Agama adalah nasehat
Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
الدِّينُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا : لِمَنْ يَارَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَ ئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasehat, kami (para sahabat) bertanya : untuk siapa wahai Rasulullah ? Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam –menjawab- : untuk Allah, kitabnya, Rasulnya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan orang awamnya.”(HR. Muslim).
Dan sebagai aplikasi sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- di atas, maka saya ingin menyampaikan nasehat kepada seluruh kelompok dakwah Islam, agar senantiasa berpegang teguh dengan al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih berdasarkan pemahaman para ulama salaf,seperti : para sahabat, tabi’in, para imam mujtahidin dan orang-orang senantiasa meniti jejak mereka.
Kepada Kelompok Sufi
1. Nasehat saya kepada mereka agar menunggalkan Allah dalam do’a dan isti’anah (meminta pertolongan) sebagai bentuk perwujudan dari firman Allah :
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”(QS. Al-Fatihah : 5).
Dan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
الدُّعَاءُ هُوَ اْلعِبَادَةُ
“Doa adalah ibadah.”(HR. Tirmidzi dan beliau berkata : hadits hasan shahih).
Dan wajib bagi mereka untuk meyakini bahwa Allah ada di atas langit, sebagaimana firman-Nya :
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?,”(QS. Al-Mulk : 16).
Ibnu Abbas -radhiallohu anhuma-, berkata Dia adalah Allah (sebagaimana disebutkan Ibnul Jauzi dalam tafsirnya).
Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
أَلاَ تَأْمَنُوْنِيْ وَأَنَا أَمِيْنٌ مَنْ فِي السَّمَاءِ
“Tidaklah kalian percaya kepadaku, padahal saya adalah kepercayaan dzat yang di langit”(HR. Bukhari dan Muslim). Dan arti di langit adalah di atas langit.
2. Hendaklah mereka senantiasa mendasari dzikir-dzikir mereka dengan apa yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah (yang shohih –ed.) serta amalan para sahabat.
3. Jangan sekali-kali mendahulukan ucapan syaikh-syaikh melebihi firman Allah dan sabda Rasulullah -shollahu alaihi wa sallam-, sebagaimana firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Hujurat : 1).
Yakni : Jangan sekali-kali kalian mendahulukan ucapan atau perbuatan siapapun melebihi firman Allah dan sabda Rasulullah -shollahu alaihi wa sallam- (tafsir Ibnu Katsir).
4. Hendaknya mereka beribadah dan berdo’a kepada Allah dengan rasa takut dari siksa neraka-Nya dan berharap surga-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala :
“Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).”.(QS. Al-A’raf : 56)
Dan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
أَسْأَلُ اللهَ الْجَنَّةَ وَأَعُوْذُ بِهِ مِنَ النَّارِ
“Saya meminta kepada Allah surga dan berlindung dengan-Nya dari neraka”.(HR. Abu Dawud dengan sanad shahih).
5. Mereka harus meyakini bahwa makhluk pertama dari kalangan manusia adalah nabi Adam -alahi salam-, dan bahwasanya nabi Muhammad -shollahu alaihi wa sallam- adalah termasuk anak keturunannya dan semua manusia adalah anak keturunannya yang Allah ciptakan dari tanah.
Allah ta’ala berfirman :
“Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani,”(QS. Ghafir : 67)
Dan tidak ada satu dalilpun yang menunjukkan bahwa Allah menciptakan nabi Muhammad -shollahu alaihi wa sallam-
dari nur (cahaya-Nya), bahkan yang masyhur bagi semua bahwa Allah menciptakannya dari kedua orang tuanya.
Kepada Jama’ah Tabligh
1. Nasehat saya kepada mereka agar berpegang teguh dalam dakwahnya dengan al-Qur’an dan sunnahnya yang shahih dan agar belajar al-Qur’an, tafsir, dan hadits sehingga dakwah mereka benar-benar di atas ilmu, sebagaimana firman Allah ta’ala :
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,”(QS. Yusuf : 108).
Dan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ
“Sesungguhnya ilmu (bisa diperoleh) hanya dengan belajar”(Hadits hasan, lihat shahihul jami’).
2. Mereka harus berpegang teguh dengan hadits-hadits yang shahih dan menjauhi hadits-hadits yang dhaif (lemah) dan maudu’ (palsu) sehingga tidak masuk pada apa yang disinyalir Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
كَفَى بِالْمَرْءِكَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَاسَمِعَ
“Cukup seseorang dikatakan berdusta jika menceritakan semua apa yang didengarnya.”(HR. Muslim).
3. Kepada al-Ahbab (orang-orang yang saya cintai) agar tidak memisahkan antara amar ma’ruf dan nahi munkar, karena Allah banyak menyebut-Nya secara bersamaan dalam ayat-ayat al-Qur’an, seperti firman Allah ta’ala :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS. Ali Imran : 104)
Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- juga punya perhatian serius dan memerintahkan kaum muslimin untuk merubah kemungkaran, sebagaimana sabdanya -shollallahu alaihi wa sallam- :
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran hendaklah merubah dengan tangannya, dan apabila tidak mampu, maka hendaklah merubah dengan lisannya, dan apabila tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman.”(HR. Muslim).
4. Hendaklah mereka memperhatikan dakwah kepada tauhid dengan serius. Dan mendahulukannya atas yang lainya, demi mengamalkan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-
فَلْيَكًُنْ أَوَّلُ مَا تَدْعُوْهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةَ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ الله
“Jadikanlah pertama kali yang kalian dakwahkan kepada mereka adalah syahadat (kalimat tauhid) la ilaha illallah.”(HR. Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda
إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهََ
“Sampai mereka (benar-benar) mentauhidkan Allah”.(HR. Bukhari).
“Mentauhidkan Allah”, maksudnya adalah : menunggalkan Allah dalam semua jenis ibadah, lebih-lebih dalam hal do’a, karena sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
الدُّعَاءُ هُوَ اْلعِبَادَةُ
“Do’a adalah ibadah.”(HR. Tirmidzi dan beliau berkata : Hadits ini hasan shahih).
Kepada kelompok IKHWANUL MUSLIMIN
1. Hendaklah mereka mengajarkan kepada anggota kelompoknya tauhid dan macam-macamnya, yakni ; tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma dan sifat, karena itu adalah masalah yang sangat urgen yang berpengaruh pada terwujudnya kebahagiaan induvidu maupun masyarakat, daripada sibuk dalam politik praktis dan yang mereka sangka sebagai fiqih waqi’ (realita –ed.). Ini bukan berarti buta dengan keadaan dunia dan manusia, tapi tidak berlebih-lebihan dengannya dan tidak pula menyepelekannya.
2. Hendaklah mereka menjauhi pemikiran-pemikiran sufi yang menyelisihi akidah Islam. Karena banyak kita jumpai dalam kitab-kitab mereka berisi akidah-akidah sufi yang batil :
a. Lihatlah pimpinan mereka di Mesir yaitu Umar Tilmisani yang banyak menyebutkan dalam bukunya “Syahidul Mihrab” akidah-akidah Sufi yang sangat membahayakan. Di samping membolehkan belajar musik.
b. Inilah Sayyid Quthub, menyebutkan dalam kitabnya “Dzilalul Qur’an” akidah sufi wihdatul wujud pada awal surat al-Hadid dan lain sebagainya dari takwil-takwil yang batil.
Dan sungguh saya telah menyampaikannya kepada saudaranya sendiri yaitu Muhammad Qutub agar mengomentari kesalahan-kesalahan akidah, karena ia adalah penanggung jawab penerbitan ” as-Syuruq”, akan tetapi dia menolaknya dan mengatakan : Saudara saya sendiri yang akan menanggungnya. Dan syaikh Abul Lathif Badr penanggung jawab majalah at-Tau’iyah di Mekah menyarankan kepadaku agar saya mendatanginya lagi.
c. Lihatlah “Said Hawa” beliau menyebutkan dalam kitabnya “Tarbiyatuna ar-Ruhiyah” akidah-akidah sufi sebagaimana sudah disebutkan di awal kitab .
d. Dan lihatlah pula “syaikh Muhammad al-Hamid” dari Suria, dia menghadiahkan kepadaku buku yang berjudul “Rudud Ala Abatil”.
Dalam buku ini ada pembahasan-pembahasan yang baik, seperti pengharaman rokok dan lainnya, akan tetapi dia juga menyebutkan bahwa di sana ada Abdal, Aqthab dan Aghwats , tapi tidaklah dinamakan al-Ghauts kecuali apabila bisa dimintai pertolongan !!!.
Padahal meminta kepada al-Ghauts dan al-Aqthab adalah termasuk syirik yang menghapus amalan. Dan ini adalah pemikiran sufi yang batil yang diingkari oleh syariat Islam.
Dan sungguh saya telah meminta kepada anaknya yang bernama Abdurrahman untuk mengoreksi perkataan bapaknya, tapi sayang diapun menolaknya.
3. Jangan sampai mereka dengki kepada saudara-saudara mereka dari salafiyyah yang senantiasa berdakwah kepada tauhid dan memerangi bid’ah serta berhukum kepada al-Qur’an dan sunnah karena mereka adalah saudara. Allah ta’ala berfirman :
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.”(al-Hujurat : 10).
Dan Rasulullah n bersabda :
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتىَّ يُحِبَّ لأَِخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Salah seorang di antara kalian tidak beriman sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.(HR. Bukhari dan Muslim).
Kepada Salafiyun dan Ansharussunah al-Muhammadiyah
1. Wasiat saya kepada mereka agar senantiasa konsisten dalam berdakwah kepada tauhid dan berhukum dengan apa yang Allah turunkan serta perkara-perkara penting lainnya.
2. Dan agar lemah lembut dalam dakwah mereka bagaimanapun lawan yang dihadapinya. Sebagai aplikasi terhadap firman Allah :
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”(QS. An-Nahl : 125)
Dan firman Allah kepada nabi Musa dan Harun
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.(QS. Toha : 43-44).
Dan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-
مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقُ يُحْرَمُ الْخَيْرُ كُلُّهُ
“Barangsiapa yang diharamkan baginya lemah lembut, berarti diharamkan baginya seluruh kebaikan”.(HR. Muslim).
3. Hendaklah mereka sabar terhadap gangguan yang menimpa mereka, karena Allah selalu menyertai mereka dengan pertolongan dengan memberikan kekuatan kepada mereka.
Allah ta’ala berfirman :
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah, dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka, dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipudayakan. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”(QS. An-Nahl : 127-128).
Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
اَلْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَفْضَلُ مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَيُخَالطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar atas gangguan mereka lebih utama daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar atas gangguan mereka.”.(Hadits shahih riwayat Imam Ahmad dll).
4. Orang-orang salafi jangan sampai beranggapan bahwa jumlah orang-orang yang menyelisihi mereka itu sedikit. Karena Allah ta’ala berfirman :
“ Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.”(QS. Saba’ : 13).
Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
طُوْبَى لِلْغُرَبَاءِ قِيْلَ مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : أُنَاسٌ صَالِحُوْنَ قَلِيْلٌ فِي أُنَاسٍ سُوْءٍ كَثِيْرٍ مَنْ يَعْصِيْهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيْعُهُمْ
“Beruntunglah bagi orang-orang yang asing. Rasulullah n ditanya siapa mereka ? Beliau n menjawab : mereka adalah orang-orang shaleh yang sedikit di tengah-tengah manusia yang rusak lagi banyak, yang bermaksiat kepada mereka lebih banyak daripada yang taat kepada mereka”.(HR. Imam Ahmad dan Ibnul Mubarak).
Kepada Hizbut Tahrir
1. Wasiat saya kepada mereka agar menegakkan hukum Islam dan ajarannya pada diri-diri mereka sebelum menuntut orang lain untuk menegakkannya.
Sekitar 20 tahun yang lalu, pernah ada 2 orang pemuda dari mereka yang mengunjungiku di Syiria, dalam keadaan gundul jenggotnya, dari keduanya tercium bau rokok dan meminta kepadaku diskusi dan bergabung dengan mereka. Maka saya katakan kepada mereka, kalian mencukur jenggot dan menghisap rokok padahal keduanya adalah haram menurut syariat dan kalian juga membolehkan jabat tangan dengan lawan jenis (yang bukan mahramnya –ed), padahal Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
ِلأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Ditusukkannya jarum dari besi pada kepala seorang di antara kalian itu lebih baik daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya”.(HR. Thabrani).
Kedua pemuda tersebut berkata : Diriwayatkan dalam shahih Bukhari, bahwa Rasulullah n pernah berjabat tangan dengan wanita ketika baiat ?
Maka saya katakan : Tolong besok datangkan kepadaku haditsnya. Maka setelah itu keduanya pergi dan tidak kembali lagi, karena keduanya berbohong. Karena Imam Bukhari sama sekali tidak menyebutkan yang demikian, tapi hanya menyebutkan baiat kepada para wanita dengan tanpa jabat tangan.
Tapi sungguh aneh sebagian Ikhwanul Muslimin –juga- membolehkan jabat tangan dengan lawan jenis (yang bukan mahramnya –ed). Seperti syaikh Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qardhawi, sebagaimana yang saya katakan ketika saya berdialog dengannya. Dia berdalih dengan hadits seorang budak yang menarik tangan Rasulullah n agar memenuhi kebutuhannya”.(HR. Bukhari).
Saya katakan : Cara pengambilan dalilnya tidak benar, karena Jariyah (budak perempuan) ketika menarik Rasulullah -shollahu alaihi wa sallam- tidak menyentuh tangannya tapi hanya menyentuh lengan baju yang ada di tangannya, karena ‘Aisyah -radhiallohu anha- berkata :
لاَ، وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَامْرَأَةٍ قَطٌ فِي الْمُبَايَعَةِ، مَا بَايَعَهُنَّ إلاَّ بِقَوْلِهِ : قَدْ بَايَعْتُكِ عَلَى ذَلِكَ
“Sekali-kali tidak, demi Allah ”Tangan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- tidak pernah menyentuh tangan perempuan sedikitpun dalam baiat. Beliau n tidaklah membaiat mereka (para wanita) kecuali hanya mengatakan : Sungguh saya telah membaiat kamu atas yang demikian itu”.(HR. Bukhari).
Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ
“Saya tidak pernah berjabatan tangan dengan perempuan”(HR. Tirmidzi dan beliau berkata : hadits ini hasan shahih).
2. Saya pernah mendengar ceramah seorang syaikh dari Hizbut Tahrir di Yordania yang membicarakan para pemimpin yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan. Tapi tatkala saya mendatangi rumahnya, mertuanya mengadu tentang dia kepadaku sambil mengatakan : Sesungguhnya syaikh tadi telah memukul istrinya sampai mengenai matanya dan membekas. Maka saya katakan kepadanya (syaikh) : Sesungguhnya kamu menuntut para pemimpin untuk menegakkan syariat Allah tapi kamu tidak menegakkan syariat dalam rumahmu, apakah benar bahwa engkau telah memukul istrimu sampai mengenai matanya ? maka ia menjawab ; Iya, betul tapi hanya pukulan ringan dengan gelas teh.!!. Maka saya katakan kepadanya : Praktekkanlah Islam pada dirimu dulu, kemudian setelah itu tuntutlah yang lain untuk mempraktekkannya. Karena Rasulullah n pernah ditanya, apa hak istri atas suami ? Beliau menjawab :
أَنْ تَطْعَمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَ هَا إِذَا اكْتَسَوْتَ وَلاَ تَضْرِبِ اْلوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي اْلَبيْتِ
“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberikan baju apabila engkau memakai baju, jangan memukul wajah, jangan menjelek-jelekanya dan jangan engkau menghajr (pisah ranjang) kecuali di dalam rumah”.(Hadits shahih riwayat arba’ah : Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah).
Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- juga bersabda :
إِذَا ضَرَبَ أَحَدُكُمْ خَادِمَهُ فَلْيَتَّقِ اْلوَجْهَ
“Apabila seseorang diantara kalian memukul budaknya hendaklah menjauhi wajah”.(Hadits hasan riwayat Abu Dawud).
Kepada Jamaah Jihad dll.
1. Nasehat saya kepada mereka agar lembut dalam dakwah dan jihad mereka, lebih-lebih kepada para pemimpin. Sebagaimana firman Allah kepada nabi Musaqketika mengutusnya kepada Fir’aun yang kafir :
“Dan katakanlah (kepada Fir’aun):”Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”.(QS. an-Nazi’at : 18).
Dan firman Allah
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.(QS. Toha : 43-44).
Dan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقُ يُحْرَمُ الْخَيْرُ كُلُّهُ
“Barangsiapa yang diharamkan baginya lemah lembut berarti diharamkan baginya seluruh kebaikan.”(HR. Muslim).
2. (Hendaklah –ed) memberikan nasehat kepada para kaum muslimin dan pemimpin mereka, dengan cara membantu mereka dalam kebaikan, mentaati mereka dalam kebaikan, memerintahkan mereka dengan kebaikan, melarang mereka dan mengingatkan mereka dengan lemah lembut dan tidak keluar menghadap mereka dengan pedang (memberontak) apabila berbuat dholim atau jahat. (silahkan telaah ucaan al-Khatabi dalam Syarah Arba’in Haditsan).
Imam abu Ja’far at-Thahawi –penulis kitab Aqidah Thahawiyah- berkata : Kami memandang tidak boleh keluar dari imam dan para pemimpin kita walaupun mereka berbuat dhalim, tidak mendoakan jelek kepada mereka, tidak mencabut tangan dari ketaatan pada mereka dan kami memandang bahwa taat kepada mereka adalah bagian dari ketaatan kepada Allahkdan wajib selama tidak memerintahkan maksiat.
Bahkan kami senantiasa mendoakan kepada mereka dengan kebaikan dan keselamatan.
1. Allah ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.”(QS. An-Nisa’ : 59).
2. Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ وَمَنْ يُطِعِ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ أَطَاعَنِيْ وَمَنْ يَعْصِ اْلأَمِيْرَ فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa yang taat kepadaku maka sungguh ia telah taat kepada Allah. Dan Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh telah bermaksiat kepada Allah, dan barangsiapa taat kepada amir berarti ia taat kepadaku dan barangsiapa bermaksiat kepada amir berarti ia bermaksiat kepadaku”.(HR. Bukhari dan Muslim).
3. Dan dari Abu Dzar –radhiallohu anhu- beliau berkata :
إِنَّ خَلِيْلِيْ أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيْعَ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا مُجَدِّعَ الأطرافِ
“Kekasihku Rasulullah n berwasiat kepadaku agar saya mendengar dan taat kepada pemimpin walaupun ia seorang budak Ethiopia lagi cacat anggota tubuhnya”.(HR. Muslim).
4. Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
عَلَى الْمَرْءِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Bagi tiap orang wajib mendengar dan taat (kepda pemimpin) pada saat senang dan benci, kecuali apabila diperintah untuk bermaksiat, maka apabila diperintahkan untuk maksiat maka tidak boleh mendengar dan taat”.(HR. Bukhari dan Muslim).
5. Dan dari Khudzaifah bin Yaman –radhiallohu anh- beliau berkata :
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ الله عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا فِيْ جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَ نَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ : نَعَمْ، فَقُلْتُ : فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرٍّ مِنْ خَيْرٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ وَفِيْهِ دَخَنٌ، قَالَ : قُلْتُ : وَمَا دَخَنُهُ ؟ قَالَ : قَوْمٌ يَسْتَنُّونَ بِخَيْرِ سُنَّتِيْ وَيَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِ تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ، فَقُلْتُ : هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ : نَعَمْ، دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَوْفُوْهُ فِيْهَا. فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا ؟ قَالَ : نَعَمْ، قَوْمٌ مِنْ جِلْدَ تِنَا يَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا، قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ فَمَا تَرَى إِذَا أَدْرَكَنِيْ ذَلِكَ ؟ قَالَ : تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ. فَقُلْتُ : فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ ؟ قَالَ : فَاعْتَزِلْ تِلْكَ اْلفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Manusia bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan dan saya bertanya kepadanya tentang kejelekan karena khawatir akan menimpaku, saya bertanya : Wahai Rasulullah, kita dahulu berada dalam jahiliyah dan kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kita. Apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan ? Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- menjawab : ia ada. Saya bertanya : apakah setelah kejelekan akan datang kebaikan lagi ? Beliau -shollallahu alaihi wa sallam- menjawab : iya ada, tapi didalamnya terdapat dakhan. Saya bertanya : apa dakhannya ? beliau -shollallahu alaihi wa sallam- menjawab : yaitu, ada suatu kaum yang mengambil dengan selain sunnahku dan mengambil petunjuk dengan selain petunjukku. Engkau mengetahui mereka dan engkau mengingkarinya. Saya bertanya : Apakah setelah kebaikan seperti ini akan ada kejelekan ? Beliau -shollallahu alaihi wa sallam- menjawab : iya, yaitu para da’i yang mengajak ke pintu-pintu neraka jahannam. Siapa yang menyambutnya niscaya akan dilemparkan kedalamnya. Saya bertanya : Wahai Rasulullah, jelaskan kepada kita sifat-sifat mereka ? Beliau -shollallahu alaihi wa sallam- menjawab : mereka adalah, kaum dari bangsa kita dan berbicara dengan bahasa kita. Saya bertanya : wahai Rasulullah, bagaimana nasehatmu jika kita mendapati yang demikian itu ? Beliau menjawab : Engkau konsisten bersama jamaah kaum mulimin dan imam mereka. Saya bertanya : Bagaimana jika tidak ada jamaah dan tidak pula imam ? Beliau -shollallahu alaihi wa sallam- menjawab : tinggalkan seluruh firqah-firqah yang ada, walaupun engkau harus menggigit akar pohon sampai ajal menjemputmu dan engkau dalam keadaan demikian”.(HR. Bukhari dan Muslim).
6. Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًايَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ، فَأِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمَيْتَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ
“Barangsiapa melihat pada amirnya suatu yang ia benci, hendaklah ia sabar, karena barangsiapa yang memisahkan diri satu jengkal dari jamaah dan ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.(HR. Bukhari dan Muslim).
7. Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحُِّبوْنَكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتكُمُ الَّّذِيْنَ تَبْغَضُوْنَهُمْ وَيَبْغَضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ، فَقُلْنَا : يَارَسُولَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ : لاَ، مَاأقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ إِلاَ مَنْ وُلِّيَ عَلَيْهِ وَالٍ
“Sebaik-baik pimpinan bagi kalian adalah : Pemimpin yang kalian cintai dan merekapun mencintai kalian. Kalian mendoakan mereka dan merekapun mendoakan kalian. Dan sejelek-jelek pemimpin bagi kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan merekapun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian. Kami bertanya : Wahai Rasulullah apakah kita tidak mengangkat pedang (memberontak) saja pada saat demikian ? Beliau n bersabda : jangan memberontak, selama mereka mendirikan sholat bersama kalian. Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin wali (pemimpin) dan ia melihatnya bermaksiat kepada Allah, maka hendaklah Ia membenci maksiat yang dijalankannya, dan jangan sekali-kali mencabut tangan dari mentaatinya”.(HR. Muslim).
8. Dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah menunjukkan atas wajib taat kepada ulil amri selama tidak memerintahkan maksiat.
Renungilah firman Allah berikut ini :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.”(QS. An-Nisa : 59).
Kenapa Allah berfirman “dan taatilah Rasul” dan tidak mengatakan “dan taatilah ulil amri diantara kamu” dengan pengulangan kata kerja taatilah. Ini menunjukkan bahwa ulil amri tidak ditaati dengan sendirinya. Akan tetapi mereka ditaati hanya pada perkara-perkara ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan ini juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang taat kepada Rasul n maka sungguh ia taat kepada Allah, karena Rasul -shollallahu alaihi wa sallam- tidak akan memerintahkan yang bukan termasuk ketaatan kepada Allah, karena beliau nadalah maksum (terjaga) dari yang demikian itu. Berbeda halnya dengan penguasa, maka kadang-kadang memerintahkan pada yang bukan ketaatan kepada Allah (maksiat), maka tidak boleh ditaati kecuali pada perkara-perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun perintah untuk taat kepada penguasa walaupun mereka berbuat dhalim, karena keluar dari ketaatan kepada mereka akan mengakibatkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding kedhaliman mereka –bahkan sabar dalam menghadapi kedhaliman mereka akan menghapus kesalahan dan dosa dan menyebabkan pahala dilipatgandakan. Karena Allah tidak akan menjadikan mereka sebagai pimpinan kita, kecuali dengan sebab perbuatan kita sendiri, karena balasan adalah sesuai dengan perbuatan. Maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali beristighfar, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan kita.
Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman :
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”.(QS. Asy-Syura : 30).
Dan Allah juga berfirman :
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan”.(QS. Al-An’am : 129).
Maka apabila rakyat menginginkan selamat dari keburukan pemimpin yang dhalim, hendaklah mereka meninggalkan kedhaliman .(silahkan lihat Syarah Aqidah ath-Thahawiyah 380-381).
9. Jihad terhadap para pemimpin kaum muslimin. Yang demikian itu dengan cara menyampaikan nasehat kepada mereka dan kepada seluruh jajarannya. Karena sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
الدِّينُ النَّصِيْحَةُ. قُلْنَا : لِمَنْ يَارَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَ ئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasehat. Kami (para sahabat) bertanya : untuk siapa wahai Rasulullah ? Beliau menjawab : Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan mereka pada umumnya”.(HR. Muslimin).
Dan sabda Rasululllah -shollallahu alaihi wa sallam- :
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat kebenaran di sisi pemimpin yang dhalim”.(Hadits hasan riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi).
Rasulullah menjelaskan juru selamat dari kedhaliman para hakim yang mereka dari bangsa kita, dan berbicara dengan bahasa kita yaitu dengan cara :
Kaum muslimin bertaubat kepada Rab mereka, memperbaiki akidah mereka dan membina diri serta keluarga mereka di atas Islam yang murni. Sebagai bentuk perwujudan firman Allah ta’ala :
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”(QS. Ar-Ra’d : 11).
Dan inilah yang pernah disinyalir oleh seorang da’i kontemporer dengan ungkapannya : “Tegakkanlah Negara Islam di dada-dada kalian, niscaya akan tegak di bumi kalian”.
Demikian pula, harus dengan cara memperbaiki akidah dalam menegakkan bangunan di atasnya, yaitu masyarakatnya.
Allah ta’ala berfirman :
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”.(QS. An-Nur : 55).
Nasehat umum kepada seluruh kelompok-kelompok dakwah.
Saya sekarang sudah tua renta, umur saya sekarang telah mencaai 70 tahun, dan saya mengharapkan kebaikan bagi semua kelompok, oleh karena itu untuk mengamalkan hadits Nabi n “agama itu nasehat”, saya ingin menyampaikan beberapa nasehat berikut ini :
1. Agar semua kelompok berpegang teguh dengan al-Qur’an dan sunnah Nabi n sebagai bentuk ketaatan terhadap firman Allah :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai..”(QS. Ali Imran : 103).
Dan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهَا كِتَابَ الله وَسنَّةَ رَسُوْلِ اللهِ
“Telah saya tinggalkan kepada kalian 2 perkara, selama kalian berpegang teguh dengan keduanya. Maka tidak akan tersesat, yaitu (kitabullah al-Qur’an dan sunnah Rasulnya n).”(HR. Malik dan dishahihkan oleh al-Albani dalam shahihul jami’).
2. Apabila jama’ah-jamaah yang ada berselisih, hendaknya mereka kembali kepada al-Qur’an dan hadits serta amalan para sahabat.
Sebagaimana firman Allah :
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(QS. An-Nisa : 59).
Dan sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا
“Wasiat atas kalian dengan sunnahku dan sunnahnya para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya”(Hadits sahohih riwayat Imam Ahmad).
3. Hendaklah mereka memperhatikan dakwah tauhid yang menjadi prioritas dan pusat perhatian al-Qur’an. Dan Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- memulai dakwahnya kepada tauhid dan memerintahkan para sahabatnya agar memulai dengannya.
4. Sungguh saya telah masuk dan bergaul dengan kelompok-kelompok dakwah Islam, dan saya lihat bahwa dakwah salafiyahlah yang konsisten dengan al-Qur’an dan sunnah menurut pemahaman salafus shaleh yaitu Rasulullah n para sahabatnya dan para tabiin.
Dan sungguh Rasulullah n telah memberikan isyarat tentang kelompok yang satu ini dalam sabdanya :
أَلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ اْلكِتَابِ افْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذه الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ : ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
“Ketahuilah bahwasanya orang-orang sebelum kamu dari ahli kitab berpecah belah menjadi 72 golongan, dan umat ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan, 72 di dalam neraka dan yang 1 di surga yaitu al-Jama’ah”.(HR. Ahmad dan dinyatakan hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dan dalam riwayat yang lain).
كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةٌ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
“Semua di dalam nereka kecuali satu yaitu apa yang saya dan para sahabatku ada di atasnya”.(HR. Tirmidzi dan di hasankan oleh al-Albani).
Dalam hadits di atas Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- mengabarkan kepada kita, bahwasanya orang yahudi dan nasrani berpecah belah menjadi banyak kelompok dan umat Islam berpecah belah menjadi lebih banyak dari mereka dan kelompok-kelompok yang banyak ini terancam masuk neraka, karena penyimpangannya dan jauhnya dari kitab Allah dan sunnah nabi-Nya dan bahwasanya hanya satu kelompok yang selamat dari neraka dan masuk surga yaitu al-Jamaah (kelompok yang berpegang teguh dengan al-Qur’an dan sunnah serta amalan para sahabat).
Keistimewaan dakwah salafiyah adalah dakwah kepada tauhid, memerangi syirik, mengetahui hadits-hadits yang shahih dan memperingatkan umat dari hadits yang dhaif (lemah) dan maudu’ (palsu) serta memahami hukum-hukum syariat dengan dalil-dalilnya. Dan ini sungguh sangat penting bagi setiap muslim.
Oleh karena itu saya menasehati seluruh saudara-saudaraku kaum muslimin agar senantiasa konsisten dengan dakwah salafiyah, karena dakwah yang selamat dan kelompok yang mendapat pertolongan, sebagaimana sabda Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- :
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلىَ الْحَقِّ لاَيَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتىَّ يَأْتِيَ أَمَرُ اللهِ
“Akan senantiasa ada dari umatku satu kelompok yang tampak di atas kebenaran, tidak memudharatkan mereka orang yang menghinakan mereka sampai datang urusan Allah.”(HR. Muslim).
Mudah-mudahan Allah menjadikan kita termasuk kelompok yang selamat dan mendapat pertolongan.
disalin dari (Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 38, hal. 4-18)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar