus), dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad secara ringkas (mukhtashar) dari Ibnu ‘Abi ‘Ashim di dalam kitab As Sunnah, di mana Imam Ahmad berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami ‘Amru bin ‘Utsman, di mana dia berkata,”Telah meriwayatkan kepada kami Baqiyah, dan dia berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami Sofwan bin ‘Amru, dari Syuraih bin ‘Ubaid, bahwasanya dia berkata, “‘Yadl bin Ghanam berkata kepada Hisyam bin Hakim, tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa janganlah ia sampaikan dengan terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia ambil tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka ia akan mendapatkan pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya”.[HR. Imam Ahmad]
Baqiyyah adalah seorang mudalis. Walaupun Baqiyyah menuturkan hadits ini dengan sharih menurut versi Ibnu Abi ‘Aashim, tetapi, tetap saja tidak bisa menyelamatkan Baqiyyah. Pasalnya, ia adalah perawi yang suka melakukan tadlis dengan tadlis yang buruk (tadlis qabiih) –yakni tadlis taswiyah . Dikhawatirkan dari tadlisnya itu ‘an’anah [(meriwayatkan dengan 'an (dari), 'an (dari)] dari gurunya dari gurunya jika ditarik ke atas. Di dalam Kitab Al Majma’, Imam Al Haitsamiy berkata, “Yang benar, jalur darinya (Syuraih bin ‘Ubaid) hanya berasal dari Hisyam saja. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad, dan rijalnya tsiqat (terpercaya). Akan tetapi, saya tidak mendapati Syuraih bin ‘Ubaid mendengar hadits ini langsung dari ‘Iyadl dan Hisyam, walaupun dia seorang tabi’un.
Catatan lain, Syuraih bin ‘Ubaid meriwayatkan hadits ini dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya), dan di dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, maupun mendengar dari orang yang menceritakan kisah tersebut. Oleh karena itu, hadits ini harus dihukumi sebagai hadits munqathi’; dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Adapun dari jalur-jalur lain, misalnya dari jalur Jabir bin Nafir, maka setelah diteliti, ada perawi yang lemah, yakni Mohammad bin Ismail bin ‘Iyasy.
Jika demikian kenyataannya, gugurlah berdalil dengan hadits riwayat Imam Ahmad di atas.
Tanggapan: sayangnya anda tidak menyebutkan jalan lain, yaitu yang dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Dalam Al Mu’jamul Kabiir: Haddatsana Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H) haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata: HaddatsanaIshaq bin Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya kepada ‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa ‘Iyadl bin Ghanam..dst.
Sanad ini walaupun lemah karena Amru bin Al Harits dikatakan oleh Al Hafidz: Maqbul, demikian pula Al Fadl bin Fadlalah, namun jalan ini menguatkan jalan Muhammad bin Isma’il bin Ayyasy, sehingga naik kepada derajat hasan, dan bila digabungkan dengan sanad imam Ahmad : Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm.. dst. Maka naik kepada derajat shahih, adapun permasalahan Syuraih tidak mendengar dari Iyadl, tidak bermudlarat bila ternyata telah diketahui wasithahnya yaitu Jubair bin Nufair.
Sumber: http://www.abuyahyabadrusalam.com/
[1] Lihat kitab mu’amalatul hukkam karya Syaikh Abdussalam Barjas hal 9.
Oleh: Ustadz Badrusalam, Lc
Berkata Syamsuddin Ramadlan (HTI): Mengoreksi Penguasa Harus Dengan GAYA TUKUL…??
Tanggapan: Tukulkah yang menjadi panutanmu ??
HTI: Perlu kami nyatakan bahwa hukum asal amar makruf nahi mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan. Ini adalah pendapat mu’tabar dan perilaku generasi salafus sholeh.
Tanggapan: Tetapi justru para ulama salaf menyatakan bahwa hukum asal menasehati adalah dengan rahasia. Ibnu Hibban berkata: “Nasehat wajib kepada manusia seluruhnya.. akan tetapi wajib dengan secara rahasia, karena orang yang menasehati saudaranya secara terang-terangan maka ia telah mencelanya, dan siapa yang menasehatinya secara rahasia, maka ia telah menghiasinya..” (Raudlatul ‘Uqala hal 196).
Imam Asy Syafi’I berkata: “Nasehatilah aku ketika sendirian, dan jauhi nasehat di depan jama’ah. Karena nasehat ditengah manusia adalah salah satu macam mencaci maki yang aku tidak suka mendengarnya.. (Mawa’idz imam Asy Syafi’I 1/23).
HTI: Namun, sebagian orang bodoh berpendapat bahwa menasehati seorang penguasa haruslah dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata).
Tanggapan: Sebagian orang bodoh ?? betulkah mereka orang bodoh?? Ya.. menuduh memang mudah.. namun Allah yang maha tahu siapa yang sebenarnya bodoh..
HTI: Menurut mereka, seorang Muslim dilarang menasehati mereka dengan terang-terangan di depan umum, atau mengungkapkan kejahatan dan keburukan mereka di depan umum, karena ada dalil yang mengkhususkan.
Tanggapan: Bila yang dimaksud mereka adalah salafiyun, maka mereka berdasarkan dalil dan perbuatan para shahabat dan para ulama. Adapun dalil, maka berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَهُ
“Barang siapa yang ingin menasehati penguasa dengan suatu perkara, maka janganlah terang-terangan , namun ambillah tangannya dan bersendirianlah dengannya (rahasia), jika ia menerima (itu yang diharapkan) dan jika tidak, maka ia telah melaksanakan tugas”. (HR Ahmad, ibnu Ashim dan lainnya).
Adapun perbuatan shahabat, Anas bin Malik berkata: “Para pembesar kami dari shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kami, (mereka berkata): “Janganlah kamu mencaci maki umara, jangan pula mencurangi dan memaksiati mereka”.(Al Hujjah fii bayanil Mahajjah 2/435).
Ziyad bin Kusaib Al ‘Adawi berkata: “Aku bersama Abu Bakrah dibawah mimbar ibnu Amir yang sedang berkhutbah dan memakai pakaian yang tipis, maka Abu Bilaal berkata: “Lihatlah kepada pemimpin kita ini, dia memakai pakaian orang fasiq”. Abu Bakrah berkata: “Diam kamu!! Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang menghinakan penguasa di bumi, Allah akan hinakan ia”. (HR At Tirmidzi, Al Bazzaar dan lainnya).
Dikatakan kepada Usamah bin Zaid: “Andai kamu mendatangi fulan (maksudnya Utsman bin Affan) dan mengajaknya bicara”. Usamah berkata: “Sesungguhnya kamu memandang bahwa bila aku mengajaknya bicara, aku harus memperdengarkannya kepada kamu, sesungguhnya aku berbicara dengannya secara rahasia tanpa membuka pintu, dan aku tidak ingin menjadi orang yang pertama kali membukanya”. (HR Bukhari no 3267 dan Muslim no 2989). Dalam riwayat Muslim, Usamah berkata: “Sungguh, aku telah mengajaknya berbicara antara aku dan dia saja..dst”.
Al Qurthubi berkata: “Maksud Usamah adalah bahwa beliau menjauhi berbicara di hadapan manusia, demikianlah yang wajib dalam menegur pembesar dan umara, hendaknya mereka dihormati di hadapan rakyat untuk menjaga kewibawaan mereka, dan menasehatinya secara rahasia, untuk melaksanakan kewajiban menasehati mereka, dan perkataan beliau: ” Sungguh, aku telah mengajaknya berbicara antara aku dan dia saja”. Maksudnya berbicara langsung dengan ucapan yang lemah lembut, sebab yang demikian itu lebih taqwa dari menasehati mereka dengan terang-terangan dan memberontak kepada penguasa, karena amat besar fitnah dan mafsadah yang ditimbulkan akibat menasehati secara terang-terangan”. (Al Mufhim 6/619).
HTI: Pendapat semacam ini adalah pendapat bathil, dan bertentangan dengan realitas muhasabah al-hukkam yang dilakukan oleh Nabi saw, para shahabat dan generasi-generasi salafus shaleh sesudah mereka.
Tanggapan: Jangan terlalu cepat memvonis saudaraku, karena yang antum fahami itu ternyata bertentangan dengan apa yang difahami oleh para ulama..
HTI: Pasalnya, pendapat tersebut (keharusan mengoreksi pennguasa dengan empat mata) bertentangan dengan point-point berikut ini:
a. Perilaku Rasulullah saw dalam mengoreksi pejabat yang diserahi tugas mengatur urusan rakyat (pemerintahan). Beliau saw tidak segan-segan mengumumkan perbuatan buruk yang dilakukan oleh pejabatnya di depan kaum Muslim, dengan tujuan agar pelakunya bertaubat dan agar pejabat-pejabat lain tidak melakukan perbuatan serupa. Imam Bukhari dan Muslim menuturkan sebuah riwayat dari Abu Humaid As Sa’idiy bahwasanya ia berkata:
اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتَبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصْرَ عَيْنِي وَسَمْعَ أُذُنِي
“Rasulullah saw mengangkat seorang laki-laki menjadi amil untuk menarik zakat dari Bani Sulaim. Laki-laki itu dipanggil dengan nama Ibnu Luthbiyyah. Tatkala tugasnya telah usai, ia bergegas menghadap Nabi saw; dan Nabi Mohammad saw menanyakan tugas-tugas yang telah didelegasikan kepadanya. Ibnu Lutbiyah menjawab, ”Bagian ini kuserahkan kepada anda, sedangkan yang ini adalah hadiah yang telah diberikan orang-orang (Bani Sulaim) kepadaku. Rasulullah saw berkata, ”Jika engkau memang jujur, mengapa tidak sebaiknya engkau duduk-duduk di rumah ayah dan ibumu, hingga hadiah itu datang sendiri kepadamu”. Beliau saw pun berdiri, lalu berkhutbah di hadapan khalayak ramai. Setelah memuji dan menyanjung Allah swt, beliau bersabda, ”’Amma ba’du. Aku telah mengangkat seseorang di antara kalian untuk menjadi amil dalam berbagai urusan yang diserahkan kepadaku. Lalu, ia datang dan berkata, ”Bagian ini adalah untukmu, sedangkan bagian ini adalah milikku yang telah dihadiahkan kepadaku”. Apakah tidak sebaiknya ia duduk di rumah ayah dan ibunya, sampai hadiahnya datang sendiri kepadanya, jika ia memang benar-benar jujur? Demi Allah, salah seorang di antara kalian tidak akan memperoleh sesuatu yang bukan haknya, kecuali ia akan menghadap kepada Allah swt dengan membawanya. Ketahuilah, aku benar-benar tahu ada seseorang yang datang menghadap Allah swt dengan membawa onta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik. Lalu, Nabi saw mengangkat kedua tangannya memohon kepada Allah swt, hingga aku (perawi) melihat putih ketiaknya”. [HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Hadits di atas adalah dalil sharih yang menunjukkan bahwasanya Rasulullah saw pernah menasehati salah seorang pejabatnya dengan cara mengungkap keburukannya secara terang-terangan di depan khalayak ramai. Beliau saw tidak hanya menasehati Ibnu Luthbiyyah dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi, membeberkan kejahatannya di depan kaum Muslim. Lantas, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan sembunyi-sembunyi (empat mata), sedangkan Nabi saw, manusia yang paling mulia akhlaqnya, justru menasehati salah satu pejabatnya (penguasa Islam) dengan terangan-terangan, bahkan diungkap di depan khalayak ramai?
Tanggapan: Itu karena antum kurang memahami hakikat qiyas, karena di sini antum menyamakan apa yang dilakukan oleh Nabi sebagai penguasa kepada pegawainya, dengan menasehati penguasa yang dilakukan oleh rakyatnya.. dan qiyas seperti ini adalah batil karena ia adalah qiyas yang amat jauh berbeda, selain itu qiyas antum ini bertabrakan dengan dalil yang melarang menasehati penguasa secara terang-terangan..
HTI : b. Ada perintah dari Nabi saw agar kaum Muslim memberi nasehat kepada para penguasa fajir dan dzalim secara mutlak. Imam Al Hakim dan Ath Thabaraniy menuturkan riwayat dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
سيد الشهداء عند الله يوم القيامة حمزة بن عبد المطلب ورجل قام إلى إمام جائر فأمره ونهاه فقتله
“Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya”. [HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy]
Hadits ini datang dalam bentuk umum. Hadits ini tidak menjelaskan secara rinci tatacara mengoreksi seorang penguasa; apakah harus dengan sembunyi-sembunyi atau harus dengan terang-terangan. Atas dasar itu, seorang Muslim dibolehkan menasehati penguasa dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi (empat mata). Hadits ini tidak bisa ditakhshih dengan hadits-hadits yang menuturkan tentang muhasabah lil hukkam (mengoreksi penguasa) dengan empat mata. Pasalnya, hadits-hadits yang menuturkan tentang menasehati penguasa dengan empat mata adalah hadits dla’if. (Penjelasannya lihat di point berikutnya).
Tanggapan: Itu karena antum mendla’ifkan hadits yang sebenarnya hasan atau shahih yaitu hadits yang menjelaskan tata cara menasehati penguasa yaitu tidak boleh secara terangan-terangan, karena akibat antum kurang sungguh-sungguh mencari jalan-jalan lainnya yang antum tidak ketahui sebagaimana yang akan diterangkan.. maka nasehat saya jangan tergesa-gesa memvonis.. sebab perbuatan itu sama saja membongkar kebodohan antum sendiri..
HTI: c. Ada perintah dari Rasulullah saw untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR. Imam Bukhari]
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw….Sedangkan makna dari fragmen, “”Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu seorang Muslim wajib mengoreksi penguasa dengan terang-terangan bahkan dengan pedang, jika para penguasanya melakukan kekufuran yang nyata. Hadits-hadits di atas juga menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa-penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Selain itu, riwayat di atas juga menunjukkan bahwa menasehati penguasa boleh dilakukan dengan pedang, jika penguasa tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata. Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (empat mata) dan tidak boleh dilakukan dengan terang-terangan?
Tanggapan: Hadits itu berbicara mengenai mengganti hakim yang telah kafir dan keluar dari islam dan tidak berbicara tentang cara menasehati penguasa, dan yang kita fahami dari perkataan An Nawawi yang antum bawakan bahwa hakim yang melakukan kezaliman dan kefasiqan maka kita dilarang membangkang dari penguasa seperti itu, tidak pula menasehatinya secara terang-terangan.. dan berhukum dengan hukum selain Allah bukanlah perkara yang membuat pelakunya keluar dari millah islam secara mutlak sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama. Oleh karena itu tidak ada satupun ulama yang memahami dari hadits di atas bolehnya menasehati penguasa secara terangan-terangan, dan yang antum katakan itu berasal dari kantong antum sendiri..
HTI: d. Realitas muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat ra terhadap para penguasa. Apabila kita meneliti secara jernih dan mendalam realitas muhasabah hukam yang dilakukan oleh shahabat ra, dapatlah disimpulkan bahwa mereka melakukan muhasabah dengan berbagai macam cara, tidak dengan satu cara saja.
Tanggapan: Sekali lagi, jangan terlalu gegabah mengambil kesimpulan hanya karena kisah yang antum bawakan itu kebetulan sesuai dengan hawa nafsu, kewajiban kita adalah melihat keadaan suatu kisah dan menimbangnya dengan dalil, agar kita dapat memahaminya dengan benar..
HTI: Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara muhasabah yang mereka lakukan.
• Di dalam Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8, hal. 217, disebutkan bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin ‘Ali ra, pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah. Imam Husain ra dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H. Beliau ra juga mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil ra untuk mengambil bai’at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Dan di dalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain ra dan penduduk Kufah pada saat itu termasuk firqah (kelompok) yang sesat )”.[Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8/217] Inilah cara yang dilakukan oleh Imam Husain bin ‘Ali ra untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah.
Tanggapan: Aneh, mengapa antum tidak membawakan juga pengingkaran para shahabat terhadap perbuatan Husain tsb, padahal ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah menyebutkan shahabat-shahabat yang mengingkari Husain, yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Sa’id Al Khudri, Jabir bin Abdillah, Abu Waqid Al laitsi (Al Bidayah wan Nihayah 8/163 cet Maktanah Al Ma’arif) juga pengingkaran kibar tabi’in terhadap Husain seperti Sa’id bin Musayyib dan Abu Salamah bin Abdurrahman.. dan bukankah dalam kisah yang dikisahkan oleh ibnu Katsir menyebutkan bahwa Husain sebenarnya tertipu oleh Ahli Kufah yang meminta agar Husain datang kepada mereka..
Adapun perkataan antum bahwa tidak ada seorangpun menyatakan bahwa Al Husain termasuk firqah sesat, itu karena beliau melakukan perbuatan tersebut bukan karena mengikuti hawa nafsu namun karena ijtihad beliau yang salah, berbeda dengan kalian yang berusaha mencari-cari dalil yang sesuai dengan hawa nafsu.. yang seharusnya kewajiban kalian adalah mengikuti para ulama sunnah dalam masalah-masalah besar seperti ini..
HTI: • Sebelum Imam Husain bin ‘Ali ra, kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Inilah cara Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengoreksi Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang sangat besar dan terkenal dalam sejarah umat Islam, Perang Jamal.
Tanggapan: Ini juga kesalahan pemahaman antum, karena kepergian Aisyah sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Katsir adalah untuk meminta agar para pembunuh Utsman di qishash, dan kepergian Aisyah ini telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kesalahan perbuatannya, ibnu Katsir menuturkan: “mereka (pasukan Aisyah) melewati sebuah perkampungan yang bernama Hau-ab, lalu anjing-anjing di situ menggonggonginya, maka ketika Aisyah mendengar suara anjing itu, beliau bertanya: “Apa nama tempat ini? Mereka berkata: “Hau-ab”. Lalu Aisyah memukulkan salah satu tangannya kepada yang lainnya dan berkata: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un, aku harus kembali”. Mereka berkata: “Mengapa?” Aisyah berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada istri-istrinya:
أَيَّتُكُنَّ تَنْبَحُ عَلَيْهَا كِلَابُ الْحَوْأَبِ
“Siapakah di antara kalian yang digonggongi oleh anjing-anjing Hau-ab”. (HR Ahmad).Kemudian Aisyah memukul lengan untanya agar duduk, beliau berkata: “Kembalikan aku! Kembalikan aku! Demi Allah ternyata aku yang digonggongi ajing-anjing Hau-ab.. (Al Bidayah wan Nihayah 7/231-232 cet. Maktabah Al Ma’arif).
HTI: • Ketika Umar bin Khaththab ra berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.
Tanggapan: sayangnya anda tidak membawakan sanad kisah tersebut, dan menelitinya apakah kisah tersebut shahih atau tidak. Kisah seperti ini kalaupun shahih, tidak bisa dijadikan hujjah, karena perbuatan laki-laki arab itu bertentangan dengan petunjuk Nabi dalam menasehati pemimpin, namun boleh jadi antum berkata: “Tetapi Umar tidak mengingkarinya”. Kita jawab: “Diamnya Umar boleh jadi karena si arab itu lelaki yang bodoh, sedangkan Allah menyuruh kita untuk berpaling dari orang yang bodoh, dan tidak membalasnya dengan kebodohan. Sebagaimana di sebutkan dalam kisah bahwa ‘Uyainah pernah berkata kepada Umar: “Wahai ibnul Khathab! Kamu tidak mau memberi kami banyak dan tidak pula menghukumi dengan adil, maka Umar marah namun diingatkan oleh Al Hurr dengan ayat yang menyuruh untuk berpaling dari orang-orang yang bodoh..(HR Bukhari).
Maka hikayat perbuatan seperti ini disebut dalam ushul fiqih sebagai waqa’iul a’yaan yang tidak bermakna umum.
HTI: • Pada saat Umar bin Khaththab ra mengenakan baju dari kain Yaman yang di dapat dari harta ghanimah. Beliau ra kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan baju itu, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah dan taatilah…” Salman Al Farisi ra, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata kepadanya, “Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu”. Umar berkata, “Mengapa demikian?” Salman menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab, “Jangan gesa-gesa, lalu beliau memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun tidak seorang pun menjawab. Lalu beliau ra berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin Umar..”. ‘Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”. Beliau berkata, “Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu? Abdullah bin Umar menjawab, “Demi Allah, ya”. Salman berkata, “Sekarang perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat”. ['Abdul 'Aziz Al Badriy, Al-Islam bain al-'Ulama' wa al-Hukkam Ihitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa.terj), hal. 70-71]
Tanggapan: Anda pun tidak membawakan sanadnya untuk dapat diperiksa apakah shahih atau tidak, memang demikian keadaan pengikut hawa nafsu, ketika ia mendapatkan kabar yang sesuai dengan hawa nafsunya, segera diambilnya tanpa melihat apakah kisah itu shahih atau tidak..
Kalaupun kisah itu shahih, tidak dapat dijadikan hujjah, karena perbuatan shahabat itu bila bertentangan dengan dalil, tidak dapat diterima. Terlebih Di sini Salman hanya ingin tatsabbut saja mengenai dua pakaian yang diambil oleh Umar, dan Umar seorang pemimpin yang adil membiarkan Salman berbuat demikian karena ketawadlu’an beliau, dan bukan berarti perbuatan menasehati penguasa secara terang-terangan diperbolehkan, karena kisah ini hanyalah hikayat perbuatan, dan sebagaimana telah disebutkan dalam ushul fiqih bahwa sebatas hikayat perbuatan mengandung banyak kemungkinan, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah, lebih-lebih bila bertentangan dengan dalil.
HTI: • Amirul Mukminin Mu’awiyyah berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, “Dengarlah dan taatilah..”. Lalu, berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, “Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah berkata, “Mengapa wahai Abu Muslim?”. Abu Muslim menjawab, “Wahai Mu’awiyyah, mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu? Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada hadirin, “Tetaplah kalian di tempat”. Lalu, dia menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu’awiyyah berkata, “Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku marah. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi”. Sebenarnya saya masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian”.[Hadits ini dituturkan oleh Abu Na'im dalam Kitab Al-Khiyah, dan diceritakan kembali oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al Ihya', juz 7, hal. 70]
Tanggapan: Kisah itu dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (2/130) dari jalan Abdul Majid bin Abdul ‘Aziz dari Yasin bin Abdillah bin Urwah dari Abu Muslim Al Kahulani. Dan sanad ini lemah karena Yasin bin Abdullah ini tidak diketahui siapa ia, sedangkan Abdul Majid padanya terdapat kelemahan, Ibnu Hajar berkata: “Shaduq yukhti”. Dan ibnu Hibban berkata: “Mungkar hadits jiddan, suka membalikan kabar dan meriwayat hadits-hadits yang mungkar dari paerawi-perawi masyhur sehingga berhak untuk ditinggalkan”. (Al Majruhin 2/152). Karena kisah ini lemah maka tidak bias dijadikan hujjah.
HTI: • Seorang ulama besar, Syaikh Mundzir bin Sa’id mengkritik sangat keras Khalifah Abdurrahman An Nashir Lidinillah ra yang telah menguras harta pemerintahan untuk mempermegah dan memperindah kota Az Zahra. Ulama besar ini mengkritik sang Khalifah dalam khuthbah Jum’atnya secara terang-terangan di depan Khalifah An Nashir dan dihadiri orang penduduk kota Az Zahra. [Abdul Hamid Al Ubbadi, Min Akhlaq al-'Ulamaa', Majalah Al Azhar, Ramadhan, 1371 H]
• Dalam Kitab Qalaaid Al Jawaahir disebutkan bahwasanya Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan memberikan nasehat kepada Gubernur Yahya bin Sa’id yang terkenal dengan julukan Abnu Mazaahim Adz Dzaalim Al Qadla. Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berkata, “Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh oirang yang paling dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa yang dinasehatkan kepadanya”. [Qalaaid Al Jawaahir, hal. 8]
• Sulthan al-’Ulama, Al ‘iz bin Abdus Salam telah mengkritik Raja Ismail yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa Kristen untuk memerangi Najamuddin bin Ayyub. Ulama besar ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan Raja Ismail di depan mimbar Jum’at di hadapan penduduk Damaskus. Saat itu Raja Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa dan khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al ‘Iuz ‘Abdus Salam dipecat dari jabatannya dan dipenjara di rumahnya. [As Subki, Thabaqat, dan lain-lain]
Tanggapan: Kisah-kisah ini kalaupun benar tidak bisa dijadikan hujah, karena perbuatan ulama bukan dalil, lebih-lebih bila bertentangan dengan dalil. Dalil itu adalah Al Qur’an dan sunnah, terlebih kisah itu masih diragukan, karena kisah tersebut tidak disebutkan dalam kitab-kitab mu’tabar.
HTI: Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama shalih dan mukhlish menasehati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini sangat banyak disebut di dalam kitab-kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan untuk menasehati para penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan, mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya.
Tanggapan: Kisah-kisah seperti itu tidak banyak dilakukan oleh ulama, terlebih ulama salaf terdahulu, justru kebalikannya itulah yang banyak, bila kita baca sejarah para ulama, akan kita dapati mereka adalah orang yang paling melarang membangkang kepada penguasa, seperti kisah yang terjadi pada zaman imam Ahmad bin hanbal rahimahullah, Hanbal mengisahkan bahwa para Fuqoha Baghdad di Zaman kepemimpinan Al Watsiq berkumpul kepada Abu ‘Abdillah (imam Ahmad), mereka berkata,” Sesungguhnya fitnah ini telah menjadi besar dan tersebar (yaitu pemikiran bahwa Al Qur’an itu makhluk dan kesesatan lainnya) dan kami tidak rela dengan kepemimpinan Al Watsiq dan kekuasaannya “.
Imam Ahmad berdialog dengan mereka dalam perkara ini, beliau berkata,” Hendaklah kalian mengingkari dengan hati kalian dan jangan melepaskan diri dari keta’atan, jangan memecah belah kaum muslimin, dan jangan menumpahkan darah kaum muslimin bersama kalian. Lihatlah akibat buruk perbuatan kalian, dan bersabarlah sampai beristirahat orang yang baik dan diistirahatkan dari orang yang jahat “. Beliau berkata lagi,” Perbuatan ini (pemberontakan) tidak benar dan menyelisihi atsar (sunnah) “.[1]
Para fuqaha yang banyak itu sepakat dengan imam Ahmad setelah ditegakkan hujjah oleh imam Ahmad, padahal imam Ahmad disiksa oleh penguasa di zamannya. Coba bandingkan dengan perbuatan firqah HTI, apakah perbuatan mereka seperti yang dilakukan oleh imam Ahmad dan para fuqaha??!
HTI: Lalu, bagaimana bisa dinyatakan bahwa menasehati penguasa haruslah dengan empat mata saja, sementara ulama-ulama yang memiliki ilmu dan ketaqwaannya justru memilih melakukannya dengan terang-terangan dan terbuka?
Tanggapan: Para ulama yang antum ikuti itu tidak jelas kebenaran sanadnya, antum hanya sebatas membeo dan tidak meneliti kebenarannya, namun demikianlah sifat pengikut hawa nafsu.. sementara kisah-kisah ulama yang jelas sesuai dengan sunnah dalam menasehati penguasa, antum tutup-tutupi, hanya untuk mengelabui orang awam.
HTI: Kelemahan hadits riwayat Imam Ahmad. Nash-nash qath’iy telah menunjukkan kepada kita bahwa hukum asal nasehat itu harus disampaikan secara terang-terangan, dan tidak boleh sembunyi-sembunyi. Al Quran dan Sunnah telah menyebut masalah ini dengan sangat jelas.
Tanggapan: Qath’iy yang anda kira ternyata lebih lemah dari sarang laba-laba, karena dalil-dalil yang anda bawakan telah kita jelaskan kelemahannya dalam memahaminya..
HTI: Namun, sebagian orang awam menyangka ada riwayat yang mengkhususkan ketentuan ini. Mereka berpendapat bahwa mengoreksi penguasa harus dilakukan dengan empat mata, karena ada dalil yang mengkhususkan. Mereka berdalih dengan hadits yang sumbernya (tsubutnya) masih perlu dikaji secara mendalam. Hadits itu adalah hadits yang riwayatkan oleh Imam Ahmad.
Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dan berkata:
“Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm mendera penduduk Dariya, ketika berhasil dikalahkan. Hisyam bin Hakim pun mengkritik Iyadl bin Ghanm dengan kasar dan keras, hingga ‘Iyadl marah. Ketika malam datang, Hisyam bin Malik mendatangi ‘Iyadl, dan meminta maaf kepadanya. Lalu Hisyam berkata kepada ‘Iyadl, “Tidakkah engkau mendengar Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya manusia yang mendapat siksa paling keras adalah manusia yang paling keras menyiksa manusia di kehidupan dunia”. ‘Iyadl bin Ghanm berkata, “Ya Hisyam bin Hakim, sungguh, kami mendengar apa yang engkau dengar, dan kami juga menyaksikan apa yang engkau saksikan; tidakkah engkau mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa (orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah), maka janganlah menasehatinya dengan terang-terangan, tetapi ambillah tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima nasehat, maka baginya pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya untuk orang itu. Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala”.[HR. Imam Ahmad]
‘Iyadl bin Ghanm adalah Ibnu Zuhair bin Abiy Syadad, Abu Sa’ad al-Fahri. Beliau adalah seorang shahabat yang memiliki keutamaan. Beliau termasuk shahabat yang melakukan bai’at Ridlwan; dan wafat pada tahun 20 H di Syams.
Hisyam bin Hakim bin Hazam bin Khuwailid al-Qurasyiy al-Asdiy adalah shahabat yang memiliki keutamaan, dan beliau adalah putera dari seorang shahabat. Beliau wafat pada awal-awal masa kekhilafahan Mu’awiyyah bin Abi Sofyan. Ada orang yang menduga bahwa beliau meraih mati syahid di Ajnadain. Beliau disebut di dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dalam haditsnya Umar tatkala ia mendengarnya membaca surat Al Furqan. Beliau wafat sebelum ayahnya meninggal dunia. Imam Muslim, Abu Dawud, dan An Nasaaiy menuturkan hadits dari beliau, sebagaimana disebutkan dalam Kitab At Taqriib.
Di dalam Kitab Tahdziib al-Kamal, Al Maziy berkata, “Diriwayatkan darinya:…dan ‘Urwah bin Az Zubair…hingga akhir. Adapun Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy al-Hamashiy, dia adalah seorang tabi’in tsiqqah (terpercaya). Riwayatnya dari shahabat secara mursal, sebagaimana disebut dalam Tahdziib al-Kamal, “Mohammad bin ‘Auf ditanya apakah Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy mendengar dari Abu Darda’? Mohammad bin ‘Auf menjawab, “Tidak”. Juga ditanyakan kepada Mohammad bin ‘Auf, apakah dia mendengar dari seorang shahabat Nabi saw? Dia menjawab, “Saya kira tidak. Sebab, ia tidak mengatakan dari riwayatnya, “saya mendengar”. Dan dia adalah tsiqqah (terpercaya)”.
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab At Taqriib mengatakan, “Dia tsiqqah (terpercaya), dan banyak meriwayatkan hadits secara mursal; karena tadlisnya. Ibnu Abi Hatim di dalam Kitab Al Maraasiil berkata, “Saya mendengar ayahku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah, al-Harits bin Harits, dan Miqdam. Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya mendengar bapakku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid menuturkan hadits dari Abu Malik Al Asy’ariy secara mursal”.
Jika Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah Shadiy bin ‘Ijlaan al-Bahiliy ra yang wafat pada tahun 76 H dan Miqdam al-Ma’diy Karab ra yang wafat pada tahun 87 H, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa Syuraih bin ‘Ubaid bertemu dengan Hisyam bin Hakim yang wafat pada awal-awal pemerintahan Mu’awiyyah, lebih-lebih lagi ‘Iyadl bin Ghanm yang wafat pada tahun 20 Hijrah pada masa ‘Umar bin Khaththab ra?
Selain itu, Syuraih bin ‘Ubaid ra meriwayatkan hadits itu dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya) dan di dalam hadits itu tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, atau mendengar orang yang mengisahkan kisah tersebut. Dengan demikian, hadits di atas harus dihukumi sebagai hadits munqathi’ (terputus), dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad secara ringkas (mukhtashar) dari Ibnu ‘Abi ‘Ashim di dalam kitab As Sunnah, di mana Imam Ahmad berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami ‘Amru bin ‘Utsman, di mana dia berkata,”Telah meriwayatkan kepada kami Baqiyah, dan dia berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami Sofwan bin ‘Amru, dari Syuraih bin ‘Ubaid, bahwasanya dia berkata, “‘Yadl bin Ghanam berkata kepada Hisyam bin Hakim, tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa janganlah ia sampaikan dengan terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia ambil tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka ia akan mendapatkan pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya”.[HR. Imam Ahmad]
Baqiyyah adalah seorang mudalis. Walaupun Baqiyyah menuturkan hadits ini dengan sharih menurut versi Ibnu Abi ‘Aashim, tetapi, tetap saja tidak bisa menyelamatkan Baqiyyah. Pasalnya, ia adalah perawi yang suka melakukan tadlis dengan tadlis yang buruk (tadlis qabiih) –yakni tadlis taswiyah . Dikhawatirkan dari tadlisnya itu ‘an’anah [(meriwayatkan dengan 'an (dari), 'an (dari)] dari gurunya dari gurunya jika ditarik ke atas. Di dalam Kitab Al Majma’, Imam Al Haitsamiy berkata, “Yang benar, jalur darinya (Syuraih bin ‘Ubaid) hanya berasal dari Hisyam saja. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad, dan rijalnya tsiqat (terpercaya). Akan tetapi, saya tidak mendapati Syuraih bin ‘Ubaid mendengar hadits ini langsung dari ‘Iyadl dan Hisyam, walaupun dia seorang tabi’un.
Catatan lain, Syuraih bin ‘Ubaid meriwayatkan hadits ini dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya), dan di dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, maupun mendengar dari orang yang menceritakan kisah tersebut. Oleh karena itu, hadits ini harus dihukumi sebagai hadits munqathi’; dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Adapun dari jalur-jalur lain, misalnya dari jalur Jabir bin Nafir, maka setelah diteliti, ada perawi yang lemah, yakni Mohammad bin Ismail bin ‘Iyasy.
Jika demikian kenyataannya, gugurlah berdalil dengan hadits riwayat Imam Ahmad di atas.
Tanggapan: sayangnya anda tidak menyebutkan jalan lain, yaitu yang dikeluarkan oleh Ath Thabrani dalam Dalam Al Mu’jamul Kabiir: Haddatsana Amru bin Ishaq bin Zuraiq haddatsana abii (H) haddatsana ‘Imarah bin Wutsaimah Al Mishri dan Abdurrahman bin Mu’awiyah Al ‘Utabi keduanya berkata: HaddatsanaIshaq bin Zuraiq, haddatsana ‘Amru bin Al Harits dari Abdullah bin Salim dari Az Zubaidi haddatsna Al Fadl bin fadlalah mengembalikannya kepada ‘Aidz mengembalikannya kepada Jubair bin Nufair bahwa ‘Iyadl bin Ghanam..dst.
Sanad ini walaupun lemah karena Amru bin Al Harits dikatakan oleh Al Hafidz: Maqbul, demikian pula Al Fadl bin Fadlalah, namun jalan ini menguatkan jalan Muhammad bin Isma’il bin Ayyasy, sehingga naik kepada derajat hasan, dan bila digabungkan dengan sanad imam Ahmad : Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm.. dst. Maka naik kepada derajat shahih, adapun permasalahan Syuraih tidak mendengar dari Iyadl, tidak bermudlarat bila ternyata telah diketahui wasithahnya yaitu Jubair bin Nufair.
Sumber: http://www.abuyahyabadrusalam.com/
[1] Lihat kitab mu’amalatul hukkam karya Syaikh Abdussalam Barjas hal 9.
Langganan:
Postingan (Atom)