Nama & Pertumbuhan
Nama Beliau adalah Muqbil bin Hadi bin Muqbil al-Wadi’i, sedangkan kunyahnya adalah Abu Abdirrahman. Beliau berasal dari desa Dammâj di Yaman. Syaikh Muqbil –rahimahullah- tumbuh dan besar dalam keadaan yatim (ditinggal wafat oleh kedua orang tuanya).
Beliau pernah belajar di beberapa madrasah al-Qur`an yang tersebar di berbagai desa dan daerah pedalaman. Ia berhasil menghafalkan al-Qur`an di sana dan belum pernah masuk sekolah resmi sekalipun. Di samping itu, Syaikh sibuk menggembala kambing[2], aktifitas Beliau yang satu ini berperan amat besar dalam menata kepribadian Beliau, serta mendidiknya menjadi sosok manusia penyabar.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Ketika menginjak dewasa, Beliau pindah ke Negeri al-Haramain (Saudi Arabia) untuk bekerja dan mencari rizki, sebagaimana hal ini telah menjadi kebiasaan penduduk negeri sekitar Arab Saudi pada waktu itu, yakni mereka banyak melakukan perjalanan jauh untuk mencari rizki. Dan hal ini adalah sesuatu yang disyariatkan.
Di samping bekerja di sana, pada tahun 1964 M Beliau mulai belajar mencari ilmu agama di Mekkah, sekaligus bekerja di Masjidil Haram. Sehingga, Beliau bekerja mencari nafkah di siang hari, sedangkan pada malam harinya beliau manfaatkan untu belajar mencari ilmu agama.
Tidak diragukan lagi, bahwa jerih payah menundukkan jiwa untuk menuntut ilmu agama dan bekerja mencari nafkah, yang mana keduanya adalah perkara yang penting, masing-masing ada tuntunannya dalam syariat dan merupakan bidang yang tersendiri. Maka, betapa hebatnya, apabila keduanya dapat terkumpul pada diri seseorang, mencari rizki di siang hari dan menuntut ilmu di malam hari. Sehingga, bisa jadi hal ini menjadi penyebab Beliau diberikan rizki berupa harta dan ilmu.
Kemudian, sekitar tahun enam puluhan, dibukalah Ma’had al-Haram al-Makki, yaitu sebuah Ma’had resmi yang didirikan oleh pemerintah Arab Saudi. Kemudian Syaikh Muqbil mendaftarkan diri dan belajar terus-menerus di sana selama enam tahun. Sementara itu, Beliau juga belajar kepada para ulama di Masjidil Haram dengan cara menghadiri majelis-majelis ilmu mereka. Dengan itu, Beliau mengumpulkan metode belajar kurikulum dan secara pribadi belajar kepada ulama (yang kita kenal dengan istilah mulâzamah, -pen.), dan begitu sedikit sekali orang yang pada dirinya dikumpulkan oleh Allah dua kebaikan ini.
Pada tahun enam puluhan itu pula, Beliau datang ke kota Madinah Nabawiyah, yaitu sebelum tahun 1964 M, tepatnya sekitar tahun 1961 M, untuk bekerja di sana dan menghadiri majelis ilmu para ulamanya, semisal majelis ilmu Syaikh al-Albani –rahimahullah-, yang ketika itu masih menjadi dosen di Universitas Islam Madinah, demikian juga Syaikh asy-Syinqithi –rahimahullah- dan Syaikh Ibnu Baaz –rahimahullah-. Itulah masa keemasan Universitas Islam Madinah yang tiada bandingannya dan amat sulit untuk terulang kembali.
Setelah tamat dari Ma’had al-Haram al-Makki, Beliau kembali ke Madinah Nabawiyah. Kemudian ia belajar di fakultas Hadits dan Dakwah selama kurang-lebih delapan tahun (S1 dan Magister). Desertasi Beliau untuk mengambil gelar Magister adalah kitab al-Ilzâmât wa at-Tatabbu’, dalam bentuk ta’lîq, tahqîq dan syarh karya al-Imam ad-Daruquthni. [3]
Kembali ke Yaman
Setelah terjadinya tragedi Juhaiman 4) pada tahun 1400 H, Beliau kembali ke Yaman. Beliau sendiri terkena imbasnya, karena Beliau sempat mengajar kelompok tersebut, yang mana mereka termasuk orang-orang yang sering menuntut ilmu kepada Beliau, meskipun di dalamnya masih banyak misteri yang tidak diketahui kejelasannya kecuali oleh Allah –subhanahu wata’ala-semata.
Yang jelas, tragedi tersebut adalah kenyataan yang sangat mengerikan, dan umat Islam terus menerus mengalami hal serupa. Demikian juga tragedi perang Teluk yang disusul dengan munculnya para da’i yang kontra dengan ulama senior Ahlu Sunnah, sekaliber Syaikh Ibnu Baaz-rahimahullah- dan Ibnu Utsaimin –rahimahullah-. Kemudian tragedi 11 September, semuanya kita saksikan dan alami, serta kita rasakan dampaknya dan kita lihat bahayanya, yang satu lebih dahsyat dari yang lainnya. Ini semua tidak ada jalan keluarnya kecuali ketakwaan kepada Allah –subhanahu wata’ala-. Jalan keluar berikutnya adalah mengikuti bimbingan para ulama.
Tragedi yang pertama, sebabnya adalah menyelisihi ulama, kelompok Juhaiman mengirim utusan kepada Syaikh al-Albani –rahimahullah- di Damaskus untuk bertanya, kemudian dijawab: Bertakwalah kepada Allah, ini bukan jalan kebenaran, demikian juga jawaban yang mereka terima ketika bertanya kepada Syaikh Ibnu Baaz –rahimahullah-. Meskipun begitu, tetap saja mereka menyelisihi para ulama, sehingga terjadilah fitnah.
Pada perang Teluk kedua, ketika Saddam Husain memasuki Kuwait, banyak para da’i yang menyelisihi ulama senior meski telah dinasehati. Dengan alasan, bahwa yang mereka lakukan lebih baik, sedangkan kalian (para ulama) tidaklah melihat realita yang ada. Dan mereka tetap menyelisihi para ulama, sehingga terjadilah fitnah.
Pada serangan New York 11 September, terjadi juga penyelisihan terhadap para ulama, mereka melakukan tindakan tanpa mempelajari kenyataan yang ada dengan benar, tanpa mempelajari dampak dan resiko yang akan muncul, sehingga terjadilah apa yang terjadi.
Dari beberapa peristiwa ini banyak pelajaran yang harus kita pahami dan renungi, sebagaimana sabda Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-
“Keberkahan itu menyertai orang-orang yang tua dari kalian” [5].
Padahal, para ulama tersebut adalah orang-orang yang tua dalam hal ilmu, amal dan umur, serta dalam hal teladan. Tentu saja lebih pantas keberkahan itu bersama mereka. Sebab, lantaran mereka pula keberkahan itu turun. Semoga Allah merahmati mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah wafat.
Sangat disayangkan sekali, keadaan seperti ini terus saja berputar, selalu ada segelintir pemuda, orang yang bermodalkan semangat dan tergesa-gesa, mereka bersungguh-sungguh, berijtihad dan akhirnya menyelisihi para ulama. Dan ini merupakan tanda-tanda kurangnya iman, sebagaimana sabda Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-
“Tidak termasuk golongan kami siapa saja yang tidak menghormati orang-orang yang tua dari kita, dan tidak menyayangi anak-anak kecil dari kita, tidak mengetahui hak para ulama.”
Yang lebih dahsyat lagi, apabila hak para ulama itu adalah hak dari segi ilmu dan umur, sehingga sempurnalah kedudukan mereka, seakan terkumpul dalam diri mereka kulit dan daging.
Kondisi Yaman
Kemudian Syaikh Muqbil kembali ke Yaman pada tahun 1400 H. atau sekitar tahun 1980 M. Ketika itu provinsi Sha’dah yang di dalamnya terdapat kota tempat kelahiran Beliau, keluarga dan kabilah Beliau, penuh dengan tasyayyu’ dan aliran Rafidhah, terutama sekte Zaidiyyah, demikian juga tasawwuf.
Di sinilah berlaku kaidah, di manapun ada tasawwuf pasti ada juga tasyayyu’, demikian juga sebaliknya di manapun ada tasyayyu’ pasti ada juga tasawwuf. Dalam hal seperti ini perlu kita baca buku Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir yang berjudul at-Tashawwuf al-Ashl wa an-Nasy`ah (Asal Muasal Tasawwuf dan Perkembangannya, -pen.) setebal lebih dari enam ratus halaman, karena di dalamnya diterangkan perincian kaidah di atas. Demikian juga ada buku yang berjudul ash-Shilah Baina at-Tashawwuf wa at-Tasyayyu’ (Hubungan antara Sufi dan Syi’ah, -pen.) karya DR. Mushthafa asy-Syabibi dari Iraq, terdiri dari dua jilid masing-masing jilid setebal dua ratus halaman.
Dakwah di Yaman
Akhirnya, mulailah Beliau menyeru umat kepada tauhid dan sunnah dengan sendirian, memerangi bid’ah dan khurâfat, dan membimbing masyarakat untuk mendasari agama mereka dengan tauhid. Beliau juga sibuk membantah tuduhan kaum musyrikin, kebodohan orang-orang yang sesat, sehingga goncanglah masyarakat dan keluarganya. Bahkan, Rafidhah terus berusaha menghentikannya dengan makar yang amat dahsyat. Akan tetapi, Beliau senantiasa memohon pertolongan kepada Allah, sehingga semua itu dapat berlalu begitu saja. Meskipun demikian, musuh dakwah takkan pernah berputus asa, mereka pun mulai menghasut penguasa dengan berbagai kedustaan.
Hal ini mengingatkan kita kepada penjelasan Ibnul Qayyim dalam al-Kâfiyah asy-Syâfiyah fî al-Intishâr ‘alâ al-Firqah an-Nâjiyah (al-Qashîdah an-Nûniyyah) yang terdiri dari enam ribu bait syair, tentang kebiasaan ahlul bid’ah yang menggunakan kedustaan untuk menghadapi dalil-dalil Ahlu Sunnah:
Tidaklah mereka memiliki dalil ketika berdebat
Bak seorang yang taklid dalam kebingungan
Mereka tidak kembali kepada dalil
Akan tetapi ketika lemah, mereka kembali kepada penguasa
Itupun masih lebih baik apabila mereka membawakan dalil dengan jujur kepada penguasa. Akan tetapi kenyataannya, berita yang mereka bawa hanyalah berdasarkan hasutan dan kedustaan.
Meski ditekan sedemikian rupa, namun tetap saja para penuntut ilmu dari berbagai penjuru Yaman mulai berdatangan kepada Beliau, bahkan dari negara-negara persemakmuran, puluhan, ratusan, seribu, sampai pernah lebih dari seribu orang. Mereka semua terus belajar dengan penuh semangat dan kesungguhan. Mereka tinggal, makan dan minum di sana dengan penuh kesederhanaan, sehingga mereka memiliki keuletan dan kesabaran yang hebat dalam menuntut ilmu. Maka dari itu, tersebarlah dakwah untuk mengikuti sunnah dan tauhid, dakwah untuk mempelajari ilmu hadits dan metode ahli hadits ke segenap penjuru Yaman, sehingga terbungkamlah suara Rafidhah dan melemahlah suara kaum Sufi. Adapun Ahlu Sunnah, maka suara mereka menjadi kuat dan dominan.
Akhirnya, dakwah mereka tersebar sampai keluar Yaman, masing-masing murid Syaikh Muqbil memiliki kedudukan dalam hal ilmu, sehingga mereka dipercaya untuk mengelola berbagai markas dakwah dan masjid, serta lebih mudah lagi bagi mereka untuk mengajarkan kebaikan kepada manusia. Masyarakat pun begitu antusias menerima dakwah tersebut, baik dari dalam maupun dari luar Yaman. Sebagian mereka memiliki karya tulis, buku dan majelis ilmu, sehingga mulailah masing-masing mereka memiliki murid, sebagaimana sabda Nabi –shollallahu alaihi wa sallam-
“Kalian mendengarkan ilmu dariku, generasi setelah kalian menimba ilmu dari kalian, dan generasi setelahnya menimba ilmu dari murid kalian.” (HR. Ahmad)
Nabi –shallallahu alaihi wa sallam- juga bersabda:
“Ilmu agama ini akan dipikul oleh orang yang adil dari generasi penerus, mereka menolak penyimpangan orang-orang ekstrim, tipu daya para pembangkang dan takwilan orang-orang bodoh.” [6]
Akan tetapi, sepeninggal Syaikh Muqbil, banyak terjadi perselisihan di antara murid Beliau. Semoga mereka mau kembali kepada ulama besar untuk menuntaskan hakekat perselisihan mereka, sehingga bisa bersatu kembali seperti semula. Hal ini mengingatkan kita kepada hadits Rasulullah –shollallahu alaihi wa sallam-
“Sesungguhnya setan sudah berputus asa untuk bisa disembah di Jazirah Arab, nanun dia cukup puas dengan tersebarnya perselisihan di antara kalian.”
Beberapa Karya Beliau
• Al-Qubbah (maksudnya kubah yang dibangun di atas kuburan Nabi n), ini adalah skripsi Beliau untuk mengambil gelar S1, kemudian dicetak dalam buku Riyâdh al-Jannah.
• Tahqîq dan ta’lîq atas dua kitab al-Ilzâmât wa at-Tatabbu’.
• Al-Jâmi’ ash-Shahîh fîmâ Laisa fî ash-Shahîhain.
• Dalâ`il an-Nubuwwah.
• Tuhfah al-Mujîb.
• Al-Ahâdîts al-Mu’allaqah Ghair fî ash-Shihâh dll.
Wafat Beliau
Ketika umur Syaikh mendekati 70 tahun, Beliau sakit keras hingga sampai berobat ke Amerika dan Arab Saudi, meskipun Syaikh ada sedikit permasalahan dengan Negara Arab Saudi sebagai imbas dari tragedi Juhaiman. Akan tetapi, Allah memberi taufiq kepada para penguasa Arab Saudi, sehingga mereka mau membuka negerinya dan mempersilahkan Syaikh Muqbil untuk umroh dan haji, serta berobat di Rumah Sakit terbesar di Jeddah dengan gratis. Kemudian para pejabat mengunjungi Beliau, sehingga terjadilah saling nasehat-menasehati di antara mereka. Dan akhirnya, Beliau menarik kembali beberapa sikap kepada Negeri Saudi yang Beliau nilai tidak layak dalam sebuah tulisan Barâ`ah adz-Dzimmah.
Syaikh Muqbil wafat di Saudi pada 1 Jumadil Ula 1422 H. setelah isya`, dan dishalati setelah shalat subuh, serta dimakamkan di pekuburan al-’Adl di Mekah, berdampingan dengan Syaikh Ibnu Baaz dan Syaikh Ibnu Utsaimin. Semoga Allah senantiasa memberikan limpahan rahmat-Nya kepada mereka. Âmîn.
From Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 42 hal. 31-34
———————————————————————————————————-
1) Tulisan ini disarikan dari penjelasan Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari ketika menguraikan kitab Hâdzihî ‘Aqîdatunâ wa Da’watunâ karya Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, pada Dauroh Syar’iyyah kedelapan yang diadakan oleh STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya di Trawas, Mojokerto bekerjasama dengan Markaz Imam al-Albani Yordania, dan diterjemahkan oleh Imam Wahyudi, Lc.
2) Menggembala kambing merupakan suatu perbuatan yang dapat melatih diri untuk mendidik jiwa, menjadikannya lembut dan sabar, Rasulullah n bersabda:
Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, melainkan ia pernah menggembala kambing. (HR. al-Bukhari)
3) Kitab ini sebenarnya adalah dua buku, al-Ilzâmât kitab tersendiri, demikian juga kitab at-Tatabbu’. Sekilas dari judulnya merupakan dua hal yang bertentangan. al-Izâmât (maksudnya, al-Imam ad-Daruquthni mewajibkan kepada al-Imam al-Bukhari dan Muslim untuk memasukkan hadits-hadits shahih yang sesuai dengan syarat keduanya tapi tidak ada di dalam kitab hadits keduanya). Adapun at-Tatabbu’ (maksudnya adalah, penelusuran hadits-hadits dalam kitab hadits keduanya yang tidak sesuai dengan syarat keduanya).
4) Peristiwa Juhaiman adalah tragedi yang terjadi di Masjidil Haram pada hari selasa 1 al-Muharram 1400 H. Peristiwa itu bermula dari seorang yang bernama Juhaiman, yang menyerukan untuk berbaiat kepada yang ia sangka sebagai Imam Mahdi yang bernama Muhammad bin Abdullah al-Qahthani. Bahkan, kelompok mereka ini berhasil menguasai Masjidil Haram dan memaksa kaum muslimin untuk berbaiat kepada Imam Mahdi versi Juhaiman dengan menakut-nakuti dan mengancam akan membunuh siapa saja yang tidak berbaiat kepadanya. Sehingga timbullah korban yang banyak. Mereka pun tidak mau menerima nasehat para ulama untuk kembali kepada syariat yang benar. Maka dengan terpaska tentara Allah dan tauhid dari pasukan Arab Saudi menyerang mereka, dan berhasil memaksa mereka untuk menyerah. Dan tertangkaplah seratus tujuh puluh anggota mereka, enam puluh tiga dihukum mati, sedangkan sisanya diasingkan, dipenjarakan, atau dicambuk. Dikutip dari kitab al-Irhâb, karya Syaikh Zaid bin Muhammad al-Madkhali, hlm 15-16.
5) Al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhain li al-Hâkim.
6) Al-Ibânah al-Kubrâ karya Ibnu Baththah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar