Sabtu, 17 April 2010

Betapa Bahayanya Hal ini untukmu Saudariku...

Bagi sebagian orang istilah ghibah telah lazim didengar. Tetapi bagi sebagian yang lain masih terdengar asing, karena ghibah merupakan istilah dari bahasa Arab, sedangkan yang sering dipakai oleh masyarakat kita sekarang ini misalnya gosip atau ngerumpi. Ghibah atau menggunjing adalah salah satu akhlak tercela yang dilarang dalam agama, sehingga seorang muslim/muslimah sudah sepatutnya menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalamnya. Sayangnya, perkara ini telah menjadi sesuatu yang dianggap biasa dan seolah tidak lagi dianggap sebagai perbuatan dosa, bahkan dilegalkan, misalnya dalam acara-acara gossip di televisi. Apalagi yang sangat menyedihkan, penyakit ini paling banyak menjangkiti para wanita. Oleh karena itu saudariku, yang semoga dirahmati Allah, berhati-hatilah terhadapnya, dan renungi baik-baik nasehat yang kami ambil dari tulisan Ummu ‘Abdillah Al-Wadi’iyyah dalam buku Nasihat Untuk Wanita Muslimah, dengan sedikit tambahan dari kami.

Apakah Ghibah itu...??


Telah disampaikan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada sahabat , ”Tahukah kalian apa yang dinamakan ghibah itu?” Kemudian para sahabat menjawab, ”Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Rasulullah bersabda, “Yaitu kalian menyebut-nyebut saudaramu tentang sesuatu yang tidak ia suka.” Kemudian ditanyakan, ”Bagaimana jika perkataanku tentangnya itu benar?” Rasulullah menjawab, ”Jika yang engkau katakan itu benar ada padanya, maka engkau telah berbuat ghibah, dan jika itu tidak benar, maka engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim dan dicantumkan Imam An Nawawi dalam Riyadush Shalihin no.1531)

Dari hadits di atas, dapatlah kita ketahui apa yang dimaksud dengan ghibah. Sebagaimana perkataan Syaikh Muhammad Syakir saat membahas tentang ghibah, “Bahwasannya engkau membicarakan saudaramu saat ia tidak ada dengan sesuatu yang tidak ia suka saat mendengarnya.”
Ummu Abdillah Al Wadi’iyah menambahkan, bahwasanya dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, ”Kalian menyebut-nyebut saudaramu tentang sesuatu yang tidak ia suka”. Menunjukkan ghibah dapat terjadi ketika dia ada ataupun tidak ada. Kemudian Al Hafidz menyatakan, “Bahwa yang lebih kuat adalah mengkhususkan ketika orang yang dibicarakan tidak ada. Memang benar bahwa berhadapan langsung dalam hal itu juga haram, karena termasuk dalam celaan dan cacian.

Ghibah yang Dibolehkan

Ibnu Katsir berkata, “Dan ghibah itu diharamkan secara ijma’ (kesepakatan kaum muslimin) tidak dikecualikan darinya. Selain pembicaraan mengenai orang lain yang apabila dikatakan pasti kemaslahatannya, sebagaimana dalam ilmu Jarh wa Ta’dil (ilmu kritikan dan pujian terhadap perawi hadits), serta memberi nasihat seperti saat seorang lelaki jahat meminta izin kepada beliau dan saat Fathimah binti Qais dipinang oleh Muawiyah dan Abu Jahm.” (yaitu ketika Fathimah binti Qais meminta pertimbangan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam siapakah antara Muawiyah dan Abu Jahm yang lebih baik untuk diterima pinangannya-ed)

Ummu Abdilah Al Wadi’iyyah menyebutkan enam perkataan yang tidak disebut ghibah adalah
1. pengaduan orang yang didzalimi
2. orang yang memperkenalkan
3. orang yang men-tahdzir (memperingatkan)
4. membicarakan orang yang menampakkan kefasikan
5. ketika meminta fatwa
6. serta orang yang meminta pertolongan untuk melenyapkan kemungkaran.

Ancaman Syariat terhadap Orang yang Berbuat Ghibah


Ancaman tentang ghibah ini datang secara langsung dari Allah ‘azza wa jalla, maka takutlah wahai Saudariku yang beriman, yaitu dalam firman-Nya, yang artinya, ”Dan janganlah sebagian dari kamu berbuat ghibah (menggunjing) kepada sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentunya kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujuraat: 12)
Saudariku, dalam ayat tersebut, Allah menyamakan seorang yang menggunjing saudaranya dengan seseorang yang memakan daging saudaranya sendiri sedangkan saudaranya telah menjadi mayat. Tentulah keadaan tersebut adalah perkara yang menjijikkan. Na’udzu billahi min dzalik.

Berkaitan dengan manusia yang memakan mayat saudaranya, terdapat hadits shahih dalam Sunan Abu Dawud yang memperjelas firman Allah di atas. Dari Anas bin Malik, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Ketika saya dimi’rajkan, saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka mencakar-cakar wajah dan dada mereka sendiri, Saya bertanya, ”Siapa mereka Jibril?” Jibril menjawab, ”Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan mencela kehormatannya.”

Dalam hadits ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan orang yang memakan mayat saudaranya akan mencakar-cakar wajah dan dada mereka sendiri. Dan mereka inilah orang-orang yang menggunjingkan saudaranya ketika di dunia.

Ada pula hadits dalam Sunan At Tirmidzi, dari Ibnu Umar, dia mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas mimbar kemudian menyeru dengan suara tinggi, “Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya namun belum sampai ke dalam hatinya. Janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Sesungguhnya barangsiapa yang mencari-cari dan menelusuri aib seseorang niscaya Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang dicari aibnya oleh Allah maka Allah akan bongkar aibnya walaupun ia berada di dalam rumahnya.

Begitu banyak riwayat yang berisikan ancaman terhadap pelaku ghibah dan semuanya adalah teguran yang keras. Sehingga tidak sepatutnya bagi seorang muslim yang meyakini adanya hari akhir masih menyibukkan diri dengan hal ini.

BERTAUBAT DARI GHIBAH


Tentunya setiap manusia tak luput dari kesalahan. Adapun yang paling baik dari manusia yang melakukan kesalahan adalah yang bertaubat dan berusaha tidak lagi terjatuh ke dalamnya. Ibnul Qayyim menjelaskan cara bertaubat dari ghibah. Beliau mengatakan bahwa terdapat riwayat dari Baihaqi tentang kafarah (tebusan) perbuatan ghibah, yakni dengan mengatakan, “Allahummaghfirlana wa lahu (Ya Allah, ampunilah kami dan ampunilah dia)..” Namun terdapat kelemahan dalam riwayat ini.
Ibnul Qayyim juga menyatakan kita tidak perlu menjelaskannya dan cukup memohonkan ampunan baginya, serta menyebutkan kebaikan-kebaikan yang ada padanya di tempat ia melakukan ghibah. Pendapat ini juga dipilih Ibnu Taimiyah dan yang lainnya. (Adapun jika ghibah tersebut telah sampai pada orang yang kita ghibahi, maka kita wajib meminta maaf kepadanya secara langsung -ed).
Akhirnya …..

Wahai Saudariku, marilah kita mengingat pembicaraan yang kita katakan hari ini. Kemudian mari kita simak perkataan Imam Nawawi dalam Riyadush Shalihin berikut ini,

“Ketahuilah bahwasanya sesungguhnya setiap orang yang mukallaf itu diperintahkan untuk menjaga lisannya dari setiap ucapan, kecuali yang ada manfaatnya. Dan manakala manfaat berbicara dan bahaya yang ditimbulkan itu sama, maka dianjurkan DIAM. Karena bisa jadi ucapan yang asalnya boleh-boleh saja berubah menjadi haram atau makruh. Dan ini biasanya banyak sekali terjadi, sedangkan selamat dari yang makruh dan haram, merupakan hal yang tak ternilai harganya.”
Dan ingatlah juga sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah, radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata baik atau diam.” (Riyadush Shalihin hadits no. 1519)

Renungkanlah Wahai Saudariku tercinta....

Semoga Allah menjaga kita semua untuk tidak berbicara dengan kata-kata yang tidak berguna yang kadang dapat menyakiti orang yang kita bicarakan...
apalagi jika yang kita bicarakan itu adalah Aib Saudara kita..
Maukah kita memakan Bangkai Saudara kita sendiri..??
Semoga Allah selalu membimbing kita kepada Jalan yang Lurus dalam Agama ini..
Semoga Allah mematikan kita kelak diatas Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam..
Wallahu a'lam.

Maraji’:
Nasihat Untuk Wanita Muslimah (Ummu Abdillah Al Wadi’iyah)
Riyadhush Shalihin (Imam An Nawawiyah)
Duhai Anakku, Berhiaslah Dengan Akhlak Mulia (Syaikh Muhammad Syakir)
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar