Minggu, 30 Mei 2010

Siapakah Syaikh Masyhur itu??

Sekitar Tentang Syaikh Masyhur Alu Salman

Nama dan Tempat Tinggal

Beliau adalah Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud Alu Salman, seorang syaikh yang menguasai berbagai ilmu. Karya tulisan beliau sangat menakjubkan, dan sangat bermanfaat, yang berjumlah kurang lebih 101 buku. Beliau dilahirkan di kota Palestina tahun 1380 H dan tumbuh dalam lingkungan keluarga beragama dan penghafal al-Qur’an. Beliau beserta keluarga hijrah ke Yordania tahun (1387 H/1967 M) setelah penyerbuan Yahudi – semoga laknat Allah menimpa mereka – dan menetap di kota Amman. Di kota ini beliau menamatkan SMU-nya, lalu beliau melanjutkan jenjang perguruan tinggi agama tahun 1400 H di fakultas Ushul Fikih. Beliau banyak terkesan pada para ulama terkemuka, diantaranya : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya yang terkemuka Ibnul Qayyim –rahimahullah-.

Guru-guru beliau yang masyhur(terkenal) :

Guru-guru beliau banyak mewarnai dan memberi kesan pada beliau, baik di saat beliau belajar di kelas maupun di saat belajar dalam suatu majelis. Diantara guru beliau yang masyhur adalah :

1. Ahli hadits dan seorang yang sangat berilmu syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani –rahimahullah-.

2. Syaikh Musthofa az-Zarqa.

Aktifitas Dakwah beliau :


1. Beliau salah seorang pendiri majalah al-Ashalah – yang terbit di Yordania – dan sekaligus staf redaksi majalah tersebut, serta penulisnya.

2. Salah seorang pendiri markas al-Imam al-Albani di Yordania

3. Mengisi kajian ilmu dan fatwa.

4. Ikut serta sebagai penceramah dalam training-training keagamaan dan para dai.

Pujian ulama pada beliau :

1) Syaikh al-Albani banyak memuji beliau, seperti dalam silsilah as-Shahihah 1/903, syaikh al-Albani berkata : Aku mengambil faedah ini semua dari tahqiq (penelitian) yang dilakukan al-Akh al-Fadhil Masyhur Hasan pada kitab “al-Khilafiyat”.

2) Demikian juga syaikh Bakr Abu Zaid dalam muqadimahnya pada kitab “al-Muwafaqat” karya syaikh Masyhur Hasan Alu Salman, beliau berkata : “Berapa kali saya menginginkan agar dapat melihat kitab ini tercetak, terwujudkan, dan menjadi kitab yang tersusun sebagaimana mestinya, hingga Allah Yang Maha Mulia memudahkan -dengan karunia-Nya- hal ini melalui karya al-’Allaamah (Ulama yang sangat alim), al-Muhaqqiq (ulama ahli dalam meneliti/mengoreksi) syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman.”

Dalam muqadimah kitab karya syaikh Masyhur bin Hasan alu-Salman yang berjudul “Kutubun Hadzdzara minha al-Ulama” (Kitab-kitab yang diperingatkan para ulama), syaikh Bakr Abu Zaid menulis :
“Sesungguhnya penyusunan buku ini termasuk kategori nasehat pada umat, karena akan menjaga umat dari hal-hal yang merusak agama mereka, merusak ibadah mereka, merusak akhlaq mereka, dan merusak aqidah tauhid mereka kepada Allah. Namun sepatutnya yang mengarang kitab seperti ini adalah seorang yang shalih, mengikuti ilmu, baik, wawasan keilmuannya luas, sabar dalam meneliti pembahasan yang panjang, banyak membaca berbagai bidang ilmu dan karya, disertai kecermatan dan ketelitian. Tatkala aku membaca muqadimah kitab ini, dan sebagian besar isinya, aku melihat penulis kitab ini yaitu syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman sangatlah pantas, karena beliau memiliki kapasitas ilmu dan kategori tersebut.”

3) Pernah suatu ketika asy-Syaikh al-’Allamah al-Muhaddits Muqbil ibn Hadi al-Wadi’I –rahimahullah- ditanya dalam kitab beliau (Tuhfatu al-Mujib ‘ala as’ilati al-Hadhir wa al-Gharib) pada halaman. 160 : “Siapa diantara ulama yang Anda nasehatkan kepada kami agar kami dapat jadikan mereka sebagai rujukan, baik itu dari segi kitab-kitab yang mereka tulis ataupun dalam bentuk kaset-kaset mereka yang dapat kami dengarkan?”.

Dijawab oleh beliau –rahimahullah- : “Sudah seringkali kami berikan jawaban akan hal ini dan bahkan tidak hanya sekali saja, akan tetapi akan kami ulang sekali lagi, diantara mereka adalah Syaikh Nashiruddin al-Albani — dan beberapa murid beliau yang memiliki keutamaan seperti : al-Akh (saudara) Ali bin Hasan bin Abdil Hamid al-Halabi, al-Akh Salim bin Ied al-Hilali, dan al-Akh Masyhur Hasan Alu Salman”.

4) Syaikh al-’Allamah al-Muhaddits Abdul Muhsin al-’Abbaad – – adalah salah seorang ulama bermanhaj salaf yang masih hidup saat ini. Beliau berkata dalam karya beliau yang sangat berharga dan bermanfaat “Rifqan ahlas Sunnah bi ahlis Sunnah” pada halaman 8-9 cetakan kedua tahun 1426 H. “Dan aku senantiasa mewasiatkan kepada para penuntut ilmu yang berada di penjuru negeri agar menuntut ilmu dari ahli ilmu yang menggeluti ilmu (agama) dari kalangan ahlu Sunnah di negeri Yordania, semisal para murid Syaikh al-Albani –rahimahullah- di Yordania, yang mendirikan sebuah markaz dakwah yang bernama Markaz al-Imam al-Albani setelah wafatnya beliau.”

Nasehat-nasehat beliau


Ditanyakan kepada beliau : “Wahai syaikh, kami menginginkan agar anda membuat ceramah khusus, tentang bagaimana awal kali anda mendapatkan petunjuk (untuk menuntut ilmu agama), kapan pertama kali anda mengajar ?

Beliau menjawab : “Adapun saya ini maka tidak pantas kehidupan saya dijadikan bahan ceramah, atau nama saya disebut. Saya mengatakan semua ini dengan sebenarnya, demi Allah saya mengatakan ini bukan lantaran sikap tawadhu’ (rendah hati), saya mengetahui kemampuan diri saya. Adapun masalah ilmu, Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- bersabda :
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya, Dia akan memahamkan masalah agama kepadanya.”

Dan kami memohon kepada Allah –azza wa jalla- agar memberikan tambahan karunia-Nya, dan mengajarkan apa yang tidak kami ketahui, dan menjadikan ilmu yang Dia ajarkan sebagai catatan amal baik kami, ikhlas mengharapkan wajah-Nya, dan agar Dia menjadikan kami termasuk orang yang hidup dengan ilmu dan manusia yang lain (mendapatkan manfaat dari ilmunya), karena manusia itu terbagi menjadi tiga golongan :

- Pertama :
Seseorang yang hidup dengan ilmunya.

- Kedua :
Seorang yang hidup dengan ilmunya dan manusia yang lain dapat mengambil manfaat dari ilmunya.

- Ketiga :
Seseorang yang ilmunya bermanfaat bagi yang lain, tapi ia sendiri membinasakan dirinya (tidak mengamalkan ilmunya).


Namun saya akan menceritakan hal ini, (karena) alasan pertama, sebagai bentuk pengungkapan akan nikmat Allah, alasan kedua, dalam kisah ini ada manfaat yang bisa dipetik oleh para penuntut ilmu.

Sebenarnya, awal kali saya berkeinginan menuntut ilmu adalah di waktu masih kecil, dahulu saya berangan-angan ada seorang yang bisa mengajariku atau membimbingku meskipun ia hanya seorang pelajar, karena pada waktu itu kami tidak mendapatkan di masjid seorangpun yang mengajarkan ilmu agama. Yang kami dapati sebagaimana kalian tahu semua – dan saya tidak ingin menceritakan secara detail – para tukang cerita dan pemberi nasehat yang membuat bingung, mencela dan melaknat, tidak mendidik, dan tidak mengajarkan. Hakekatnya, kami waktu itu payah, tidak dapat membaca, memahami dan tidak dapat kami temukan orang yang mengajari kami.

Alangkah bahagianya (dariku), tatkala Allah –azza wa jalla- memberikan kemudahan, yaitu ketika saya mendengar syaikh Imam ahli hadits pada zaman ini Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani, datang ke Yordania tahun 1978-1979. Syaikh berulang kali datang ke kota ini dan waktu itu saya masih di bangku SMU. Allah –azza wa jalla- memberikan karunia padaku, dimana aku dapat hadir duduk dalam majelis syaikh al-Albani. Aku merasa menemukan surga, (karena) dapat menjumpai seorang yang kalian akan kagum (jika melihatnya), seorang yang disegani dan mempunyai kesederhanaan. Beliau tidak mengenal sesuatupun kecuali ilmu, ilmu senantiasa memenuhi waktu beliau, malam, siang. Saat di rumah maupun bepergian, dipenuhinya dengan ilmu. Saya pernah memasuki perpustakaan syaikh al-Albani dimana beliau menekuni bacaan di tempat itu. Betapa seringnya aku berdoa kepada Allah agar Dia memberikan rezki kepadaku berupa perpustakaan seperti milik syaikh. Dan sekarang alhamdulillah, perpustakaanku seperti perpustakaan syaikh, atau bahkan lebih luas. Dan saya amat sangat cemburu kepada syaikh (saya ingin seperti beliau) ketika saya melihat di perpustakaannya terdapat kasur dan bantal. Kecemburuan besar ini masuk dalam hatiku. Beliau syaikh al-Albani menyambung antara malam dan siangnya (dengan membaca), beliau tidak kenal dengan kalimat bosan dan payah jika berada diantara kitab-kitab di masa hidupnya, bahkan pernah tatkala beliau membaca di perpustakaan “ad-Dhahiriyah” beliau lupa diri (lantaran nikmatnya ketika membaca), beliau berkata kepada penjaga perpustakaan : “Pulanglah kalian dan kuncilah pintu perpustakaan dari luar dan besok bukalah kembali”. Hingga hal ini menjadikan syaikh dibuatkan satu kamar khusus di perpustakaan oleh pengurusnya.

Seorang pengurus perpustakaan di Mekkah pernah bercerita kepadaku : Suatu kali syaikh al-Albani pergi ke Mekkah untuk umrah, kemudian ada suatu permasalahan yang membuatnya harus membaca kitab, lalu beliau masuk perpustakaan dan tibalah waktu perpustakaan akan ditutup. Lalu aku berkata padanya : “Wahai syaikh, kami akan menutup perpustakaan ini.” Lalu beliau menjawab : “Tutup saja perpustakaan ini, biarkan aku didalamnya dan besok bukalah kembali!”

Ini adalah kisah yang benar terjadi, kalaulah kita tidak dapat mengambil faedah dari syaikh al-Albani kecuali hanya semangat beliau menjaga waktunya, dan kecintaan beliau kepada ilmu tentulah hal inilah adalah kebaikan yang besar. Memahami sesuatu melalui berita tidak sama dengan memahaminya dengan melihat sendiri.

Allah –ta’ala- menjadikanku mencintai ilmu semenjak kecil, dahulu saya banyak membaca, dan membaca banyak hal yang belum saya ketahui, inilah keadaan saya. Namun terkadang saya tidak memahami apa yang saya baca, akupun duduk dan menangis, lalu berdoa : “Ya Allah ajarilah aku.”
Betapa gembiranya dan senangnya, tatkala saya membaca dalam tafsir al-Alusi, [1] ketika ia menukil beberapa halaman, setelah itu ia mengomentarinya : “Apakah engkau paham? Adapun aku (al-Alusi) belum paham masalahnya.” Aku sangat gembira setelah membaca tulisan al-Alusi ini.

Belajar itu membutuhkan waktu, kejujuran, keikhlasan, butuh waktu bersendirian, dan butuh waktu khusus untuk mencurahkan perhatian padanya, menyambung malam dengan siang, lelah dan berdoa kepada Allah –ta’ala-, dan lain-lain.

Dan tidaklah saya minum air zamzam [2] dalam waktu yang lama, melainkan agar Allah –ta’ala- mengajariku ilmu, namun saya masih saja (merasa) belum berilmu. Saya mohon kepada Allah –azza wa jalla- agar mengajariku ilmu.

Pertanyaan kedua : seorang penanya berkata : “Saya merasakan waktuku hilang percuma tanpa faedah, apa yang engkau nasehatkan wahai syaikh?”

Jawaban : Nasehatku, hendaknya engkau mengetahui bahwa dirimu sendiri itu adalah waktu, seandainya ada orang berkata padamu : “Potonglah jarimu, aku akan mengganti dengan uang sekian!” apakah engkau akan menerimanya?

Engkau adalah waktu, jika hari berlalu, sebagian tubuhmu mati, seperti kalender penanggalan, setiap hari dirobek, diambil jika hari kemarin telah berlalu. Dan pasti kalender itu akan habis. Inilah keadaanmu bersama hari-hari (yang engkau jalani). Umar bin Abdul Aziz berkata : “Wahai anak Adam, malam dan siang berbuat padamu, berbuatlah pada malam dan siang.”

Al-Hasan al-Basri berkata : “Aku menjumpai suatu kaum yang bersemangat dalam menjaga waktu mereka, melebihi semangat mereka dari menjaga harta dan uang mereka.”

Demi Allah, waktu itu lebih berharga dari harta, barangsiapa menyia-nyiakan hartanya tanpa faedah maka ia akan dicela, padahal harta itu akan kembali lagi jika seorang luput mendapatkannya. Adapun waktu jika terlewatkan maka tidak akan kembali, dan ini merupakan kebodohan yang melebihi dari penyia-nyiaan terhadap harta.

Nasehatku kepada kalian : Hendaknya kalian bersemangat menjaga waktu kalian sekalipun hanya mengisinya dengan berzikir, sebagaimana sabda Nabi –shollallahu alaihi wa sallam- kepada Abdullah bin Yusr :
“Hendaknya lidahmu senantiasa basah dengan berzikir,

Ucapkanlah : “Subhanallah walhamdulillah.” karena waktumu lebih berharga dari hartamu, lebih berharga daripada anakmu. Waktumu adalah kehidupanmu, barangsiapa menyia-nyiakan kehidupannya maka celakalah ia.

From Adz Dzakirah Al-Islamiyyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar