Demonstrasi.. Sebuah kata yang sudah “sangat” kita kenal yang “hampir” sehari-hari, baik dari Media Massa atau Media elektronik yang senantiasa membawakan berita-berita yang menyangkut masalah itu. Bahkan bukan tidak mungkin kita sendiri juga pernah menjadi "pelaku" Demonstrasi ini. Tapi muncul sebuah pertanyaan besar dibenak kita, apakah hal ini memang diajarkan dalam Agama kita, Agama Islam, ini?? Apakah memang dengan cara seperti inilah cara yang terbaik??
Mari kita coba untuk membedahnya secara sederhana tapi tetap Ilmiah…
Saudara Saudariku tercinta,
Ada sebagian kalangan yang menilai “Demonstrasi” adalah obat bagi seluruh permasalahan yang sedang menimpa masyarakat, lho kog bisa gitu?? Mungkin anda pun akan bertanya demikian. Masyarakat menilai hanya dengan cara seperti itulah suara mereka akan didengar oleh pemerintah (ulil amri) serta mereka menilai bahwa dengan demonstrasi,mereka bisa mengingatkan Pemerintah yang (mungkin) telah melakukan kesalahan., dan yang lebih unik (tapi saya lebih senang menyebutnya “Aneh”), bahkan tidak sedikit yang menamakannya sebagai aksi yang berlandaskan dari kepedulian dan mengatasnamakan ISLAM.
Lalu, kembali muncul pertanyaan penting, Apakah Benar Demonstrasi itu memang Benar-benar diajarkan oleh Islam ataukah hanya omong kosong, kebohongan dan buaian “mereka” saja??
Perlu kita ketahui, tingkat kebenaran suatu perbuatan haruslah ditimbang dengan berdasarkan dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, jika keduanya”membenarkan” hal atau perbuatan tersebut, maka benarlah, namun jika perbuataan tersebut bertentangan atau bahkan menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah, maka janganlah ragu untuk mengatakan hal itu adalah suatu kebathilan.
Demonstrasi, secara definisi adalah pengungkapan suatu kemauan yang sama dari sekelompok orang dengan membawa atribut-atribut atau tulisan-tulisan yang dapat dan mampu menggambarkan aspirasi mereka. Demonstrasi adalah produk buatan kaum kafir perancis pada revolusi Negara itu pada tahun 1789-1790, dan perlu kalian ketahui juga bahwa membahas demonstrasi tanpa membahas Demokrasi adalah sesuatu yang mustahil, karena Demonstrasi adalah “anak kandung” dari sistem Demokrasi itu sendiri. (Tapi Pembahasan mengenai Sistem Demokrasi ini akan dibahas secara lebih rinci pada pembahasan mendatang).
Pada dasarnya kita telah diperintahkan untuk taat dan patuh kepada Pemerintah (ulil amri), berdasarkan firman Allah.
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Ta’atilah Allah dan Ta’atilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri diantara kamu…..”
(QS An-Nisa’:59)
Ayat tersebut merupakan perintah Allah kepada orang-orang yang beriman agar selalu menaati segala peraturan dari pemerintah, dengan Syarat, bahwa perintah tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
HUKUM DEMONSTRASI
Hukum demonstrasi menurut tinjauan Al-Qur’an dan Sunnah adalah tidak diperbolehkan. Hal ini jelas bertentangan dengan dalil yang tercantum pada Surat An-Nisa’ diatas, namun ada yang berpendapat bahwa Demonstrasi adalah salah satu cara untuk mengingatkan kesalahan Pemerintah (ulil Amri), tapi ketahuilah wahai Akhi Ukhti, bahwa ini adalah Syubhat (kesamaran) yang harus kita pahami. Nah, untuk memahami Syubhat seperti ini butuhlah kita untuk merujuk kepada As-Sunnah Rasulullah Shallahu alaihi wasallam yang Shahih. Rasulullah Shallahu alaihi wasallam tidak pernah menempuh cara seperti ini (demonstrasi-red) untuk mengingatkan pemerintah. Rasulullah Shallahu alaihi wasallam dan sahabatnya hidup dibawah dua imperium besar saat itu, yaitu Persia dan Romawi, tapi Rasulullah dalam mengajak pimpinan dua imperium tersebut untuk masuk ke dalam Islam adalah dengan menyurati pimpinan Negara itu.
Sebab-Sebab Tidak Diperbolehkan Demonstrasi
1.Perkara Baru dalam Agama.
Hal ini jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, dan merupakan cara-cara baru dalam Agama untuk mengingkari suatu kemungkaran yang Ironisnya pelaku utamanya adalah Kaum Muslimin.
2.Tassyabbuh (menyerupai) Orang Kafir
3.Kerusakan yang ditimbulkan akan lebih banyak.
4. Menyelisihi Sunnah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dalam Menasihati Pemimpin.
5.Demonstrasi adalah jalan menuju Pemberontakan.
Hal diatas merupakan sebagian kecil dari sebagian besar Faktor-faktor yang menyebabkan Demonstrasi itu Terlarang dan Dilarang dalam Islam, agama yang Haq ini. Disamping itu, Demonstrasi juga memiliki efek atau dampak negatif, Apa saja itu?
DAMPAK NEGATIF DEMONSTRASI
1.Hilangnya Keamanan dan Ketentraman.
2.Menghilangkan Wibawa Pemimpin.
3.Terbunuhnya nyawa Seorang atau banyak Orang.
4.Kerusakan bangunan, jalan umum, dan fasilitas yang dapat digunakan oleh Masyarakat luas.
5.Mengakibatkan Kemacetan Kendaraan.
Dan yang paling penting untuk kalian renungkan Saudara Saudariku Tercinta,
6..Keluarnya Wanita Muslimah di jalan-jalan serta terjadinya Ikhtilath (bercampur baurnya antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram) yang dapat Menimbulakan Fitnah.
“Tidak ada Fitnah yang lebih besar Sepeninggalku untuk kalian (Laki-Laki) melainkan Fitnah WANITA”
(Muttafaq alaih)
hati ini miris sekali ketika kita sekarang sudah semakin sering disuguhkan dengan adanya Wanita-Wanita Muslimah yang telah Berjilbab dengan “Bagus”, “diharuskan” turun ke jalan-jalan untuk berdemo yang sering juga “dikemas” oleh sebagian kelompok yang menamakan dirinya Islam, dengan “kemasan “ aksi kemanusiaan atau kepedulian (atau yang lebih populer dengan sebutan dikalangan mereka,“Solidaritas”), mereka (Muslimah) terkadang diharuskan untuk “berpanas-panas ria”, berteriak-teriak, serta membawa panji-panji atau spanduk yang juga tidak se-ringan yang kita lihat di televisi.Apakah ini yang mereka (para koordinator atau pencetus demo) namakan aksi yang mengatasnamakan ISLAM??dengan melibatkan wanita-wanita Muslimah?? tentu kalian sekarang sudah bisa menjawabnya sendiri, karena kita telah mengetahui dalil-dalil yang shahih serta dampak-dampak negatif yang ditimbulkan dari adanya Demonstrasi ini. Sungguh Islam sangat Memuliakan dirimu, Ukhti Muslimah…
Janganlah kalian tertipu oleh Syubhat-Syubhat yang mereka “lempar”, dengan memberi label “Aksi Islam”, lalu kalian dapat mengorbankan Aqidah serta Menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallahu alaihi wasallam..
Dan merupakan Kaidah yag dapat kalian jadikan Pedoman dalam menghadapi berbagai Fitnah yang menimpa kita, umat Islam, pada zaman sekarang ini (karena sekarang adalah zaman dimana Fitnah Berkembang dimana-mana) adalah
** mintalah dalil / landasan yang Shahih, baik dari Al-Qur’an dan Hadits, yang dengan keduanya-lah kalian harus berpegang teguh
“….kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(Qs An-Nisa’: 59)
** juga tanyakanlah kepada mereka, Apakah Rasulullah pernah Mencontohkannya / mengerjakannya?? Apakah para Sahabat Radiyallahu anhum Jami’an pernah Melakukan perbuatan itu sepeninggal Rasulullah??
“ Jikalau Perbuatan Itu baik tentulah Mereka adalah yang pertama Melakukannya” karena mereka adalah Didikan dan binaan Langsung dari Rasulullah Shallahu alaihi wasallam
namun segala Fitnah yang (mungkin) menimpa kita tersebut, memiliki solusi penyelesaiannya,
SOLUSI MENGHADAPI PERMASALAHAN (FITNAH)
1.Kembali kepada Ajaran Al-Qur’an dan Sunnah yang Murni menurut Penahaman para Sahabat.
2.Bertaubat dengan Taubatan Nasuha.
3.Ta’at dan patuh kepada Para Pemimpin selama itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
4.Memperbanyak Berdo’a kepada Allah agar menyelamatkan kita dari hembusan Fitnah.
5.Mengembalikan setiap Masalah kepada para Ulama dan pemimpin yang “mampu” menyelesaikannya.
6.Menjauhi Fitnah itu sendiri dan Janganlah Mendekati atau berkecimpung di dalamnya.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan Rahmat serta PetunjukNYA kepada kita semua agar kita terhindar dari Fitnah-Fitnah tersebut.
Wallahu a’lam.
Minggu, 28 Maret 2010
Kamis, 11 Maret 2010
Di Balik Merdunya Nyanyian dan Indahnya Lukisan
Di Balik Merdunya Nyanyian dan Indahnya Lukisan
Siapa yang suka menyanyi atau menggambar? Atau siapa yang suka mendengarkan musik? Mungkin ada banyak orang akan menjawab “Saya!” Ketiga kegiatan tersebut menurut sebagian besar orang bagaikan garam dalam masakan. Banyak orang mengatakan dengan mendengarkan musik atau menggambar akan menjadikan hati yang sedih menjadi terhibur. Namun maukah kalian, wahai saudariku, melihat apa yang Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perbuat terhadapnya? Jika memang kita mengaku sebagai hamba Allah serta pengikut Rasulullah yang setia, hendaknya kita memperhatikan masalah ini dengan sungguh-sungguh.
Dibalik Merdunya Nyanyian dan Musik
Mungkin ada di antara kita yang pernah mendengar bahwa Islam melarang adanya musik dan gambar. Padahal telah kita ketahui bahwa sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya pasti memiliki banyak keburukan bagi manusia.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan di antara manusia ada yang mempergunakan perkataan (suara) yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.” (QS. Luqman: 6)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata tentang ayat ini, “Al-Lahwu (suara) di sini adalah lagu (ghina‘).” Pendapat yang sama juga dikeluarkan oleh Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Sa’id bin Zubair, Qatadah dan Ibrahim rahimakumullah yang menyatakan bahwa yang dimaksud al-lahwu adalah lagu. Hasan Al-Basri berkata bahwa ayat tersebut turun untuk menjelaskan tentang nyanyian dan seruling.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Nanti pasti ada beberapa kelompok dari umatku yang menganggap bahwa zina, sutra, arak dan musik hukumnya halal, (padahal itu semua hukumnya haram).” (HR. Imam Bukhari dan Abu Dawud)
Saudara,saudariku, sebenarnya mengapa Allah dan Rasul-Nya membenci musik dan nyanyian? Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan beberapa di antara bahayanya:
* Musik bagi jiwa seperti arak karena banyak orang yang melakukan berbagai kekejian seperti zina dan penganiayaan dikarenakan mabuknya musik dan penyanyi yang membawakannya. Al-Fadhil bin ‘Iyadh berkata, “Nyanyian adalah tangga menuju zina.”
* Musik dapat menyebabkan pecandunya lebih mencintai penyanyi atau pemain musik lebih daripada cintanya kepada Allah sehingga cintanya tersebut dapat menjatuhkannya ke dalam kesyirikan tanpa dia sadari.
* Musik melalaikan manusia dari ketaatan kepada Allah. Berapa banyak orang yang lebih menyukai musik daripada mendengarkan Al-Qur’an? Berapa banyak orang yang melalaikan sholat karena hatinya tertambat pada lagu atau musik? Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, “Tidak seorang pun yang mendengarkan nyanyian kecuali hatinya munafik yang ia sendiri tidak merasa. Andaikata ia mengerti hakikat kemunafikan pasti ia akan melihat kemunafikan itu di dalam hatinya, sebab tidak mungkin berkumpul di dalam hati seseorang antara ” cinta nyanyian” dan “cinta Al-Qur’an”, kecuali yang satu mengusir yang lain.” Juga perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Nyanyian menimbulkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan sayuran, sedang dzikir menumbuhkan iman dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.” Serta Imam Ahmad rahimahullah, “Nyanyian itu dapat menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.” Kemudian ketika ditanya tentang syair-syair Arab yang dinyanyikan, beliau berkata, “Aku tidak menyukainya, ia adalah amalan baru, tidak boleh duduk bersama untuk mendengarkannya.”
begitu juga seperti jaman sekarang yang memperhalusnya dengan sebutan "Nasyid Islami", yang juga dengan alasan sebagai media Dakwah.. Bolehkah aku bertanya kepada kalian, Siapakah yang paling tau cara berdakwah yang paling benar? tentu tidak ragu lagi kita untuk menjawab, Rasulullah Shallahu 'alaihi wasallam, sedangkan Rasulullah tidak pernah sekalipun menggunakannya (baik Nasyid apalagi nyanyian) sebagai media dakwah, begitu pula generasi terbaik, Salafush Shalih (Sahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in), lalu kita untuk mencoba-coba untuk menganggap bahwa ada cara lain yg lebih baik dari metode yang telah ditempuh Rasulullah..
Tempuhlah apa yang telah ditempuh Rasulullah beserta para sahabatnya dalam segala hal, khususnya dalam Metode Berdakwah, dan perlu diketahui, Dakwah tidak akan selalu mencapai puncak keberhasilan, dan Banyaknya pengikut (kuantitas) bukan merupakan ukuran dari kesuksesan dalam medan dakwah, betapa kita lihat bahwa Musailamah Al-Kadzab, seseorang yg mengaku-aku nabi setelah Rasulullah, mempunyai 12 ribu pengikut, apakah lantas kita melegitimasikan dia sebagai nabi karena pengikutnya?? tentu tidak bukan... jadi, Dakwah Rasulullah lebih di titik beratkan kpd Kualitas drpd kuantitas, meskipun sedikit aslakan berbobot itu jauh lebih baik,,,
kembali ke masalah musik,
Jumhur ulama berpendapat bahwa musik dan nyanyian adalah sesuatu yang terlarang, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i yang berpendapat bahwa nyanyian itu tidak disukai (baca = haram) karena menyerupai kebatilan, adapun mendengarkan lagu adalah termasuk dosa.
Nyanyian yang Diperbolehkan
Namun benarkah, dalam Islam semua bentuk nyanyian terlarang? Perlu kita ketahui bahwa ada beberapa nyanyian(syair) "TANPA" musik yang diperbolehkan dalam Islam, yaitu:
1. Nyanyian di hari raya yang dilakukan oleh wanita. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
“Rasulullah masuk menemui ‘Aisyah. Di dekatnya ada dua anak perempuan yang sedang memainkan rebana. Lalu Abu Bakar membentak mereka, maka Rasulullah bersabda: biarkanlah mereka, karena setiap kaum mempunyai hari raya dan hari raya kita adalah hari ini.” (HR. Bukhari)
perlu digarisbawahi bahwa wanita yg diperbolehkan hanyalah anak perempuan yg belum memasuki masa Baligh..
2. Nyanyian yang diiringi rebana (Duff) pada waktu pernikahan dengan maksud memeriahkan atau mengumumkan akad nikah dan mendorong orang untuk menikah tanpa berisi pujian akan kecantikan seseorang atau pelanggaran terhadap syari’at. Namun nyanyian ini dinyanyikan oleh wanita dan diperdengarkan di kalangan wanita pula.itupun oleh wanita yg belum baligh alias anak kecil.
Diriwayatkan dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata, “Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku ketika saya menikah. Beliau duduk di atas kasurku dan jarak beliau dengan saya seperti jarak tempat dudukku dengan tempat dudukmu. Untuk memeriahkan pernikahan kami, beberapa orang gadis tetangga kami menabuh rebana dan menyanyikan lagu-lagu yang mengisahkan para pahlawan Perang Badar. Ketika mereka asyik bernyanyi, ada salah seorang di antara mereka yang mendendangkan, ‘Di tengah-tengah kita ada Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok.’ Mendengar syair seperti itu Nabi berkata kepadanya, ‘Tinggalkan ucapan seperti itu! Bernyanyilah seperti nyanyian-nyanyian sebelumnya saja!’” (HR. Bukhari)
3. Nyanyian pada waktu kerja yang mendorong untuk giat dan rajin bekerja terutama bila mengandung do’a atau nyanyian yang berisi tauhid atau cinta kepada Rasulullah yang menyebut akhlaknya atau berisi ajakan jihad, memperbaiki budi pekerti, mengajak persatuan, tolong-menolong sesama umat atau menyebut dasar-dasar Islam.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan rahimahullah berkata bahwa syair-syair yang diperdengarkan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah dilantunkan dengan paduan suara semacam nyanyian-nyanyian, dan tidak pula dinamakan nasyid-nasyid Islami, namun ia hanyalah syair-syair Arab yang mencakup hukum-hukum dan tamtsil (permisalan), penunjukan sifat keperwiraan dan kedermawanan. Selain itu, para sahabat melantunkannya secara sendirian dikarenakan makna yang terdapat di dalamnya. Mereka melantunkan sebagai syair ketika bekerja yang melelahkan, seperti membangun (masjid) serta berjalan di waktu malam saat safar (jihad). Maka perbuatan mereka ini menunjukkan atas diperbolehkannya lantunan (syair) ini, dalam keadaan khusus (seperti) ini. Selain itu, mereka tidak pernah menjadikan nyanyian sebagai kebiasaan yang dilakukan terus-menerus, karena para shahabat adalah generasi yang selalu mengisi hari-harinya dengan Al-Qur’an dan tidak pernah tersibukkan dengan selain Al-Qur’an.
4. Adapun terbang (rebana) hanya boleh dimainkan pada waktu hari raya serta pernikahan dan tidak boleh dipakai ketika berdzikir seperti yang biasa dilakukan oleh kaum sufi, karena Rasulullah dan para shahabatnya tidak pernah melakukannya.
Obat Bagi Hati
Jika setiap penyakit ada obatnya, maka bagaimana cara untuk mengobati kecanduan akan musik dan nyanyian? Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah menyebutkan 3 cara menghindari nyanyian dan musik:
1. Menjauhkan diri dari mendengarkan nyanyian dan musik melalui televisi, radio, dan lain-lain, terutama lagu-lagu yang seronok.
2. Membaca Al-Qur’an, terutama surat Al-Baqarah.
“Sesungguhnya syaitan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim)
3. Mempelajari riwayat hidup Rasulullah sebagai seorang yang berakhlak mulia serta para shahabatnya.
Untuk pertama kali, mungkin masih ada yang merasa sulit untuk menghilangkan kebiasaan mendengarkan musik. Namun saudariku, kita harus yakin bahwa dalam setiap larangan-Nya selalu ada hikmah yang besar bagi kita.
Hakikat Dibalik Keindahan Lukisan, Gambar dan Patung
Hakikat diutusnya para nabi dan rasul adalah untuk mendakwahkan kepada manusia agar menyembah pada Allah semata, yaitu memurnikan aqidah dari kesyirikan. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (yang berseru) sembahlah Allah dan tinggalkan thaghut itu. ” (QS. An-Nahl: 36)
Pada zaman dahulu, banyak orang menjadi kafir karena menyembah patung di samping menyembah Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana orang-orang Quraisy yang kafir karena menyembah berhala. Awal mula penyembahan patung adalah karena sikap orang-orang pada zaman Nuh ‘alahissalam berlebihan dalam mengagungkan orang shalih. Setelah orang-orang shalih itu meninggal, mereka kemudian membuat patung orang-orang shalih tersebut yang lama-kelamaan menjadikannya sebagai sesembahan. Inilah salah satu sebab mengapa Islam melarang memajang patung maupun membuat gambar makhluk bernyawa karena hal itu dapat menjadi sarana terjadinya kesyirikan.
Banyak orang yang berkata bahwa sekarang ini sudah tidak ada orang yang menyembah patung lagi. Namun hal tersebut adalah sebuah kekeliruan besar. Berapa banyak orang-orang yang kufur (Nasrani, Hindu, Budha, dll) karena mereka lebih memilih menyembah patung yang tidak memiliki kekuasaan sedikitpun daripada menyembah Allah ‘Azza wa Jalla? Apakah patung-patung tersebut mampu melindungi pemujanya ketika mereka dalam kesusahan? Jangankan membela pemujanya, membela diri mereka saja mereka tidak akan bisa. Yang ada justru pemujanya yang melindungi mereka, karena bagaimanapun patung-patung itu adalah benda mati yang dibuat oleh manusia.
Benarkah Islam telah melarang adanya patung dan membuat gambar-gambar makhluk bernyawa? Lalu apa buktinya? Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka berkata, Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwad, Yaghuts, Ya’uq dan Nashr. Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia).’” (QS. Nuh: 23-24)
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku. waktu itu tirai penutup bilik saya berupa kain tipis yang penuh dengan gambar (dalam riwayat lain disebutkan: terdapat gambar kuda-kuda bersayap.) Melihat tirai tersebut, beliau merobeknya dan wajahnya terlihat merah padam. Beliau kemudian bersabda, ‘Wahai ‘Aisyah, manusia yang disiksa dengan siksaan yang paling keras pada hari kiamat kelak adalah orang-orang yang membuat sesuatu yang menyerupai ciptaan Allah’ (Dalam riwayat lain: ‘Sesungguhnya pembuat gambar-gambar ini kelak akan disiksa dan dikatakan kepadanya, ‘Hidupkanlah apa yang telah kamu ciptakan ini!” Beliau kemudian bersabda, “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar tidak akan dimasuki malaikat.”) ‘Aisyah berkata, ‘Saya kemudian memotong kain tersebut dan menjadikan sebuah bantal atau dua bantal. (Saya kemudian melihat beliau duduk di atas salah satu dari dua bantal itu meskipun bantal tersebut masih bergambar.)’” (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqi, Al-Baghawi, Ats-Tsaqafi, ‘Abdurrazaq dan Ahmad)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu Ta’ala mengomentari hadist tersebut dengan adanya dua petunjuk:
Pertama, haramnya menggantung gambar atau sesuatu yang mengandung gambar.
Kedua, larangan membuat gambar, baik berupa patung maupun gambar biasa. Dengan kata lain menurut mayoritas ulama, baik yang memiliki bayangan (3 dimensi) atau tidak.
Hadist di atas dikuatkan dengan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang mengisahkan bahwa Jibril ‘alaihissalam mendatangi rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata kepada beliau, “Sesungguhnya di dalam rumah tersebut terdapat korden yang bergambar. Oleh karena itu, hendaklah kalian memotong kepala gambar-gambar tersebut, lalu jadikanlah sebagai hamparan atau bantal, lalu gunakanlah untuk bersandar, karena kami tidak mau memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah memerintahkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, “Jangan kau biarkan patung-patung itu sebelum kau jadikan tidak berbentuk dan jangan pula kau tinggal kuburan yang menggunduk tinggi sebelum kau ratakan.” (HR. Muslim)
Adapun gambar bagian-bagian tubuh kecuali muka adalah diperbolehkan menurut sebagian ulama semisal gambar tangan, kaki, dan lain-lain. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah, “Di dalam rumah itu terdapat tirai dari kain tipis yang bergambar patung dan di dalam rumah itu terdapat seekor anjing. Perintahkan agar gambar kepala patung yang berada di pintu rumah itu dipotong sehingga bentuknya menyerupai pohon, dan perintahkan agar tirai itu dipotong dan dijadikan dua buah bantal untuk bersandar dan perintahkan agar anjing itu dikeluarkan dari rumah.” (HR. At-Tirmidzi dalam Al-Adab 2806)
Bahaya Patung dan Gambar
Islam tidak mengharamkan sesuatu kecuali adanya bahaya yang mengancam agama, akhlak dan harta manusia. Islam melarang patung dan gambar makhluk bernyawa karena banyak mendatangkan bahaya:
1. Patung dan gambar dapat menjadi sarana kesyirikan, karena awal mula dari kesyirikan dan kekufuran adalah adanya pemujaan terhadap patung dan berhala.
2. Pada masa sekarang ini banyak dipasang gambar-gambar wanita yang terbuka auratnya di sepanjang jalan dengan ukuran sangat besar. Hal ini seakan-akan sudah dianggap sebagai sesuatu yang biasa, padahal Islam sangat memuliakan wanita. Namun justru wanita sendiri yang rela dirinya dieksploitasi dengan dalih seni dan keindahan.
3. Manusia yang paling pedih siksanya adalah pelukis dan pembuat gambar karena mereka meniru ciptaan Allah.
“Orang yang paling mendapat siksa pada hari kiamat adalah para pembuat gambar (pelukis)” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya pemilik gambar ini akan diadzab dan akan dikatakan kepada mereka. Hidupkanlah apa yang telah engkau ciptakan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Membuat patung dan gambar adalah merupakan pemborosan karena biaya yang dihabiskan untuk membuat maupun membelinya kadang sampai mencapai jutaan rupiah.
5. Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar atau lukisan makhluk yang bernyawa. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah, “Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan lukisan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Gambar dan Patung yang Diperbolehkan
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menyebutkan bahwa terdapat beberapa gambar dan patung yang diperbolehkan, yaitu:
1. Gambar dan patung selain makhluk bernyawa.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Apabila anda harus membuat gambar, gambarlah pohon atau sesuatu yang tidak ada nyawanya.” (HR.Bukhari)
2. Gambar-gambar yang dipasang di kartu pengenal seperti paspor, SIM dan lain-lain yang diperbolehkan karena keperluan darurat.
3. Foto penjahat agar mereka dapat ditangkap untuk dihukum.
4. Barang mainan anak perempuan yang dibuat dari kain seperti boneka berupa anak kecil yang dipakaikan baju dengan maksud untuk mendidik rasa kasih sayang pada anak perempuan. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Saya bermain-main dengan boneka berbentuk anak perempuan di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari)
5. Diperbolehkan gambar yang dipotong kepalanya sehingga tidak menggambarkan makhluk bernyawa lagi. Hal ini berdasarkan perintah malaikat Jibril ‘alaihissalam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memotong kepala gambar seperti pada hadist yang telah disebutkan sebelumnya.
Demikianlah bagaimana agama yang hanif (lurus) ini telah menggariskan yang terbaik bagi manusia. Hanya orang-orang yang beriman yang akan mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan bersegera dan penuh keikhlasan. Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang bertaqwa. Allahu Ta’ala a’lam.
Maraji’:
Adab Az-Zifaf (edisi terjemah) karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Bimbingan UntukPribadi dan Masyarakat (Taujihaat Islamiyyah) karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’ (edisi terjemah) karya Imam As-Suyuthi
Siapa yang suka menyanyi atau menggambar? Atau siapa yang suka mendengarkan musik? Mungkin ada banyak orang akan menjawab “Saya!” Ketiga kegiatan tersebut menurut sebagian besar orang bagaikan garam dalam masakan. Banyak orang mengatakan dengan mendengarkan musik atau menggambar akan menjadikan hati yang sedih menjadi terhibur. Namun maukah kalian, wahai saudariku, melihat apa yang Allah Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perbuat terhadapnya? Jika memang kita mengaku sebagai hamba Allah serta pengikut Rasulullah yang setia, hendaknya kita memperhatikan masalah ini dengan sungguh-sungguh.
Dibalik Merdunya Nyanyian dan Musik
Mungkin ada di antara kita yang pernah mendengar bahwa Islam melarang adanya musik dan gambar. Padahal telah kita ketahui bahwa sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya pasti memiliki banyak keburukan bagi manusia.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan di antara manusia ada yang mempergunakan perkataan (suara) yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.” (QS. Luqman: 6)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata tentang ayat ini, “Al-Lahwu (suara) di sini adalah lagu (ghina‘).” Pendapat yang sama juga dikeluarkan oleh Ikrimah, Mujahid, al-Hasan, Sa’id bin Zubair, Qatadah dan Ibrahim rahimakumullah yang menyatakan bahwa yang dimaksud al-lahwu adalah lagu. Hasan Al-Basri berkata bahwa ayat tersebut turun untuk menjelaskan tentang nyanyian dan seruling.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Nanti pasti ada beberapa kelompok dari umatku yang menganggap bahwa zina, sutra, arak dan musik hukumnya halal, (padahal itu semua hukumnya haram).” (HR. Imam Bukhari dan Abu Dawud)
Saudara,saudariku, sebenarnya mengapa Allah dan Rasul-Nya membenci musik dan nyanyian? Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan beberapa di antara bahayanya:
* Musik bagi jiwa seperti arak karena banyak orang yang melakukan berbagai kekejian seperti zina dan penganiayaan dikarenakan mabuknya musik dan penyanyi yang membawakannya. Al-Fadhil bin ‘Iyadh berkata, “Nyanyian adalah tangga menuju zina.”
* Musik dapat menyebabkan pecandunya lebih mencintai penyanyi atau pemain musik lebih daripada cintanya kepada Allah sehingga cintanya tersebut dapat menjatuhkannya ke dalam kesyirikan tanpa dia sadari.
* Musik melalaikan manusia dari ketaatan kepada Allah. Berapa banyak orang yang lebih menyukai musik daripada mendengarkan Al-Qur’an? Berapa banyak orang yang melalaikan sholat karena hatinya tertambat pada lagu atau musik? Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, “Tidak seorang pun yang mendengarkan nyanyian kecuali hatinya munafik yang ia sendiri tidak merasa. Andaikata ia mengerti hakikat kemunafikan pasti ia akan melihat kemunafikan itu di dalam hatinya, sebab tidak mungkin berkumpul di dalam hati seseorang antara ” cinta nyanyian” dan “cinta Al-Qur’an”, kecuali yang satu mengusir yang lain.” Juga perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Nyanyian menimbulkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan sayuran, sedang dzikir menumbuhkan iman dalam hati seperti air menumbuhkan tanaman.” Serta Imam Ahmad rahimahullah, “Nyanyian itu dapat menumbuhkan kemunafikan di dalam hati.” Kemudian ketika ditanya tentang syair-syair Arab yang dinyanyikan, beliau berkata, “Aku tidak menyukainya, ia adalah amalan baru, tidak boleh duduk bersama untuk mendengarkannya.”
begitu juga seperti jaman sekarang yang memperhalusnya dengan sebutan "Nasyid Islami", yang juga dengan alasan sebagai media Dakwah.. Bolehkah aku bertanya kepada kalian, Siapakah yang paling tau cara berdakwah yang paling benar? tentu tidak ragu lagi kita untuk menjawab, Rasulullah Shallahu 'alaihi wasallam, sedangkan Rasulullah tidak pernah sekalipun menggunakannya (baik Nasyid apalagi nyanyian) sebagai media dakwah, begitu pula generasi terbaik, Salafush Shalih (Sahabat, Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in), lalu kita untuk mencoba-coba untuk menganggap bahwa ada cara lain yg lebih baik dari metode yang telah ditempuh Rasulullah..
Tempuhlah apa yang telah ditempuh Rasulullah beserta para sahabatnya dalam segala hal, khususnya dalam Metode Berdakwah, dan perlu diketahui, Dakwah tidak akan selalu mencapai puncak keberhasilan, dan Banyaknya pengikut (kuantitas) bukan merupakan ukuran dari kesuksesan dalam medan dakwah, betapa kita lihat bahwa Musailamah Al-Kadzab, seseorang yg mengaku-aku nabi setelah Rasulullah, mempunyai 12 ribu pengikut, apakah lantas kita melegitimasikan dia sebagai nabi karena pengikutnya?? tentu tidak bukan... jadi, Dakwah Rasulullah lebih di titik beratkan kpd Kualitas drpd kuantitas, meskipun sedikit aslakan berbobot itu jauh lebih baik,,,
kembali ke masalah musik,
Jumhur ulama berpendapat bahwa musik dan nyanyian adalah sesuatu yang terlarang, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i yang berpendapat bahwa nyanyian itu tidak disukai (baca = haram) karena menyerupai kebatilan, adapun mendengarkan lagu adalah termasuk dosa.
Nyanyian yang Diperbolehkan
Namun benarkah, dalam Islam semua bentuk nyanyian terlarang? Perlu kita ketahui bahwa ada beberapa nyanyian(syair) "TANPA" musik yang diperbolehkan dalam Islam, yaitu:
1. Nyanyian di hari raya yang dilakukan oleh wanita. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
“Rasulullah masuk menemui ‘Aisyah. Di dekatnya ada dua anak perempuan yang sedang memainkan rebana. Lalu Abu Bakar membentak mereka, maka Rasulullah bersabda: biarkanlah mereka, karena setiap kaum mempunyai hari raya dan hari raya kita adalah hari ini.” (HR. Bukhari)
perlu digarisbawahi bahwa wanita yg diperbolehkan hanyalah anak perempuan yg belum memasuki masa Baligh..
2. Nyanyian yang diiringi rebana (Duff) pada waktu pernikahan dengan maksud memeriahkan atau mengumumkan akad nikah dan mendorong orang untuk menikah tanpa berisi pujian akan kecantikan seseorang atau pelanggaran terhadap syari’at. Namun nyanyian ini dinyanyikan oleh wanita dan diperdengarkan di kalangan wanita pula.itupun oleh wanita yg belum baligh alias anak kecil.
Diriwayatkan dari Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata, “Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke tempatku ketika saya menikah. Beliau duduk di atas kasurku dan jarak beliau dengan saya seperti jarak tempat dudukku dengan tempat dudukmu. Untuk memeriahkan pernikahan kami, beberapa orang gadis tetangga kami menabuh rebana dan menyanyikan lagu-lagu yang mengisahkan para pahlawan Perang Badar. Ketika mereka asyik bernyanyi, ada salah seorang di antara mereka yang mendendangkan, ‘Di tengah-tengah kita ada Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok.’ Mendengar syair seperti itu Nabi berkata kepadanya, ‘Tinggalkan ucapan seperti itu! Bernyanyilah seperti nyanyian-nyanyian sebelumnya saja!’” (HR. Bukhari)
3. Nyanyian pada waktu kerja yang mendorong untuk giat dan rajin bekerja terutama bila mengandung do’a atau nyanyian yang berisi tauhid atau cinta kepada Rasulullah yang menyebut akhlaknya atau berisi ajakan jihad, memperbaiki budi pekerti, mengajak persatuan, tolong-menolong sesama umat atau menyebut dasar-dasar Islam.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan rahimahullah berkata bahwa syair-syair yang diperdengarkan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah dilantunkan dengan paduan suara semacam nyanyian-nyanyian, dan tidak pula dinamakan nasyid-nasyid Islami, namun ia hanyalah syair-syair Arab yang mencakup hukum-hukum dan tamtsil (permisalan), penunjukan sifat keperwiraan dan kedermawanan. Selain itu, para sahabat melantunkannya secara sendirian dikarenakan makna yang terdapat di dalamnya. Mereka melantunkan sebagai syair ketika bekerja yang melelahkan, seperti membangun (masjid) serta berjalan di waktu malam saat safar (jihad). Maka perbuatan mereka ini menunjukkan atas diperbolehkannya lantunan (syair) ini, dalam keadaan khusus (seperti) ini. Selain itu, mereka tidak pernah menjadikan nyanyian sebagai kebiasaan yang dilakukan terus-menerus, karena para shahabat adalah generasi yang selalu mengisi hari-harinya dengan Al-Qur’an dan tidak pernah tersibukkan dengan selain Al-Qur’an.
4. Adapun terbang (rebana) hanya boleh dimainkan pada waktu hari raya serta pernikahan dan tidak boleh dipakai ketika berdzikir seperti yang biasa dilakukan oleh kaum sufi, karena Rasulullah dan para shahabatnya tidak pernah melakukannya.
Obat Bagi Hati
Jika setiap penyakit ada obatnya, maka bagaimana cara untuk mengobati kecanduan akan musik dan nyanyian? Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah menyebutkan 3 cara menghindari nyanyian dan musik:
1. Menjauhkan diri dari mendengarkan nyanyian dan musik melalui televisi, radio, dan lain-lain, terutama lagu-lagu yang seronok.
2. Membaca Al-Qur’an, terutama surat Al-Baqarah.
“Sesungguhnya syaitan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim)
3. Mempelajari riwayat hidup Rasulullah sebagai seorang yang berakhlak mulia serta para shahabatnya.
Untuk pertama kali, mungkin masih ada yang merasa sulit untuk menghilangkan kebiasaan mendengarkan musik. Namun saudariku, kita harus yakin bahwa dalam setiap larangan-Nya selalu ada hikmah yang besar bagi kita.
Hakikat Dibalik Keindahan Lukisan, Gambar dan Patung
Hakikat diutusnya para nabi dan rasul adalah untuk mendakwahkan kepada manusia agar menyembah pada Allah semata, yaitu memurnikan aqidah dari kesyirikan. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada setiap umat (yang berseru) sembahlah Allah dan tinggalkan thaghut itu. ” (QS. An-Nahl: 36)
Pada zaman dahulu, banyak orang menjadi kafir karena menyembah patung di samping menyembah Allah ‘Azza wa Jalla sebagaimana orang-orang Quraisy yang kafir karena menyembah berhala. Awal mula penyembahan patung adalah karena sikap orang-orang pada zaman Nuh ‘alahissalam berlebihan dalam mengagungkan orang shalih. Setelah orang-orang shalih itu meninggal, mereka kemudian membuat patung orang-orang shalih tersebut yang lama-kelamaan menjadikannya sebagai sesembahan. Inilah salah satu sebab mengapa Islam melarang memajang patung maupun membuat gambar makhluk bernyawa karena hal itu dapat menjadi sarana terjadinya kesyirikan.
Banyak orang yang berkata bahwa sekarang ini sudah tidak ada orang yang menyembah patung lagi. Namun hal tersebut adalah sebuah kekeliruan besar. Berapa banyak orang-orang yang kufur (Nasrani, Hindu, Budha, dll) karena mereka lebih memilih menyembah patung yang tidak memiliki kekuasaan sedikitpun daripada menyembah Allah ‘Azza wa Jalla? Apakah patung-patung tersebut mampu melindungi pemujanya ketika mereka dalam kesusahan? Jangankan membela pemujanya, membela diri mereka saja mereka tidak akan bisa. Yang ada justru pemujanya yang melindungi mereka, karena bagaimanapun patung-patung itu adalah benda mati yang dibuat oleh manusia.
Benarkah Islam telah melarang adanya patung dan membuat gambar-gambar makhluk bernyawa? Lalu apa buktinya? Allah Ta’ala berfirman, “Dan mereka berkata, Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwad, Yaghuts, Ya’uq dan Nashr. Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia).’” (QS. Nuh: 23-24)
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangiku. waktu itu tirai penutup bilik saya berupa kain tipis yang penuh dengan gambar (dalam riwayat lain disebutkan: terdapat gambar kuda-kuda bersayap.) Melihat tirai tersebut, beliau merobeknya dan wajahnya terlihat merah padam. Beliau kemudian bersabda, ‘Wahai ‘Aisyah, manusia yang disiksa dengan siksaan yang paling keras pada hari kiamat kelak adalah orang-orang yang membuat sesuatu yang menyerupai ciptaan Allah’ (Dalam riwayat lain: ‘Sesungguhnya pembuat gambar-gambar ini kelak akan disiksa dan dikatakan kepadanya, ‘Hidupkanlah apa yang telah kamu ciptakan ini!” Beliau kemudian bersabda, “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar tidak akan dimasuki malaikat.”) ‘Aisyah berkata, ‘Saya kemudian memotong kain tersebut dan menjadikan sebuah bantal atau dua bantal. (Saya kemudian melihat beliau duduk di atas salah satu dari dua bantal itu meskipun bantal tersebut masih bergambar.)’” (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqi, Al-Baghawi, Ats-Tsaqafi, ‘Abdurrazaq dan Ahmad)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu Ta’ala mengomentari hadist tersebut dengan adanya dua petunjuk:
Pertama, haramnya menggantung gambar atau sesuatu yang mengandung gambar.
Kedua, larangan membuat gambar, baik berupa patung maupun gambar biasa. Dengan kata lain menurut mayoritas ulama, baik yang memiliki bayangan (3 dimensi) atau tidak.
Hadist di atas dikuatkan dengan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang mengisahkan bahwa Jibril ‘alaihissalam mendatangi rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata kepada beliau, “Sesungguhnya di dalam rumah tersebut terdapat korden yang bergambar. Oleh karena itu, hendaklah kalian memotong kepala gambar-gambar tersebut, lalu jadikanlah sebagai hamparan atau bantal, lalu gunakanlah untuk bersandar, karena kami tidak mau memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah memerintahkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, “Jangan kau biarkan patung-patung itu sebelum kau jadikan tidak berbentuk dan jangan pula kau tinggal kuburan yang menggunduk tinggi sebelum kau ratakan.” (HR. Muslim)
Adapun gambar bagian-bagian tubuh kecuali muka adalah diperbolehkan menurut sebagian ulama semisal gambar tangan, kaki, dan lain-lain. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah, “Di dalam rumah itu terdapat tirai dari kain tipis yang bergambar patung dan di dalam rumah itu terdapat seekor anjing. Perintahkan agar gambar kepala patung yang berada di pintu rumah itu dipotong sehingga bentuknya menyerupai pohon, dan perintahkan agar tirai itu dipotong dan dijadikan dua buah bantal untuk bersandar dan perintahkan agar anjing itu dikeluarkan dari rumah.” (HR. At-Tirmidzi dalam Al-Adab 2806)
Bahaya Patung dan Gambar
Islam tidak mengharamkan sesuatu kecuali adanya bahaya yang mengancam agama, akhlak dan harta manusia. Islam melarang patung dan gambar makhluk bernyawa karena banyak mendatangkan bahaya:
1. Patung dan gambar dapat menjadi sarana kesyirikan, karena awal mula dari kesyirikan dan kekufuran adalah adanya pemujaan terhadap patung dan berhala.
2. Pada masa sekarang ini banyak dipasang gambar-gambar wanita yang terbuka auratnya di sepanjang jalan dengan ukuran sangat besar. Hal ini seakan-akan sudah dianggap sebagai sesuatu yang biasa, padahal Islam sangat memuliakan wanita. Namun justru wanita sendiri yang rela dirinya dieksploitasi dengan dalih seni dan keindahan.
3. Manusia yang paling pedih siksanya adalah pelukis dan pembuat gambar karena mereka meniru ciptaan Allah.
“Orang yang paling mendapat siksa pada hari kiamat adalah para pembuat gambar (pelukis)” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sesungguhnya pemilik gambar ini akan diadzab dan akan dikatakan kepada mereka. Hidupkanlah apa yang telah engkau ciptakan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Membuat patung dan gambar adalah merupakan pemborosan karena biaya yang dihabiskan untuk membuat maupun membelinya kadang sampai mencapai jutaan rupiah.
5. Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar atau lukisan makhluk yang bernyawa. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah, “Malaikat tidak akan masuk rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan lukisan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Gambar dan Patung yang Diperbolehkan
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menyebutkan bahwa terdapat beberapa gambar dan patung yang diperbolehkan, yaitu:
1. Gambar dan patung selain makhluk bernyawa.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Apabila anda harus membuat gambar, gambarlah pohon atau sesuatu yang tidak ada nyawanya.” (HR.Bukhari)
2. Gambar-gambar yang dipasang di kartu pengenal seperti paspor, SIM dan lain-lain yang diperbolehkan karena keperluan darurat.
3. Foto penjahat agar mereka dapat ditangkap untuk dihukum.
4. Barang mainan anak perempuan yang dibuat dari kain seperti boneka berupa anak kecil yang dipakaikan baju dengan maksud untuk mendidik rasa kasih sayang pada anak perempuan. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Saya bermain-main dengan boneka berbentuk anak perempuan di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari)
5. Diperbolehkan gambar yang dipotong kepalanya sehingga tidak menggambarkan makhluk bernyawa lagi. Hal ini berdasarkan perintah malaikat Jibril ‘alaihissalam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memotong kepala gambar seperti pada hadist yang telah disebutkan sebelumnya.
Demikianlah bagaimana agama yang hanif (lurus) ini telah menggariskan yang terbaik bagi manusia. Hanya orang-orang yang beriman yang akan mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan bersegera dan penuh keikhlasan. Semoga kita semua termasuk ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang bertaqwa. Allahu Ta’ala a’lam.
Maraji’:
Adab Az-Zifaf (edisi terjemah) karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Bimbingan UntukPribadi dan Masyarakat (Taujihaat Islamiyyah) karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’ (edisi terjemah) karya Imam As-Suyuthi
Siapakah Sih SURURI itu....
Apa Sih Sebenernya SURURI itu??
Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarokatuh..
Segala puji bagi Allah, kami memuji dan memohonpertolongan serta ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi Petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tidak ada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk
Aku Bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Shalawat serta salam, semoga senantiasa tercurah padanya, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari kiamat kelak.
Jika sampai detik anda membaca tulisan sederhana ini, anda masih bertanya-tanya, apa sih SURURI itu? Siapa sih yang disebut SURURI itu? Mungkin melalui tulisan ini Allah dapat memberikan kepahaman terhadap kita yang masih memiliki pertanyaan-pertanyaan diatas.
Kita mulai dari,
Siapakah SURURI itu?
Sururi adalah sekelompok orang yang sepaham / sealiran / sependapat dengan Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Perlu diketahui juga bahwa Muhammad Surur ini tinggal di London, Inggris.
Awal Kemunculan paham SURURI ini…
Paham ini pertama kali muncul pada saat tentara Iraq yang dipimpin langsung oleh Saddam Husein, menginvasi Kuwait, tepatnya pada Perang Teluk, lalu berlanjut untuk mendekati Arab Saudi, sedangkan kondisi di Saudi tidak memiliki persenjataan yang cukup untuk melawan kekuatan Iraq. Lalu Para Ulama Kibar di Riyadh kemudian mem’boleh’kan Pemerintah pada saat itu untuk meminta bantuan terhadap Negara-negara kafir, tapi dengan syarat hanya sebagai penghalau (defend) bukan untuk menyerang balik (counter) Iraq.
Lau muncullah Fitnah bahwa Ulama-Ulama Kibar telah menganjurkan pemerintah Saudi, yang notabene sebagai satu-satunya Negara yg menerapkan Syariat Islam Mutlak, untuk bekerja sama dengan Negara kafir yg merupakan musuh Islam sendiri.
Allah ta’ala berfirman,
“Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, Jauhilah banyak dari Prasangka, (karena) sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain….”
(QS. Al-Hujarat :12)
Setelah itu, apa sih yang mereka tonjolkan dari pemikiran mereka?
Dapat kita tarik beberapa poin yang menjadi pemikiran yang menonjol dari Sururi,
Menghina Kitab-Kitab Aqidah.
> Muhammad Surur mengarang sebuah kitab yang berjudul “Manhajul Anbiya’ Bi Da’wah ilallah” yang diantaranya menyebutkan, bahwa Kitab Aqidah, sudah tidak relevan lagi pada masa sekarang ini. Dia juga mengatakan bahwa tahap-tahap penyelesaian para ulama-ulama yang terdapat dalam kitab-kitab Aqidah tersebut sudah tidak mampu lagi menyelesaikan permasalahan pada masa kini. Jadi, “kita membutuhkan cara-cara yang baru dalam memecahkan masalah itu”. Namun demikian, juga sebagai patokan bahwa mereka tersebut (Sururiyyun) hanya mengambil beberapa Ulama saja yang belum teruji keilmiahannya dengan meninggalkan Ulama / Masayaikh yang sudah masyhur akan keilmuannya. Apa namanya kalo bukan Taqlid buta???
> Dia juga mengatakan bahwa bahasa-bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab Aqidah itu terlalu berisi kata-kata yang “Kasar”, karena didalamnya terdapat hukum-hukum tentang Islam ini yang menyebabkan pemuda enggan untuk mempelajarinya. Syaikh Shalih Fauzan bin Fauzan menanggapi perkataan mereka, bahwa ungkapan yang mengatakan Kitab Aqidah berisi kata-kata kasar adalah salah satu trik atau cara untuk semakin menjauhkan Para Pemuda yang merupakan dambaan, penerus, serta pembangun Kejayaan Islam ini dari Nasihat-Nasihat para Ulama yang sudah teruji kadar keilmuannya, untuk selanjutnya “hanya” mendengarkan Perkataan dan Nasihat dari Para Sururiyyun itu.
Tapi dalam pembahasan ini , kita tidak terlalu fokuskan pada nama, alias person per personnya, namun khusus kepada Aqidah mereka, karena meskipun berganti Nama hingga ratusan kali, hakikatnya tetap sama. Jadi “Hakikat sesuatu Tidaklah dapat Berubah meskipun tampang luarnya diganti berkali-kali”.
Mereka Memiliki Ideologi Mirip Khawarij.
> karena mereka mengkafirkan para pelaku maksiat atau dosa-dosa besar yang semestinya belum dapat ditempeli label “Kafir”.
> Dan yang lebih sering adalah mereka dengan mudahnya mengkafirkan para pemimpin atau Hakim (kalo di Indonesia Presiden) dengan sebutan Kafir / Thaghut ( untuk lebih rinci masalah Apa itu Thaghut?, bisa merujuk Kitab Utsul Tsalatsah, Syaikh Muhammad At-Tamimi)
.
Mereka Selalu Mengobarkan Bara Api Permusuhan terhadap Salafiyyun.
> mereka menyebutkan bahwa para Ulama itu adalah seorang “Budak” sedangkan pemerintah adalah “Majikan”. Mereka (ulama) hanya bisa mencarikan dalil-dalil yang dapat melegitimasi / membolehkan Majikannya meminta bantuan terhadap Negara Kafir ( khususnya Amerika )
> mereka menuduh para Ulama Ahlus Sunnah “hanya” mampu berdakwah ( jika tidak ingin disebut dengan Berkoar) sesuai kondisi Politik tertentu saja.
> mereka juga membagi dalam beberapa Thabaqoh (tingkatan),
i. George Bush dan Clinton ( sebagai “Majikan” tertinggi)
ii. Para Penguasa Negeri-negeri Arab terutama Saudi
iii. Bawahan Penguasa (Wakil, Kepala Angkatan, dll.)
iv. Ekselon 1 dari pemerintah (Menteri-menteri)
v. Ekselon 2 (wakil menteri)
vi. Ulama-Ulama ( sebagai Budak, alias bagian terendah),
Perlu kalian ketahui bahwa Mencela para Ulama adalah dasar dan akar dari Munculnya Seluruh Firqoh-Firqoh sesat yang ada selama ini.
Mereka ( Sururiyyun) Memuji adanya Kebaikan ( Muhazanah ) para Ahli Bid’ah.
> inilah tanda-tanda seseorang telah meninggalkan Manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wasallam dan para sahabatnya, Coba Engkau Lihat Perkataan yang sering dihembuskan oleh para Ahli Bid’ah,
“Kita bersatu dalam hal-hal yang telah kita sepakati kebenarannya, dan Berdiam diri untuk hal-hal yang kita Perselisihkan”
padahal Manhaj Salaf hanya mengenal,
“Kita Bersatu dalam Kebenaran ( Sunnah ) dan Saling Menasihati apabila berbuat salah”
bukan malah didiamkan, tapi coba tengoklah apa kata para Sururiyyun tersebut,
“ Para Ahli Bid’ah juga memiliki kebaikan, maka haruslah kita sebutkan juga kebaikan-kebaikan mereka,”
> ketahuilah wahai Saudara-Saudariku, dalam menyikapi Ahlu Bid’ah Kita tidak perlu menyebutkan / menyebarkan kebaikannya meskipun “sehelai bulu yang gugur dari kumpulan bulu domba”, Karena boleh jadi dari kebaikan tersebut, orang lain dapat mengikuti perilaku Ahlu Bid’ah tersebut. Dan pada Akhirnya, orang-orang itu tidak akan mampu lagi membedakan Antara Perilaku yang Baik dan Kejelekan dari Ahlu Bid’ah itu.
> Sururiyyun tersebut juga tidak melarang atau dengan kata lain membolehkan orang-orang awam untuk membaca Kitab-Kitab para Ahlu Bid’ah yang dikhawatirkan dapat semakin mengaburkan cara berpikir yang Haq dalam Agama Islam Ini, yaitu Sesuai Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam yang Shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Al-Ilmu Maqooma Alaihid Dalil”
(dinukil dari kitab beliau, Majmuu Fatawa)
artinya : “Ilmu itu adalah yang Tegak berdasarkan DALIL”
bukan hanya sekedar ucapan berantai, turun-temurun dari nenek moyang, sekali-kali Bukan..!!
dan sebuah kaidah penting dalam menerima Hadits Rasullah Shallahu ‘alaihi wasallam yang dibawakan oleh seseorang, maka perlu kita tanyakan kepadanya, Apa Sanad (derajat) dari Hadits ini?? Shahih? Dhaif? Atau bahkan Maudhu’, karena betapa banyak kita jumpai “oknum-oknum” yang dengan gampangnya mengutak-atik hadits dan membawakannya kepada kita tanpa mencantumkan Sanadnya..
Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata
“Sanad adalah Senjata kaum Muslimin, jika tanpa Senjata, lalu dengan apakah kita menghadapi serangan Musuh?”
Pada Akhir Pembahasan sederhana ini, hanya dapat kita sampaikan,
“Sesungguhnya, barangsiapa hidup sepeninggalku, niscaya akan melihat perselisihan yang cukup banyak. Karena itu, berpegang teguhlah kalian pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat Petunjuk. Gigitlah ia (Sunnah) dengan Gigi gerahammu. Jauhilah perkara yang baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap hal yang baru itu adalah Bid’ah. Setiap Bid’ah adalah Sesat dan kesesatan tempatnya di Neraka.”
(HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dengan Sanad Shahih.)..
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kepahaman terhadap kita akan Agama Islam yang kita Cintai ini.
Semoga Allah melimpahkan Petunjuknya kepada Kita semua, agar mampu membedakan yang Haq dan yang Bathil…
Wallahu a’lam Bish Shawab..
Assalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarokatuh..
Segala puji bagi Allah, kami memuji dan memohonpertolongan serta ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa kami dan keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi Petunjuk oleh Allah, maka tidak seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka tidak ada seorangpun yang dapat memberinya petunjuk
Aku Bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali Allah yang tiada sekutu bagi-Nya, dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Shalawat serta salam, semoga senantiasa tercurah padanya, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga hari kiamat kelak.
Jika sampai detik anda membaca tulisan sederhana ini, anda masih bertanya-tanya, apa sih SURURI itu? Siapa sih yang disebut SURURI itu? Mungkin melalui tulisan ini Allah dapat memberikan kepahaman terhadap kita yang masih memiliki pertanyaan-pertanyaan diatas.
Kita mulai dari,
Siapakah SURURI itu?
Sururi adalah sekelompok orang yang sepaham / sealiran / sependapat dengan Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Perlu diketahui juga bahwa Muhammad Surur ini tinggal di London, Inggris.
Awal Kemunculan paham SURURI ini…
Paham ini pertama kali muncul pada saat tentara Iraq yang dipimpin langsung oleh Saddam Husein, menginvasi Kuwait, tepatnya pada Perang Teluk, lalu berlanjut untuk mendekati Arab Saudi, sedangkan kondisi di Saudi tidak memiliki persenjataan yang cukup untuk melawan kekuatan Iraq. Lalu Para Ulama Kibar di Riyadh kemudian mem’boleh’kan Pemerintah pada saat itu untuk meminta bantuan terhadap Negara-negara kafir, tapi dengan syarat hanya sebagai penghalau (defend) bukan untuk menyerang balik (counter) Iraq.
Lau muncullah Fitnah bahwa Ulama-Ulama Kibar telah menganjurkan pemerintah Saudi, yang notabene sebagai satu-satunya Negara yg menerapkan Syariat Islam Mutlak, untuk bekerja sama dengan Negara kafir yg merupakan musuh Islam sendiri.
Allah ta’ala berfirman,
“Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, Jauhilah banyak dari Prasangka, (karena) sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain….”
(QS. Al-Hujarat :12)
Setelah itu, apa sih yang mereka tonjolkan dari pemikiran mereka?
Dapat kita tarik beberapa poin yang menjadi pemikiran yang menonjol dari Sururi,
Menghina Kitab-Kitab Aqidah.
> Muhammad Surur mengarang sebuah kitab yang berjudul “Manhajul Anbiya’ Bi Da’wah ilallah” yang diantaranya menyebutkan, bahwa Kitab Aqidah, sudah tidak relevan lagi pada masa sekarang ini. Dia juga mengatakan bahwa tahap-tahap penyelesaian para ulama-ulama yang terdapat dalam kitab-kitab Aqidah tersebut sudah tidak mampu lagi menyelesaikan permasalahan pada masa kini. Jadi, “kita membutuhkan cara-cara yang baru dalam memecahkan masalah itu”. Namun demikian, juga sebagai patokan bahwa mereka tersebut (Sururiyyun) hanya mengambil beberapa Ulama saja yang belum teruji keilmiahannya dengan meninggalkan Ulama / Masayaikh yang sudah masyhur akan keilmuannya. Apa namanya kalo bukan Taqlid buta???
> Dia juga mengatakan bahwa bahasa-bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab Aqidah itu terlalu berisi kata-kata yang “Kasar”, karena didalamnya terdapat hukum-hukum tentang Islam ini yang menyebabkan pemuda enggan untuk mempelajarinya. Syaikh Shalih Fauzan bin Fauzan menanggapi perkataan mereka, bahwa ungkapan yang mengatakan Kitab Aqidah berisi kata-kata kasar adalah salah satu trik atau cara untuk semakin menjauhkan Para Pemuda yang merupakan dambaan, penerus, serta pembangun Kejayaan Islam ini dari Nasihat-Nasihat para Ulama yang sudah teruji kadar keilmuannya, untuk selanjutnya “hanya” mendengarkan Perkataan dan Nasihat dari Para Sururiyyun itu.
Tapi dalam pembahasan ini , kita tidak terlalu fokuskan pada nama, alias person per personnya, namun khusus kepada Aqidah mereka, karena meskipun berganti Nama hingga ratusan kali, hakikatnya tetap sama. Jadi “Hakikat sesuatu Tidaklah dapat Berubah meskipun tampang luarnya diganti berkali-kali”.
Mereka Memiliki Ideologi Mirip Khawarij.
> karena mereka mengkafirkan para pelaku maksiat atau dosa-dosa besar yang semestinya belum dapat ditempeli label “Kafir”.
> Dan yang lebih sering adalah mereka dengan mudahnya mengkafirkan para pemimpin atau Hakim (kalo di Indonesia Presiden) dengan sebutan Kafir / Thaghut ( untuk lebih rinci masalah Apa itu Thaghut?, bisa merujuk Kitab Utsul Tsalatsah, Syaikh Muhammad At-Tamimi)
.
Mereka Selalu Mengobarkan Bara Api Permusuhan terhadap Salafiyyun.
> mereka menyebutkan bahwa para Ulama itu adalah seorang “Budak” sedangkan pemerintah adalah “Majikan”. Mereka (ulama) hanya bisa mencarikan dalil-dalil yang dapat melegitimasi / membolehkan Majikannya meminta bantuan terhadap Negara Kafir ( khususnya Amerika )
> mereka menuduh para Ulama Ahlus Sunnah “hanya” mampu berdakwah ( jika tidak ingin disebut dengan Berkoar) sesuai kondisi Politik tertentu saja.
> mereka juga membagi dalam beberapa Thabaqoh (tingkatan),
i. George Bush dan Clinton ( sebagai “Majikan” tertinggi)
ii. Para Penguasa Negeri-negeri Arab terutama Saudi
iii. Bawahan Penguasa (Wakil, Kepala Angkatan, dll.)
iv. Ekselon 1 dari pemerintah (Menteri-menteri)
v. Ekselon 2 (wakil menteri)
vi. Ulama-Ulama ( sebagai Budak, alias bagian terendah),
Perlu kalian ketahui bahwa Mencela para Ulama adalah dasar dan akar dari Munculnya Seluruh Firqoh-Firqoh sesat yang ada selama ini.
Mereka ( Sururiyyun) Memuji adanya Kebaikan ( Muhazanah ) para Ahli Bid’ah.
> inilah tanda-tanda seseorang telah meninggalkan Manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wasallam dan para sahabatnya, Coba Engkau Lihat Perkataan yang sering dihembuskan oleh para Ahli Bid’ah,
“Kita bersatu dalam hal-hal yang telah kita sepakati kebenarannya, dan Berdiam diri untuk hal-hal yang kita Perselisihkan”
padahal Manhaj Salaf hanya mengenal,
“Kita Bersatu dalam Kebenaran ( Sunnah ) dan Saling Menasihati apabila berbuat salah”
bukan malah didiamkan, tapi coba tengoklah apa kata para Sururiyyun tersebut,
“ Para Ahli Bid’ah juga memiliki kebaikan, maka haruslah kita sebutkan juga kebaikan-kebaikan mereka,”
> ketahuilah wahai Saudara-Saudariku, dalam menyikapi Ahlu Bid’ah Kita tidak perlu menyebutkan / menyebarkan kebaikannya meskipun “sehelai bulu yang gugur dari kumpulan bulu domba”, Karena boleh jadi dari kebaikan tersebut, orang lain dapat mengikuti perilaku Ahlu Bid’ah tersebut. Dan pada Akhirnya, orang-orang itu tidak akan mampu lagi membedakan Antara Perilaku yang Baik dan Kejelekan dari Ahlu Bid’ah itu.
> Sururiyyun tersebut juga tidak melarang atau dengan kata lain membolehkan orang-orang awam untuk membaca Kitab-Kitab para Ahlu Bid’ah yang dikhawatirkan dapat semakin mengaburkan cara berpikir yang Haq dalam Agama Islam Ini, yaitu Sesuai Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam yang Shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Al-Ilmu Maqooma Alaihid Dalil”
(dinukil dari kitab beliau, Majmuu Fatawa)
artinya : “Ilmu itu adalah yang Tegak berdasarkan DALIL”
bukan hanya sekedar ucapan berantai, turun-temurun dari nenek moyang, sekali-kali Bukan..!!
dan sebuah kaidah penting dalam menerima Hadits Rasullah Shallahu ‘alaihi wasallam yang dibawakan oleh seseorang, maka perlu kita tanyakan kepadanya, Apa Sanad (derajat) dari Hadits ini?? Shahih? Dhaif? Atau bahkan Maudhu’, karena betapa banyak kita jumpai “oknum-oknum” yang dengan gampangnya mengutak-atik hadits dan membawakannya kepada kita tanpa mencantumkan Sanadnya..
Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata
“Sanad adalah Senjata kaum Muslimin, jika tanpa Senjata, lalu dengan apakah kita menghadapi serangan Musuh?”
Pada Akhir Pembahasan sederhana ini, hanya dapat kita sampaikan,
“Sesungguhnya, barangsiapa hidup sepeninggalku, niscaya akan melihat perselisihan yang cukup banyak. Karena itu, berpegang teguhlah kalian pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat Petunjuk. Gigitlah ia (Sunnah) dengan Gigi gerahammu. Jauhilah perkara yang baru dalam agama, karena sesungguhnya setiap hal yang baru itu adalah Bid’ah. Setiap Bid’ah adalah Sesat dan kesesatan tempatnya di Neraka.”
(HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dengan Sanad Shahih.)..
Semoga Allah senantiasa melimpahkan kepahaman terhadap kita akan Agama Islam yang kita Cintai ini.
Semoga Allah melimpahkan Petunjuknya kepada Kita semua, agar mampu membedakan yang Haq dan yang Bathil…
Wallahu a’lam Bish Shawab..
Diagnosis terhadap Penyakit Umat
Syaikh Abd al-’Aziz bin Rais alu Rais dalam risalah beliau Muhimmat fi al-Jihad berkata,
Saudaraku, sesungguhnya kelemahan umat kita dan penguasaan musuh atas diri kita merupakan musibah dan bencana besar yang wajib untuk kita hilangkan. Dan hal tersebut tidak mungkin bisa dilakukan melainkan dengan melakukan diagnosa yang teliti (terhadap penyakit umat ini) terlebih dahulu, guna menghindari kerancuan dalam mendiagnosis antara penyakit dan obat.
Sungguh betapa banyak orang yang keliru dalam membedakan antara penyakit dan obat dikarenakan menganggap penyakit sebagai obat dan penyembuh.
Sebagian kalangan menyangka bahwa penyakit umat ini dikarenakan makar dan penguasaan para musuh terhadap umat Islam. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa obat untuk menghilangkan penyakit itu adalah dengan menyibukkan kaum muslimin dengan memperhatikan kondisi musuh-musuh Islam, perkataan dan pengakuan mereka.
Kalangan kedua menyangka bahwa penyakit yang sebenarnya adalah berkuasanya para penguasa yang dzhalim di sebagian negeri-negeri Islam. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa obat bagi umat ini adalah menggulingkan para penguasa tersebut serta menyeru umat untuk senantiasa menentang mereka.
Kalangan ketiga berpendapat bahwa penyakit umat ini adalah perpecahan yang terjadi di antara kaum muslimin, sehingga untuk mengobatinya perlu adanya pengumpulan dan penyatuan barisan agar jumlah mereka bertambah besar.
Seluruh pendapat yang dikemukakan oleh berbagai kalangan tersebut keliru dalam menentukan penyakit yang tengah diderita umat ini sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur-an dan sunnah. Tentunya diagnosis yang keliru tadi berujung pada kekeliruan dalam menentukan obat.
Pendapat kalangan pertama keliru karena seandainya kita bertakwa kepada Allah, maka seluruh makar musuh tidak akan membahayakan kita. Allah ta’alaa berfirman,
وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا
“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.” (QS. Ali Imran: 120).
Sisi kekeliruan kalangan kedua, bahwa para penguasa yang dzhalim merupakan hukuman yang ditimpakan Allah bagi kaum yang dzhalim pula, dikarenakan dosa-dosa yang mereka lakukan. Allah ta’alaa berfirman,
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi penguasa bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS. Al An’aam: 129).
Oleh karena itu berkuasanya penguasa yang dzhalim bukanlah penyakit riil dari umat ini, bahkan penyakit yang riil berasal dari rakyat yang berada di bawah kekuasaan penguasa tersebut.
Ibnul Qayyim berkata, “Perhatikanlah hikmah-Nya tatkala Dia menjadikan para raja, penguasa dan pemegang tampuk pemerintahan sesuai dengan amalan yang dilakukan oleh para rakyat di dalam negeri tersebut.
Bahkan, amalan dari para rakyat akan tercermin dari tingkah laku para penguasanya.
* Apabila rakyat di dalam negeri tersebut komitmen dalam menjalankan syari’at, maka tentu penguasanya pun demikian.
* Apabila mereka berlaku adil, maka para penguasa akan berlaku adil kepada mereka.
* Apabila mereka suka berbuat kemaksiatan, maka para penguasa juga akan senantiasa berbuat maksiat.
* Apabila rakyat senantiasa berbuat makar dan tipu daya, maka tentulah penguasa demikian pula keadaannya.
* Apabila para rakyat tidak menunaikan hak-hak Allah serta mengabaikannya, maka penguasa mereka pun juga akan berbuat hal yang sama, mereka akan melanggar dan tidak menunaikan hak-hak para rakyatnya.
* Apabila rakyat sering melanggar hak kaum yang lemah dalam berbagai interaksi mereka, maka para penguasa akan melanggar hak para rakyatnya secara paksa, menetapkan berbagai pajak dan pungutan liar kepada mereka. Dan setiap mereka (yakni rakyat) mengambil hak kaum yang lemah, maka hak mereka pun akan diambil secara paksa oleh para penguasa. Sehingga para penguasa merupakan cerminan amal dari para rakyatnya.
Demikianlah hikmah ilahi (yang senantiasa berlaku), suatu kaum yang buruk dan senantiasa berbuat kedurhakaan akan dipimpin oleh para penguasa yang sejenis dengan mereka.
Tatkala generasi awal dari umat ini merupakan generasi yang terbaik, maka kondisi para penguasanya pun tidak jauh berbeda. Maka tatkala kaum muslimin melakukan pengkhianatan, maka para penguasa pun berkhianat terhadap mereka. Sehingga hikmah Allah enggan, jika pada zaman ini diri kita dipimpin oleh penguasa sekaliber Mu’awiyah dan Umar bin Abdul ‘Aziz, apalagi yang sekaliber Abu Bakr dan Umar, namun kondisi para penguasa kita sesuai dengan dengan kondisi yang ada pada diri kita dan penguasa generasi terdahulu sesuai dengan kondisi rakyatnya, keduanya merupakan sebab dan kandungan dari hikmah ilahi (Miftah Daar as-Sa’adah 2/177-178).
Sisi kekeliruan kalangan ketiga, (kuantitas yang banyak bukanlah tolok ukur suatu keberhasilan), karena sesungguhnya kuantitas yang besar serta penyatuan barisan tidak akan berguna jika dibarengi dengan maksiat sebagaimana firman Allah ta’alaa ,
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun.” (QS. At Taubah: 25).
Tidakkah anda melihat bahwa dosa ujub (congkak) telah mencerai-beraikan kuantitas kaum muslimin yang besar sehingga para sahabat kalah di hari Hunain?
Bahkan penyatuan barisan bersama ahli bid’ah seperti kaum sufi, Asya’irah dan Mu’tazilah termasuk dosa, karena kewajiban kita adalah mengingkari kesesatan mereka, dan selemah-lemah pengingkaran dalam hati adalah menghindari mereka bukan malah duduk bersama mereka. Allah ta’alaa berfirman,
إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. An Nisaa’: 140).
Berangkat dari sini, anda tentu akan mengetahui kekeliruan slogan yang senantiasa didengungkan oleh pendiri jama’ah Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna, ketika dia mengatakan, “Kita saling bahu-membahu dalam perkara yang kita sepakati dan kita saling toleran dalam perkara yang kita perselisihkan.”
Slogan ini merupakan asas yang menjadi pondasi berdirinya jama’ah ini. Oleh karena itu, anda akan melihat Hasan Al Banna beserta pengikut beliau menerapkan slogan ini bersama-sama kelompok Rafidhah, sufi dan ahli bid’ah lainnya.
Setelah hal ini, mungkin saja ada yang berkata, “Anda telah menjelaskan berbagai kekeliruan dalam mendiagnosa penyakit yang tengah diderita umat ini, maka apakah penyakit yang tengah diderita umat ini berdasarkan diagnosis yang tepat dan berdasarkan Al Qur-an dan sunnah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih?”
Jawabnya: Banyak ayat Al Qur-an dan hadits nabi yang menerangkan bahwa seluruh musibah yang ditimpakan kepada hamba, tidak lain disebabkan oleh dosa-dosa yang mereka perbuat. Allah ta’alaa berfirman,
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran: 165).
Sesungguhnya penyakit yang diderita oleh umat ini adalah kelalaian kaum muslimin dalam menjalankan agama dan penentangan mereka terhadap syari’at nabi mereka.
Penyembuh dan obat bagi penyakit tersebut adalah mengembalikan umat muslim kepada ajaran agama yang benar, sedangkan akibat dari penyakit tersebut adalah kemenangan kaum kafir, berkuasanya kaum kafir dan para penguasa yang dzhalim di sebagian negara Islam.
Tidakkah anda melihat bagaimana kesyirikan telah menabuh genderangnya dan mengangkat tinggi-tinggi benderanya di sebagian besar wilayah Islam? Dan tidakkah anda juga melihat bagaimana tauhid diperangi di seluruh wilayah Islam selain negara Arab Saudi yang penuh berkah ini-semoga Allah meneguhkannya dengan keimanan-. Anak-anak di negara ini terdidik di atas tauhid yang diajarkan di berbagai sekolah dan masjid-semoga Allah membalas para penguasa dan ulama negeri ini dengan kebaikan-.
Jika kondisi perikehidupan masyarakat Islam demikian adanya, dimana mereka berbuat kedurhakaan yang terbesar terhadap Allah (yaitu syirik akbar), maka bagaimana bisa kita memperoleh pertolongan dan kemuliaan dari Allah?
Betapa mencengangkan tatkala berbagai kemaksiatan dan syahwat bercokol di sebagian besar wilayah Islam. Apabila kita jujur dan sayang terhadap umat kita, maka janganlah sibuk dengan berbagai urusan dunia dan lupa terhadap pengobatan umat ini, yaitu mengembalikan mereka kepada ajaran agama yang benar.
Saya memohon kepada Allah agar memberikan hidayah kepada kita untuk menempuh jalan yang lurus dan menyejukkan pandangan kita dengan kemuliaan Islam dan kaum muslimin.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Saudaraku, sesungguhnya kelemahan umat kita dan penguasaan musuh atas diri kita merupakan musibah dan bencana besar yang wajib untuk kita hilangkan. Dan hal tersebut tidak mungkin bisa dilakukan melainkan dengan melakukan diagnosa yang teliti (terhadap penyakit umat ini) terlebih dahulu, guna menghindari kerancuan dalam mendiagnosis antara penyakit dan obat.
Sungguh betapa banyak orang yang keliru dalam membedakan antara penyakit dan obat dikarenakan menganggap penyakit sebagai obat dan penyembuh.
Sebagian kalangan menyangka bahwa penyakit umat ini dikarenakan makar dan penguasaan para musuh terhadap umat Islam. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa obat untuk menghilangkan penyakit itu adalah dengan menyibukkan kaum muslimin dengan memperhatikan kondisi musuh-musuh Islam, perkataan dan pengakuan mereka.
Kalangan kedua menyangka bahwa penyakit yang sebenarnya adalah berkuasanya para penguasa yang dzhalim di sebagian negeri-negeri Islam. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa obat bagi umat ini adalah menggulingkan para penguasa tersebut serta menyeru umat untuk senantiasa menentang mereka.
Kalangan ketiga berpendapat bahwa penyakit umat ini adalah perpecahan yang terjadi di antara kaum muslimin, sehingga untuk mengobatinya perlu adanya pengumpulan dan penyatuan barisan agar jumlah mereka bertambah besar.
Seluruh pendapat yang dikemukakan oleh berbagai kalangan tersebut keliru dalam menentukan penyakit yang tengah diderita umat ini sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur-an dan sunnah. Tentunya diagnosis yang keliru tadi berujung pada kekeliruan dalam menentukan obat.
Pendapat kalangan pertama keliru karena seandainya kita bertakwa kepada Allah, maka seluruh makar musuh tidak akan membahayakan kita. Allah ta’alaa berfirman,
وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا
“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.” (QS. Ali Imran: 120).
Sisi kekeliruan kalangan kedua, bahwa para penguasa yang dzhalim merupakan hukuman yang ditimpakan Allah bagi kaum yang dzhalim pula, dikarenakan dosa-dosa yang mereka lakukan. Allah ta’alaa berfirman,
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi penguasa bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS. Al An’aam: 129).
Oleh karena itu berkuasanya penguasa yang dzhalim bukanlah penyakit riil dari umat ini, bahkan penyakit yang riil berasal dari rakyat yang berada di bawah kekuasaan penguasa tersebut.
Ibnul Qayyim berkata, “Perhatikanlah hikmah-Nya tatkala Dia menjadikan para raja, penguasa dan pemegang tampuk pemerintahan sesuai dengan amalan yang dilakukan oleh para rakyat di dalam negeri tersebut.
Bahkan, amalan dari para rakyat akan tercermin dari tingkah laku para penguasanya.
* Apabila rakyat di dalam negeri tersebut komitmen dalam menjalankan syari’at, maka tentu penguasanya pun demikian.
* Apabila mereka berlaku adil, maka para penguasa akan berlaku adil kepada mereka.
* Apabila mereka suka berbuat kemaksiatan, maka para penguasa juga akan senantiasa berbuat maksiat.
* Apabila rakyat senantiasa berbuat makar dan tipu daya, maka tentulah penguasa demikian pula keadaannya.
* Apabila para rakyat tidak menunaikan hak-hak Allah serta mengabaikannya, maka penguasa mereka pun juga akan berbuat hal yang sama, mereka akan melanggar dan tidak menunaikan hak-hak para rakyatnya.
* Apabila rakyat sering melanggar hak kaum yang lemah dalam berbagai interaksi mereka, maka para penguasa akan melanggar hak para rakyatnya secara paksa, menetapkan berbagai pajak dan pungutan liar kepada mereka. Dan setiap mereka (yakni rakyat) mengambil hak kaum yang lemah, maka hak mereka pun akan diambil secara paksa oleh para penguasa. Sehingga para penguasa merupakan cerminan amal dari para rakyatnya.
Demikianlah hikmah ilahi (yang senantiasa berlaku), suatu kaum yang buruk dan senantiasa berbuat kedurhakaan akan dipimpin oleh para penguasa yang sejenis dengan mereka.
Tatkala generasi awal dari umat ini merupakan generasi yang terbaik, maka kondisi para penguasanya pun tidak jauh berbeda. Maka tatkala kaum muslimin melakukan pengkhianatan, maka para penguasa pun berkhianat terhadap mereka. Sehingga hikmah Allah enggan, jika pada zaman ini diri kita dipimpin oleh penguasa sekaliber Mu’awiyah dan Umar bin Abdul ‘Aziz, apalagi yang sekaliber Abu Bakr dan Umar, namun kondisi para penguasa kita sesuai dengan dengan kondisi yang ada pada diri kita dan penguasa generasi terdahulu sesuai dengan kondisi rakyatnya, keduanya merupakan sebab dan kandungan dari hikmah ilahi (Miftah Daar as-Sa’adah 2/177-178).
Sisi kekeliruan kalangan ketiga, (kuantitas yang banyak bukanlah tolok ukur suatu keberhasilan), karena sesungguhnya kuantitas yang besar serta penyatuan barisan tidak akan berguna jika dibarengi dengan maksiat sebagaimana firman Allah ta’alaa ,
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun.” (QS. At Taubah: 25).
Tidakkah anda melihat bahwa dosa ujub (congkak) telah mencerai-beraikan kuantitas kaum muslimin yang besar sehingga para sahabat kalah di hari Hunain?
Bahkan penyatuan barisan bersama ahli bid’ah seperti kaum sufi, Asya’irah dan Mu’tazilah termasuk dosa, karena kewajiban kita adalah mengingkari kesesatan mereka, dan selemah-lemah pengingkaran dalam hati adalah menghindari mereka bukan malah duduk bersama mereka. Allah ta’alaa berfirman,
إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ
“Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. An Nisaa’: 140).
Berangkat dari sini, anda tentu akan mengetahui kekeliruan slogan yang senantiasa didengungkan oleh pendiri jama’ah Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna, ketika dia mengatakan, “Kita saling bahu-membahu dalam perkara yang kita sepakati dan kita saling toleran dalam perkara yang kita perselisihkan.”
Slogan ini merupakan asas yang menjadi pondasi berdirinya jama’ah ini. Oleh karena itu, anda akan melihat Hasan Al Banna beserta pengikut beliau menerapkan slogan ini bersama-sama kelompok Rafidhah, sufi dan ahli bid’ah lainnya.
Setelah hal ini, mungkin saja ada yang berkata, “Anda telah menjelaskan berbagai kekeliruan dalam mendiagnosa penyakit yang tengah diderita umat ini, maka apakah penyakit yang tengah diderita umat ini berdasarkan diagnosis yang tepat dan berdasarkan Al Qur-an dan sunnah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih?”
Jawabnya: Banyak ayat Al Qur-an dan hadits nabi yang menerangkan bahwa seluruh musibah yang ditimpakan kepada hamba, tidak lain disebabkan oleh dosa-dosa yang mereka perbuat. Allah ta’alaa berfirman,
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran: 165).
Sesungguhnya penyakit yang diderita oleh umat ini adalah kelalaian kaum muslimin dalam menjalankan agama dan penentangan mereka terhadap syari’at nabi mereka.
Penyembuh dan obat bagi penyakit tersebut adalah mengembalikan umat muslim kepada ajaran agama yang benar, sedangkan akibat dari penyakit tersebut adalah kemenangan kaum kafir, berkuasanya kaum kafir dan para penguasa yang dzhalim di sebagian negara Islam.
Tidakkah anda melihat bagaimana kesyirikan telah menabuh genderangnya dan mengangkat tinggi-tinggi benderanya di sebagian besar wilayah Islam? Dan tidakkah anda juga melihat bagaimana tauhid diperangi di seluruh wilayah Islam selain negara Arab Saudi yang penuh berkah ini-semoga Allah meneguhkannya dengan keimanan-. Anak-anak di negara ini terdidik di atas tauhid yang diajarkan di berbagai sekolah dan masjid-semoga Allah membalas para penguasa dan ulama negeri ini dengan kebaikan-.
Jika kondisi perikehidupan masyarakat Islam demikian adanya, dimana mereka berbuat kedurhakaan yang terbesar terhadap Allah (yaitu syirik akbar), maka bagaimana bisa kita memperoleh pertolongan dan kemuliaan dari Allah?
Betapa mencengangkan tatkala berbagai kemaksiatan dan syahwat bercokol di sebagian besar wilayah Islam. Apabila kita jujur dan sayang terhadap umat kita, maka janganlah sibuk dengan berbagai urusan dunia dan lupa terhadap pengobatan umat ini, yaitu mengembalikan mereka kepada ajaran agama yang benar.
Saya memohon kepada Allah agar memberikan hidayah kepada kita untuk menempuh jalan yang lurus dan menyejukkan pandangan kita dengan kemuliaan Islam dan kaum muslimin.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Jumat, 05 Maret 2010
Demokrasi, Antara pengaruh barat dan mudahnya kita menaati kaum kafir
RAPOR MERAH IDEOLOGI DEMOKRASI
Oleh
Ustadz Abu Minhal
Isu demokrasi telah mendunia. Ideologi produk Barat ini (baca: orang-orang kafir) lantas dipaksakan atas negara-negara lain, termasuk pada komunitas kaum muslimin. Opini yang dihembuskan, bahwa kesengsaraan dan penderitaan rakyat suatu negara berpangkal pada hilangnya ruh demokratis di tengah mereka. Ketika suasana demokratis telah menaungi sebuah negara, maka rakyat akan hidup dalam kemakmuran yang merata (?!).
Faktanya, justru, wajah demokrasi melahirkan masalah-masalah baru yang tidak bisa dianggap sepele oleh umat Islam. Berikut ini sedikit tentang pelanggaran-pelanggaran ideologi demokrasi secara ringkas, baik ditinjau dari hukum asalnya, atau mekanisme-mekanisme penyelenggaraan negara dalam negara berdemokrasi (dimanapun) ditinjau dari sudut pandang Islam.
PELANGGARAN TERHADAP AKIDAH ISLAM
Pelanggaran dalam aspek akidah ini, lantaran ideologi demokrasi memutuskan hukum berdasarkan suara mayoritas. Apapun hasilnya, pilihan suara mayoritas itu akan diputuskan sebagai peraturan yang mengikat. Suara terbanyak dikultuskan, dan penetapan hukum-hukum hanya berada di tangan sekelompok orang saja.
Demokrasi yang bertumpu pada ketaatan pada suara mayoritas telah mengakibatkan terjadinya syirkuth-thâ'ah (menyekutukan sesuatu dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala pada aspek ketaatan dengan mutlak). Simaklah ayat berikut:
أم لهم شر كؤا شرعوا لهم من الذين ما لم يأذن به الله
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? [asy-Syûra/42:21]
Hukum Allah itulah yang mestinya (wajib) diterapkan dalam seluruh bidang kehidupan sosial kemasyarakatan. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala al-Khaaliq (Dzat Yang Maha Menciptakan) dan Maha Tahu apa yang paling bermanfaat dan mengandung maslahat sebesar-besarnya bagi makhluk-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu" [Yûsuf/12:40].
MEMICU KEMUNAFIKAN
Calon-calon legislatif atau eksekutif berusaha menampilkan citra dirinya sebagai figur yang baik. Tak kurang, misalnya dalam soal nama, disematkanlah label Haji (H) dan Hajjah (Hj). Penyematan gelar-gelar seperti ini atau yang sejenisnya, seolah menjadi "wajib". Ucapan-ucapan manis dan janji-janji menarik menghiasi bibir-bibirnya. Semuanya menjanjikan perbaikan keadaan dan meningkatkan kemakmuran rakyat.
Namun, begitu usai dan berhasil menggenggam jabatan, ternyata kepentingan pribadi, partai atau golongan berbalik menjadi tujuan utamanya. Janji-janji yang pernah diucapkan hanyalah isapan jempol. Itulah sebuah kedustaan. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar" [at-Taubah/9:119].
Juga disebutkan riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
"Tanda-tanda kemunafikan ada tiga. Jika berbicara, ia dusta. (2) Jika berjanji, ia mengingkari. (3) dan jika dipercaya, ia berkhianat" [HR al-Bukhâri, no. 32, dan Muslim, no. 89]
MENYUBURKAN BUDAYA SUAP
Politik uang tidak bisa lepas dari alam demokrasi. Misalnya dengan pembagian sembako, hadiah, atau bantuan lain. Ini dilakukan oleh calon-calon pencari kekuasaan untuk menarik simpati kalangan bawah. Apapun bentuknya, ketika materi berbicara, itulah esensi dari politik uang. Dalam terminologi fiqih sebagai risywah (suap) yang diharamkan Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيْ وَالْمُرْتَشِيْ
"Allah melaknat penyuap dan orang yang disuap". [HR at-Tirmidzi dan Ibnu Maajah dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni, Shahîh at-Targhib wat-Tarhib, 2/261].
PUJIAN BAGI DIRI SENDIRI
Dalam alam demokarsi, sebagian calon-calon eksekutif maupun legislatif senang memuji diri sendiri. Saat kampanye sering menyatakan sebagai pihak yang paling pantas mengemban amanah rakyat. Pujian-pujian dan sanjungan-sanjungan juga dipaksakan oleh tim suksesnya demi kemenangan calon-calonnya. Bisa disaksikan, baliho-baliho, spanduk-spanduk maupun iklan-iklan dijejali dengan ungkapan-ungkapan pujian, gambar-gambar bagaimana orang-orang yang mencalonkan diri (atau dicalonkan) berempati kepada rakyat kecil, rela berkotor-kotor keluar masuk pasar tradisional (yang sebelumnya tidak pernah dilakukan) guna mendulang simpati lebih besar. Bila mreka tidak berhak dipuji, berarti telah terjadi penipuan dan kedustaan. Jika sepertinya pantas memperoleh pujian, ini pun tidak perlu dilakukan.
Hal ini karena pada asalnya, memuji diri sendiri tidak boleh (haram). Seseorang dituntut agar rendah hati, tidak menonjolkan diri, atau membanggakan diri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Maka, janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa". [an-Najm/53:32].
SIAPAPUN BISA TERPILIH, MESKI ORANG PALING ZHALIM DAN TERBEJAT SEKALIPUN
Proses pencapaian kursi kekuasaan dalam ideologi demokrasi melalui mekanisme kepartaian. Masing-masing partai mendelegasikan orang pilihannya. Lantas, masyarakat menentukan pilihan pada siapa saja yang mereka kehendaki, tanpa memandang baik buruknya individu tersebut. Dalam penghitungan suara, para wakil yang memperoleh suara terbanyak akan memperoleh tempat. Demikian pula, pemegang kekuasaan (eksekutif) berdasarkan suara terbanyak, bagaimanapun buruk sifat dan karakter mereka.
DEMOKRASI MEMECAH PERSATUAN UMAT
Ideologi demokrasi melahirkan pembentukan partai-partai yang sangat berpotensi menimbulkan perpecahan dan fanatisme buta terhadap golongan. Secara tidak langsung juga menumbuhkan bahaya laten konflik antar simpatisan. Bahkan untuk membela golongannya rela mempertaruhkan kematinya. Sedangkan Islam mengutamakan persatuan dan mencela perpecahan.
ADANYA UNSUR PERJUDIAN DALAM PESTA DEMOKRASI
Terjadinya persaingan dalam meraih kekuasaan, telah menginspirasikan berbagai cara ditempuh untuk memenangkan suara. Bagi yang kalah, ia akan mengalami banyak kerugian. Inilah hasil yang akan didapat pihak pecundang. Sebaliknya, pihak yang memenangkan, ia akan memperoleh keuntungan. Meskipun pada hakikatnya, semua pihak mengalami kerugian dalam pesta yang menelan anggaran, baik negara maupun individu yang sangat besar ini. Dikatakan oleh Syaikh ‘Abdul-Muhsin –hafizhahullah- realita ini mirip dengan qimâr (perjudian).
DEMOKRASI MENGAJARKAN KEBEBASAN MUTLAK
Demokrasi terbangun di atas asas kebebasan mutlak, meskipun berupa kekufuran atau kebejatan dan degradasi moral. Setiap orang bebas melontarkan atau bertindak serta meyakini apa saja, tanpa memperhatikan norma agama maupun norma sosial, etika. Dalihnya, karena semua orang bebas menentukan pilihan pribadinya tanpa intervensi orang lain.
Demikian, sebagian pelanggaran demokrasi terhadap syariat Islam. Ketika sebuah sistem berlandaskan pada pemikiran yang rusak (kekufuran), maka tak dapat terelakkan, out putnya pun tidak jauh berbeda. Yakni membuahkan hasil yang sama-sama rusak dan berakibat buruk bagi orang banyak.
Wallahul-Hadi ilâ Shirâthil-Mustaqîm.
Marâji`:
1. Al-Adlu fi Syarî’atil Islâm wa Laisa fid-Dimaqratiyyah al-Maz’umah, 'Abdul-Muhsin al-Abbâd Darut-Tauhid, Riyadh, Cetakan I, 1428 H.
2. Hukmu ad-Dimaqrathiyyah fil-Islâm, Munkarât wa Mukhalafât Syar'iyyah Tahshulu fil- Intikhabât, Dr. Hamd bin Muhammad al-Hâjiri, Cetakan I, Tahun 1427 H – 2006 M, tanpa penerbit
Oleh
Ustadz Abu Minhal
Isu demokrasi telah mendunia. Ideologi produk Barat ini (baca: orang-orang kafir) lantas dipaksakan atas negara-negara lain, termasuk pada komunitas kaum muslimin. Opini yang dihembuskan, bahwa kesengsaraan dan penderitaan rakyat suatu negara berpangkal pada hilangnya ruh demokratis di tengah mereka. Ketika suasana demokratis telah menaungi sebuah negara, maka rakyat akan hidup dalam kemakmuran yang merata (?!).
Faktanya, justru, wajah demokrasi melahirkan masalah-masalah baru yang tidak bisa dianggap sepele oleh umat Islam. Berikut ini sedikit tentang pelanggaran-pelanggaran ideologi demokrasi secara ringkas, baik ditinjau dari hukum asalnya, atau mekanisme-mekanisme penyelenggaraan negara dalam negara berdemokrasi (dimanapun) ditinjau dari sudut pandang Islam.
PELANGGARAN TERHADAP AKIDAH ISLAM
Pelanggaran dalam aspek akidah ini, lantaran ideologi demokrasi memutuskan hukum berdasarkan suara mayoritas. Apapun hasilnya, pilihan suara mayoritas itu akan diputuskan sebagai peraturan yang mengikat. Suara terbanyak dikultuskan, dan penetapan hukum-hukum hanya berada di tangan sekelompok orang saja.
Demokrasi yang bertumpu pada ketaatan pada suara mayoritas telah mengakibatkan terjadinya syirkuth-thâ'ah (menyekutukan sesuatu dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala pada aspek ketaatan dengan mutlak). Simaklah ayat berikut:
أم لهم شر كؤا شرعوا لهم من الذين ما لم يأذن به الله
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? [asy-Syûra/42:21]
Hukum Allah itulah yang mestinya (wajib) diterapkan dalam seluruh bidang kehidupan sosial kemasyarakatan. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala al-Khaaliq (Dzat Yang Maha Menciptakan) dan Maha Tahu apa yang paling bermanfaat dan mengandung maslahat sebesar-besarnya bagi makhluk-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu" [Yûsuf/12:40].
MEMICU KEMUNAFIKAN
Calon-calon legislatif atau eksekutif berusaha menampilkan citra dirinya sebagai figur yang baik. Tak kurang, misalnya dalam soal nama, disematkanlah label Haji (H) dan Hajjah (Hj). Penyematan gelar-gelar seperti ini atau yang sejenisnya, seolah menjadi "wajib". Ucapan-ucapan manis dan janji-janji menarik menghiasi bibir-bibirnya. Semuanya menjanjikan perbaikan keadaan dan meningkatkan kemakmuran rakyat.
Namun, begitu usai dan berhasil menggenggam jabatan, ternyata kepentingan pribadi, partai atau golongan berbalik menjadi tujuan utamanya. Janji-janji yang pernah diucapkan hanyalah isapan jempol. Itulah sebuah kedustaan. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar" [at-Taubah/9:119].
Juga disebutkan riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
"Tanda-tanda kemunafikan ada tiga. Jika berbicara, ia dusta. (2) Jika berjanji, ia mengingkari. (3) dan jika dipercaya, ia berkhianat" [HR al-Bukhâri, no. 32, dan Muslim, no. 89]
MENYUBURKAN BUDAYA SUAP
Politik uang tidak bisa lepas dari alam demokrasi. Misalnya dengan pembagian sembako, hadiah, atau bantuan lain. Ini dilakukan oleh calon-calon pencari kekuasaan untuk menarik simpati kalangan bawah. Apapun bentuknya, ketika materi berbicara, itulah esensi dari politik uang. Dalam terminologi fiqih sebagai risywah (suap) yang diharamkan Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ اللهُ الرَّاشِيْ وَالْمُرْتَشِيْ
"Allah melaknat penyuap dan orang yang disuap". [HR at-Tirmidzi dan Ibnu Maajah dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni, Shahîh at-Targhib wat-Tarhib, 2/261].
PUJIAN BAGI DIRI SENDIRI
Dalam alam demokarsi, sebagian calon-calon eksekutif maupun legislatif senang memuji diri sendiri. Saat kampanye sering menyatakan sebagai pihak yang paling pantas mengemban amanah rakyat. Pujian-pujian dan sanjungan-sanjungan juga dipaksakan oleh tim suksesnya demi kemenangan calon-calonnya. Bisa disaksikan, baliho-baliho, spanduk-spanduk maupun iklan-iklan dijejali dengan ungkapan-ungkapan pujian, gambar-gambar bagaimana orang-orang yang mencalonkan diri (atau dicalonkan) berempati kepada rakyat kecil, rela berkotor-kotor keluar masuk pasar tradisional (yang sebelumnya tidak pernah dilakukan) guna mendulang simpati lebih besar. Bila mreka tidak berhak dipuji, berarti telah terjadi penipuan dan kedustaan. Jika sepertinya pantas memperoleh pujian, ini pun tidak perlu dilakukan.
Hal ini karena pada asalnya, memuji diri sendiri tidak boleh (haram). Seseorang dituntut agar rendah hati, tidak menonjolkan diri, atau membanggakan diri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Maka, janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa". [an-Najm/53:32].
SIAPAPUN BISA TERPILIH, MESKI ORANG PALING ZHALIM DAN TERBEJAT SEKALIPUN
Proses pencapaian kursi kekuasaan dalam ideologi demokrasi melalui mekanisme kepartaian. Masing-masing partai mendelegasikan orang pilihannya. Lantas, masyarakat menentukan pilihan pada siapa saja yang mereka kehendaki, tanpa memandang baik buruknya individu tersebut. Dalam penghitungan suara, para wakil yang memperoleh suara terbanyak akan memperoleh tempat. Demikian pula, pemegang kekuasaan (eksekutif) berdasarkan suara terbanyak, bagaimanapun buruk sifat dan karakter mereka.
DEMOKRASI MEMECAH PERSATUAN UMAT
Ideologi demokrasi melahirkan pembentukan partai-partai yang sangat berpotensi menimbulkan perpecahan dan fanatisme buta terhadap golongan. Secara tidak langsung juga menumbuhkan bahaya laten konflik antar simpatisan. Bahkan untuk membela golongannya rela mempertaruhkan kematinya. Sedangkan Islam mengutamakan persatuan dan mencela perpecahan.
ADANYA UNSUR PERJUDIAN DALAM PESTA DEMOKRASI
Terjadinya persaingan dalam meraih kekuasaan, telah menginspirasikan berbagai cara ditempuh untuk memenangkan suara. Bagi yang kalah, ia akan mengalami banyak kerugian. Inilah hasil yang akan didapat pihak pecundang. Sebaliknya, pihak yang memenangkan, ia akan memperoleh keuntungan. Meskipun pada hakikatnya, semua pihak mengalami kerugian dalam pesta yang menelan anggaran, baik negara maupun individu yang sangat besar ini. Dikatakan oleh Syaikh ‘Abdul-Muhsin –hafizhahullah- realita ini mirip dengan qimâr (perjudian).
DEMOKRASI MENGAJARKAN KEBEBASAN MUTLAK
Demokrasi terbangun di atas asas kebebasan mutlak, meskipun berupa kekufuran atau kebejatan dan degradasi moral. Setiap orang bebas melontarkan atau bertindak serta meyakini apa saja, tanpa memperhatikan norma agama maupun norma sosial, etika. Dalihnya, karena semua orang bebas menentukan pilihan pribadinya tanpa intervensi orang lain.
Demikian, sebagian pelanggaran demokrasi terhadap syariat Islam. Ketika sebuah sistem berlandaskan pada pemikiran yang rusak (kekufuran), maka tak dapat terelakkan, out putnya pun tidak jauh berbeda. Yakni membuahkan hasil yang sama-sama rusak dan berakibat buruk bagi orang banyak.
Wallahul-Hadi ilâ Shirâthil-Mustaqîm.
Marâji`:
1. Al-Adlu fi Syarî’atil Islâm wa Laisa fid-Dimaqratiyyah al-Maz’umah, 'Abdul-Muhsin al-Abbâd Darut-Tauhid, Riyadh, Cetakan I, 1428 H.
2. Hukmu ad-Dimaqrathiyyah fil-Islâm, Munkarât wa Mukhalafât Syar'iyyah Tahshulu fil- Intikhabât, Dr. Hamd bin Muhammad al-Hâjiri, Cetakan I, Tahun 1427 H – 2006 M, tanpa penerbit
Langganan:
Postingan (Atom)